Kawasan Nusa Utara Dalam Pusaran Dinamika Geopolitik Asia Pasifik - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Kawasan Nusa Utara Dalam Pusaran Dinamika Geopolitik Asia Pasifik

Peta Nusa Utara (Gambar: Ist)

Opini Oleh: Jerry F. G. Bambuta

Founder FORUM LITERASI MASYARAKAT


Sulut24.com, OPINI - Indonesia merupakan salah satu "archipelago state" terbesar di Asia Tenggara. Wilayah kepulauan yang luas membentang di garis khatulistiwa dari Merauke sampai Sabang dan dari Miangas sampai Rotte. Bukan hanya wilayah kepulauan yang strategis, Indonesia juga berada pada posisi yang di apit oleh benua Asia dan Australia dan juga di apit oleh Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Fakta karakteristik wilayah dan geoposisi di atas menempatkan Indonesia pada jalur dagang maritim yang strategis secara global dan regional Asia Pasifik. 

Fakta hari ini, negara-negara barat mulai sempoyongan karena krisis pangan dan energi. Akibatnya, Indonesia sebagai negara kaya sumber daya komoditi dan energi akan punya "economic bargaining" yang tinggi. Hal ini akan memicu terjadinya pergeseran konflik dan poros kekuatan global dari kawasan Eropa ke kawasan Asia Pasifik. Proyeksi dari pergesaran ini bukan hanya sebatas retorika kosong, banyak indikasi yang kuat mempertegas akan fenomena pergeseran ini.

Realitas dari ketegangan Amerika dan China akan menjadi salah satu faktor penentu terjadinya pergeseran ini. Wilayah Pasifik merupakan lautan terbesar di dunia mencakup hampir sepertiga bumi dan merupakan rumah besar bagi 16 negara kepulauan (termasuk Indonesia). Dan negara-negara inilah yang akan menjadi kunci penting dalam konflik kepentingan antara Amerika dan China di kawasan Pasifik. 

Pada tahun 1960-an, empat ekonomi terbesar di dunia adalah Amerika Serikat dengan PDB (Produk Domestik Bruto) mencapai 543 miliar dollar AS, Jerman Barat dengan 176 miliar dollar AS, Inggris dengan 73 miliar dollar AS, dan Prancis dengan 62 miliiar dolar AS. Di saat yang sama, ekonomi (PDB) China hanya mencapai 59 milliar dolar AS, sedangkan Jepang hanya mencapai 44 miliar dollar AS. Data ini menunjukan bahwa lima besar negara-negara dengan PDB terbesar adalah negara-negara barat, yaitu Amerika Serikat dan empat lainnya dari Eropa.

Tapi kondisi saat ini berubah total, bukan hanya karena di gerus oleh ketegangan ekonomi antara Amerika dan China, imbas dari pandemi COVID 19 memicu ambruknya ekonomi dari negara-negara Eropa dan Amerika. Di perparah lagi dengan adanya perang antara Ukraina- Rusia makin memperparah krisis pangan dan energi dari kawasan negara-negara Eropa. Kondisi ini berbeda kondisinya dengan kawasan Asia Pasifik sesuai yang di rilis oleh Nindya Aldila dalam tajuk “Makin Harmonis, Perdagangan Asia Pasifik Tahan Banting Saat Pandemi” dalam situs www.bisnis.com pada tanggal 10 Februari 2022, Perdagangan antar negara kawasan Asia Pasifik tumbuh lebih dari 31% pada kuartal I/2021. 

Hal ini menunjukan keberhasilan kawasan ini dalam menghadapi ujian pandemi yang mengguncang rantai pasok. Investasi asing langsung di kawasan ini tercatat tangguh dan hanya turun 1,3% pada tahun 2020, di bandingkan dengan penurunan secara global mencapai angka 35%. 

Fenomena di kawasan Asia Pasifik sudah di teropong jauh sebelumnya oleh seorang tokoh intelektual nasional dari Sulawesi Utara bernama Sam Ratulangi. Sam Ratulangi yang di kenal sebagai pahlawan nasional dari Sulawesi Utara memiliki pandangan futuristic yang melampaui zamannya tentang masa depan kawasan Asia Pasifik. 

