Talaud, Sebuah Catatan Reflektif - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Talaud, Sebuah Catatan Reflektif

 

Iverdixon Tinungki (Foto: Dok Pribadi)

Oleh: Iverdixon Tinungki


Sulut24.com, OPINI - Sesuatu yang adilihung di Talaud tak boleh luput disebutkan yaitu keberadaan masyarakatnya yang tumbuh merayakan sekaligus mengkritisi kehidupan lewat sastranya. Mereka memiliki apa yang disebut Hans Georg Gadamer sebagai dunia makna dari masa lalu yang selalu dapat dihadirkan kembali sebagai penuntun jalan dalam mewujudkan masa depan mereka.  Dari sekian banyak karya kebudayaan masyarakat itu, merefleksi fabel Yologe, kita seakan dipertemukan dengan kondisi aktual praktek kekuasaan dan sebuah tatanan yang menyimpang dari kelaziman. Cerita rakyat  itu nampak sebagai dunia hitam-putih apabila diteropong lewat teori strukturalis Saussurean. Pada satu sisi, Yologe adalah karya artistik yang berfungsi menghibur. Di sisi yang lain, ia adalah  pedang kritik sosial yang tajam. 

Pada kisah aslinya, Yologe adalah seekor babi berukuran raksasa yang datang dari negeri seberang. Sebagaimana tabiat babi yang rakus, ia memangsa seluruh tanaman di perkebunan penduduk, bahkan memporak-porandakan desa-desa. Kemiskinan dan ketakberdayaan pun merebak. Keraksasaan dan kedikdayaannya itu bersumber dari sebuah kalung yang menggantung di lehernya. Kalung sakti itu telah mengubah binatang yang sejatinya tidak berada di deratan puncak para pemangsa, telah berubah lebih buas dari singa, lebih taktis dari leopard. Ia ditakuti bahkan sulit dikalahkan oleh para kasatria. Kehadirannya membuat semua orang was-was. Mereka memilih bersembunyi dari pada berhadap-hadapan dengannya. Namun pada akhir kisah pada sebuah versi, Yologe yang tak terkalahkan oleh para kaum cerdik perkasa, malah justru dikalahkan oleh seorang nenek tua.

Pada kisah sederhana namun dramatis itu, sebagaimana sifat sastra memiliki relevansi dengan gejala sosial, fabel Yologe di masyarakat pulau Karakelang, tak sekadar sebagai karya seni sastra pada masanya, namun menarasikan pesan yang kuat melampaui zamannya. Merefleksikan Yologe lewat metode analisis semiologi Roland Barthes, kita dipertemukan sebuah dunia tanda, petanda dan simbol yang memiliki makna yang luas dan dalam terkait perangai kekuasaan yang tak terkendali dan sebuah masyarakat yang menjalani hidup dalam sebuah kutuk kekuasaan yang hanya bisa diakhiri oleh kekuatan kearifan (lokal wisdom) dalam masyarakat itu sendiri. Di sana menjadi benar apa yang diungkap sebuah kalimat bijak; “nasib suatu kaum ditentukan oleh kaum itu sendiri”.

Membayangkan Talaud dari sisi geografis adalah membayangkan  suatu negeri yang indah. Negeri yang dimetaforkan sebagai “porodisa” (surga). Negeri di bibir samudera Pasifik yang bertaburan berbagai sumber daya kehidupan. Negeri yang harusnya kemiskinan tidak menjadi bagian dalam kisah hidup mereka. Namun dalam sejarahnya, Talaud tak henti-hentinya ditimpa kemalangan sejak era para perombak Lanun, Filipina, hingga masa 350 tahun penjajahan bangsa Eropa atas Nusantara. Di era kemerdekaan Indonesia pun, mereka masih terpuruk dalam berbagai keterbatasan sebagai daerah tertinggal. Dalam perspektif kutuk kekuasaan, Talaud dapat dipersepsikan  dengan apa yang digambarkan Charles Perrault dalam “La Belle au Bois dormant”, sebagai sosok gadis cantik yang tersihir menjalani tidur panjang kemalangan. Sebuah negeri  yang “mati segan, hidup tak mau” ketika kekuasaan politik digunakan dengan tidak baik, bahkan mencapai titik paling anarkhis dari sifat Machavellistis, tanpa mengindahkan kesusilaan, norma-norma, bahkan dipraktekan secara  bebas nilai (positivistik). Dalam 19 tahun sejak resmi sebagai daerah otonom pada Juli 2001, negeri kepulauan itu lebih banyak diramaikan sengkarut korupsi pada posisi puncak kekuasaan politik. Kondisi ini memerosotkan tugas suci demokrasi politik sebagai membawa perubahan sosial ke arah sifat hidup, kesadaran diri, dan akal yang lebih besar, sekadar menjadi kotak tetas para pemimpin petualang, tukang garong, dan sebuah masyarakat yang retak. Sebuah keadaan masyarakat yang dalam gambaran paling nyata sebagai kaum yang  rebah dalam tidur panjang kemalangan dehumanisasi.

Dalam “The Revolution of Hope” (Revolusi Pengharapan) yang terbit tahun 1968, filsuf Jerman Erich Fromm menggambarkan masyarakat yang terdehumanisasi  adalah manusia yang bergerak secara cepat dan memiliki rutinitas yang perlahan namun pasti melunturkan esensi kemanusiaannya. Masyarakat yang tak lebih sekelompok mesin yang secara sosial dan ekonomi, berada di bawah kontrol tatanan dan kekuatan segelintir orang yang memiliki modal dan kekuasaan.  Birokrasi yang kapitalis ini mentrasformasikan sebuah situasi di mana manusia akan berhenti menjadi manusia, padahal harusnya setiap individu memiliki nature untuk hidup penuh dengan cinta, keharmonisan dan produktif. Sebagaimana yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, maraknya fenomena korupsi, ekses demokrasi, oligarki, telah menciptakan sebuah masyarakat  yang sakit. Mereka hidup dalam ketidakpercayaan, kecurigaan dan permusuhan yang menghambat pertumbuhan pribadi-pribadi di dalamnya untuk hidup penuh dengan cinta, keharmonisan dan produktif.  Padalah impian bersama yang melandasi perjuangan Otonomi Talaud tak lain adalah sebuah masyarakat yang sehat. Masyarakat yang membiarkan anggota-anggotanya untuk hidup penuh dengan cinta, kreatif dan akhirnya produktif seperti digambarkan Fromm dalam  The Sane society.

Di sisi ini, Talaud diperhadapkan dengan sebuah refleksi evaluatif yang sublim terkait problem manusia dan kemanusiaan. Ketika orang-orang yang hidup di kota-kota besar membicarakan pulau-pulau terpencil di daerah perbatasan itu dengan cara dan pikiran masing-masing, bisa jadi orang-orang di pulau jauh ini sedang menakik hujan untuk ditanak sebagai air hangat, diolah menjadi segelas teh, atau kopi. Bisa jadi mereka sedang menatap dengan putus asa ombak yang garang sedang menghempas, sementara seorang nelayan bisa jadi sedang hanyut diterpa arus entah ke mana.  Atau mereka barangkali sedang menggali umbi-umbian di ladang bertanah keras dengan pengungkit linggis pada musim terik yang panjang. Bisa jadi pula ada bocah kecil baru saja meninggal oleh karena gizi buruk atau malaria. Di pulau-pulau itu, tak ada yang gegap gempita, termasuk air mata punya caranya sendiri untuk menetes. Bahkan dalam keadaan tersenyum mereka sejatinya sedang menangis. Dan bisa jadi, merekalah yang paling paham tentang apa yang disebut kitab suci; “Hidup itu anugerah Tuhan.” Anugerah itulah yang kini tersandera dalam kutuk kekuasaan politik yang disalahartikan, hingga menjadi sekadar pemandangan dramatis yang seakan-akan politik itu sesuatu yang kotor dan kekuasaan adalah sesuatu yang tak berhati nurani. 

Di sana, betapa suluruh waktu dan energi telah terserap ke dalam sebuah dunia politik yang buruk rupa. Sebuah perilaku kekuasaan yang dalam perspektif Perrault sebagai tangan yang memegang tongkat sihir untuk mengutuk. Penguasa yang menggunakan kalung sakti kekuasaan untuk memporak-porandakan hajat hidup orang banyak. Padahal esensi otonomi daerah yang menjadi ibu kandung kelahiran para penguasa daerah harusnya menjadi tangan pertama yang datang dengan cinta menyentuh kehidupan masyarakat agar menjadi sejahtera. Karena mencintai berarti melindungi, maka penguasa yang dibayangkan adalah pangeran perkasa yang berjiwa kasatria dalam mengangkat semua kemalangan dan nasib buruk yang menimpa rakyatnya.  Tapi yang terjadi, visi kesejahteraan rakyat seakan menjalani kutuk tidur panjang yang sulit dibangunkan oleh penguasa yang perasaannya dalam menjalankan kekuasaan bukan datang dari hati seorang cinta sejati, tapi Yologe dengan segala perangainya yang mendatangkan perasaan ngeri.  