Gagasan Sam Ratulangi tentang dinamika strategis dari kawasan Asia Pasifik di tuangkan dalam buku tulisannya berjudul “Indonesia In Den Pacific” yang di terbitkan di Batavia (sekarang Jakarta) pada pertengahan tahun 1937 dalam bahasa belanda. Membaca rangkaian kutipan-kutipan tulisan Sam Ratulangi dari beberapa saduran seperti masuk dalam lorong waktu menggali pandangan-pandangan seorang Sam Ratulangi yang sangat visioner.

Menurut pemikiran Sam Ratulangi, arti Indonesia bagi Asia Pasifik dan ekonomi global mengandung tiga hal yang sangat sentral, yaitu sebagai Negara konsumen, sebagai Negara sumber bahan mentah dan sebagai negara tempat penanaman modal investasi. Apa yang sudah di visualisasi oleh seorang Sam Ratulangi terbukti faktanya hari ini. Sehingga, hal ini akan menjadi "golden oppurtuniy" sekaligus "dangerous warning"  bagi Indonesia yang memiliki peran sentral di kawasan Asia Pasifik. Indonesia dengan setiap jengkal wilayah kekuasaannya berpotensi besar menjadi “Battle ground” dari berbagai kepentingan global di kawasan Asia Pasifik. 

Dan berbicara kawasan Asia Pasifik, batas Indonesia yang bersinggungan langsung dengan kawasan Pasifik salah satunya adalah gugus kabupaten kepulauan paling Utara yang di sebut dengan “kawasan Nusa Utara”. Ketika konflik kepentingan global bergejolak di kawasan Asia Pasifik, bukan tidak mungkin akan membuat kawasan Nusa Utara akan terkedampak imbasnya. Oleh karena itu,  penguatan kawasan Nusa Utara sebagai “benteng Utara NKRI”  wajib di perkokoh dari segala sisi.

Nusa Utara adalah istilah popular yang merujuk pada tiga wilayah kabupaten yang berada di batas paling utara Indonesia, ketiga Kabupaten ini adalah Sangihe, Talaud dan Sitaro. Ketiga kabupaten tersebut adalah wilayah kepulauan yang membentang bagai benteng Nusantara tepat di batas kawasan pasifik yang langsung berbatasan dengan Negara tetangga, Philipina. 

Secara geoposisi nasional atau regional Sulawesi Utara dan Indonesia Timur, isu Kawasan Nusa Utara ini belum terlalu mencuat ke permukaan. Oleh karena  itu, saya sengaja menuangkan tulisan ini agar supaya bisa menjadi catatan penting untuk bisa di “follow up” dalam riset yang lebih mendalam terkait posisi vital Nusa Utara di batas kawasan Pasifik.

Antara Kawasan Nusa Utara dan Philipina, di batasi oleh wilayah Philipina yang di sebut Mindanao Selatan. Wilayah ini banyak kali terjadi perdagangan, penyuludupan dan penangkapan ikan secara ilegal. Bahkan dalam beberapa kasus sebelumnya, jalur ini kerap menjadi jalur penyeludupan senjata api ilegal. Antara kawasan Nusa Utara dan Mindanao Setalan banyak terjadi pembauran masyarakat dari Nusa Utara yang bermukim di wilayah pesisir Mindanao Setalan, seperti Pulau Balut, Pulau Saranggani, Pesisir General Santos dan Davao sekitarnya. 

Pembauran ini yang sampai hari ini memicu masalah status kewarga negaraan (stateless). Mereka yang kawin campur ini adalah warga negara Indonesia yang lahir dan menetap hidup dari generasi ke generasi di wilayah Mindanao Setalan.

Secara resmi, mereka tidak berstatus warga negara Philipina. Tapi sebagai warga negara Indonesia, mereka tidak terdata secara resmi sebagai warga negara Indonesia. Bahkan, ada yang lebih paham bahasa bisayak (bahasa lokal Mindanao) daripada bahasa Indonesia dan bahasa lokal Nusa Utara (Sangihe, Talaud dan Sitaro). Kondisi sosial ekonomi masyarakat "stateless" ini masih banyak berada di bawah kondisi kemiskinan yang memprihatinkan. 