Praktek politik cinta palsu itu telah menjadikan tugas suci politik dalam keadaan terselewengkan. Tugas suci politik yang didefinikan Aristoteles dalam ranah teori sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Namun di Talaud, politik telah menjelma sebagai tangan kotor yang bekerja tanpa etika. Politik telah diterjemahkan kedalam ragam yang suram sebagaimana kritik Goenawan Mohamad yaitu politik yang merupakan janji petai-hampa, senyum yang diperhitungkan, salam yang dicari efeknya, rangkulan yang tak ikhlas. Politik itu bujukan, tipuan, ancaman, juga suap. 

Semenjak politik desentralisasi diberlakukan pada Januari 2001 yang memberikan  porsi kekuasaan yang besar terhadap daerah. Hal itu telah berimplikasi  pada kelompok elit politik lokal yang lebih memiliki akses dalam mengontrol sumber daya kekuasaan, dan lebih banyak terlibat dalam proses politik dalam memaksimalkan kekuasaan yang dimiliki demi mencapai kepentingan pribadi mereka. Kekuasaan yang  mendapatkan keuntungan yang luar biasa dalam mengontrol dana-dana Negara. Pemangku kekuasaan yang mampu merampok kekayaan negara untuk kepentingan dirinya sendiri. Politik tak lagi  dalam kerendahan hati untuk melayani rakyat dan membela yang lemah agar pada tingkatan paling primer, masyarakat bisa memenuhi kebutuhan dasar sandang, pangan, dan papan. 

Pada tahun 2007, ketika Talaud berusia 5 tahun setelah dimekarkan dari Kabupaten Sangihe Talaud, daerah ini menurut data statistik mengoleksi  penduduk miskin sebesar 21 persen atau sekitar 16 ribu orang dari total penduduk daerah tersebut ketika itu sebanyak 74.786 orang. Seperlima dari penduduk Kabupaten Kepulauan Talaud dinyatakan hidup dalam keadaan sangat memprihatinkan sehingga masuk kategori masyarakat miskin. Penduduk miskin tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan pokok saja, sedangkan kebutuhan lain seperti sekolah anak dan keperluan rumah tangga lainnya tidak dapat terpenuhi. Sementara pada tahun 2019, besaran angka penduduk miskin di Talaud sebanyak 9.220 orang, dan diwarnai kesenjangan sosial ekonomi yang mudah dilihat dalam segi keuangan masyarakat, yang meliputi nilai kekayaan harta. Kesenjangan ekonomi sosial yang hadir di masyarakat ini bisa dilihat dengan mudah dari adanya peluang serta manfaat yang tidak sama dalam posisi sosial yang berbeda di dalam masyarakat dan adanya ketidaksetaraan pada barang atau jasa, kekayaan, imbalan, dan kesempatan yang diperoleh pada setiap orang. Dalam situasi yang muram ini, nyaris tak ada langkah yang lebih bijak ditempu untuk membawa keluar masyarakat dari perangkap kemiskinan. Justru Talaud lebih banyak diriuhkan oleh upaya-upaya pelanggengan kekuasaan, hingga politik nampak sekadar berwujud tongkat sihir yang lebih sakti mendatangkan bencana, bukan sebagai jalan menuju berkat bagi masyarakat. 

Bisa jadi ada segelintir orang yang tak paham dengan nilai luhur kebudayaan masyarakat itu, atau mereka yang benar-benar paham tapi memilih menutup mata dan telinga sebagaimana kaum yang hidup dalam kebudayaan bisu,  menganggap situasi muram ini sekadar sebuah lolucon yang patut ditertawakan. Ketika terjadi selisih harga yang besar pada pasar produk unggulan daerah, mereka begitu saja menerima dengan lapang dada, bukan mencari solusi yang lebih nyata. Padahal penguasa punya tangan yang cukup panjang untuk melindungi nasib para petani dan nelayan. Negara punya beribu-ribu cara untuk membuat masyarakat sejahtera. Lepas dari itu, tak ada yang salah dengan hal mentertawai diri sendiri apabila dimaksudkan sebagai cara menafsir kembali visi dan hakekat diri.  Itu sebabnya sesuatu yang adilihung di Talaud yang tak boleh luput diingat yaitu sikap kritis masyarakat dalam keadaban sastranya. Jalinan makna dunia sastra itu terus hidup bahkan mengisi ruang-ruang kesadaran masyarakat di sana, bahkan terus mengilhami bumi imajinasi para pesastra termutakhir seperti yang terhidu lewat puisi berikut ini 

MENGENCANI HENING AMPADOAP

aku mendengar suara pulau 

di ampadoap

dihari bergenang sinar


air terjun

hutan wallacea

nuri dan sampiri yang gembira

Tuhan bernyanyi sendiri tanpa katakata

 

aku mendengar. mendengar dengan takjub

suarasuara riang dan hidup 

denyar

gelombanggelombang yang tak pernah tidur

dan rumput seakan punya mulut 

bersenandung


aku jatuh cinta, kembali jatuh cinta pada pulau 

sejarah tua ibu 

melabuhku sehidu bau rahim

bunga lili 

dan semak yang leli


aku kembali lahir

kembali lahir sebagai anak utara

anak yang digendong laut 

rentak perahu

dan maut yang duduk di ujung biduk

Di tengah geriap nilai kehidupan yang indah mengisi hari-hari hidup mereka itu, kita justru disuguhkan fakta yang begitu murung dan membingungkan, yaitu suatu wujud negeri dengan sekian banyak anggota masyarakatnya yang mengalami ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Menjelang usia 20 tahun, Kabupaten Kepulauan ini dirundung beragam persoalan mendasar yang perlu mendapatkan refleksi kembali yaitu persoalan-persoalan yang berada di luar kesadaran bahkan kemauan masyarakatnya. Sabagaimana tradisi satire dalam khazanah kesusasteraan abad lampau, merefleksi persoalan-persoalan aktual negeri perbatasan ini murupakan pilihan yang mudah dimengerti dalam membuka simpul-simpul persoalan yang saling lilit dan lingkait di sana. Dan Yologe merupakan dunia mentifak dan sosiofak masyarakat kepulauan itu sendiri yang dengan terang benderang mengisyaratkan sebuah kritik sosial terhadap kekuasaan dan sebuah tatanan yang menyimpang dari kelaziman. 

Pada akhir cerita, fabel Yologe tak menyuguhkan sebuah solusi  people power untuk melawan kekuasaan yang menyimpang. Ia justru menawarkan  kehadiran local genius atau Local wisdom  dalam sosok karakter nenek tua yang memiliki  suatu pengetahuan, pemahaman kolektif, dan kebijaksanaan yang bisa menghadirkan keputusan penyelesaian yaitu bukan dengan cara menikam si babi dalam sebuah medan adu sakti, justru ia memilih menggunakan kesempatan terbaik menanggalkan kesaktian Yologe dengan cara mengambil kalung sakti yang bertengger di tubuh binatang itu. Tanpa kalung kesaktian yang dapat diinterpretasikan sebagai kekuatan kekuasaan, Yologe, tak lebih dari seekor babi yang mudah ditaklukan dengan sebila belati.

Masyarakat Talaud tak kekurangan ajaran luhur yang sudah terwaris sejak era leluhurnya sebagai local genius. Para ahli antropologi memandang kekuatan local genius ---seperti semangat “Massaruwenten” di Talaud— dapat mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebagai sebuah mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang mereduksi bahkan merusak solidaritas komunal yang dipercaya dan disadari tumbuh di atas kesadaran bersama dari sebuah komunitas terintegrasi. Fungsi-fungsi penting local genius atau kearifan lokal dalam menghadapi berbagai bentuk konflik yang terjadi akibat kekuasaan yang menyimpang telah mengisi berbagai sejarah kehidupan komunitas-komunitas bangsa dan suku bangsa di berbagai belahan dunia. Dan di Talaud dapat dilakukan antara lain lewat mufakat budaya dalam melahirkan figur pemimpin yang kredibel, tak saja mencintai dengan sungguh-sungguh daerah dan masyarakatnya, namun juga mampu menjadikan politik kekuasaan sebagai jalan berkat bagi rakyatnya. Pertanyaannya, maukah Talaud bangun dari tidur panjangnya?(*)