Mayoritas masyarakat ini banyak bermata pencaharian sebagai nelayan dan pedagang. Dengan adanya rumpun sosial masyarakat ini, maka sering terjadi interaksi familiar antara masyarakat Nusa Utara dan Mindanao Selatan. Tidak heran jika arus mobilisasi masyarakat Nelayan ini banyak memiliki "jalan tikus" di wilayah perairan antara kawasan Nusa Utara dan Mindanao Selatan.

Dari segi pemetaaan wilayah ALKI (alur laut kepulauan indonesia), kawasan Nusa Utara yang berada di bagian ujung utara dari lengan pulau Sulawesi, bersinggungan dengan wilayah ALKI II yang mencakup lintasan laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores dan Selat Lombok. Bukan hanya ALKI II, posisi kawasan Nusa Utara yang berbatasan langsung dengan Philipina dan Samudera Pasifik juga bersinggungan langsung dengan wilayah ALKI III yang mencakup lintasan Samudera pasifik, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu dan Samudera Hindia. 

Wilayah ALKI ini akan menempatkan Indonesia (termasuk juga kawasan Nusa Utara) sebagai poros maritim sebagai jalur lalu lintas pelayaran dan penerbangan internasional. Perlu di catat bahwa secara global terdapat empat jalur perdagangan internasional yang strategis, yaitu Terusan Suez di Mesir, Terusan Panama, Selat Gibraltar antara Spanyol dan Maroko, dan Wilayah ALKI yang berada di Indonesia. Dan wilayah ALKI II dan III bersinggungan langsung dengan Kawasan Nusa Utara.

Harus di pahami bahwa Ketika kekuatan ekonomi global bergeser dari wilayah barat ke wilayah Asia, secara otomatis, peta pasar global dan rute ekonomi akan turut berubah. Menurut catatan dari "Review of Maritim Transport" yang di terbitkan oleh UNCTAD (The united nations conference on trade and development) pada tahun 2008, perdagangan jalur laut Indonesia akan meningkat mencapai 44% pada tahun 2020 dan meningkat dua kali lipat pada tahun 2031. Secara otomatis, kawasan Nusa Utara yang bersinggungan dengan dua wilayah ALKI akan terdampak secara langsung dengan "multiplier effect" dari dinamika kawasan Asia Pasifik ini.

Dalam percaturan ekonomi kawasan Asia ini, kawasan Nusa Utara yang berada pada wilayah perbatasan langsung dengan wilayah pasifik harus di payungi dengan kebijakan lokal berbasis penguatan integrasi kawasan. Sejak saya masih berusia SMP, gaung dan wacana pemekaran  provinsi Nusa Utara sudah menggema dari banyak tokoh-tokoh Nusa Utara. 

Bahkan, sampai saat ini wacana ini masih terus di gaungkan meski seperti kapal selam yang timbul tenggelam. Bahkan, isu pemekaran provinsi Nusa Utara sering di jadikan isu politik populis di setiap musim politik. Dengan tujuan utamanya adalah memicu efek polarisasi dukungan politik dari basis warga Nusa Utara. Sekalipun, banyak warga Nusa Utara telah menjadi apatis bahkan sinis dengan isu pemekaran ini.

Wacana penguatan kawasan Nusa Utara melalui pemekaran provinsi masih mengendala. Karena masih terbentur dengan syarat jumlah wilayah yang belum terpenuhi. Syarat wilayah provinsi harus minimal terdiri dari 5 wilayah kabupaten/Kota. Kawasan Nusa Utara baru sebatas 3 wilayah kabupaten/Kota. Belum lagi, hingga kini antrian usulan pemekaran masih terhambat dengan adanya moratorium. Dan juga, isu dan wacana pemekaran ini masih belum memiliki kekuatan politik yang solid mendorong pemekaran di tingkat pemerintah lokal dan pusat. 

Di tambah lagi dengan anjloknya APBN pasca pandemi Covid 19 dan juga imbas dari krisis pangan dan energi global, membuat urgensi pemekaran wilayah baru belum bisa di atensi oleh pemerintah pusat. Kecuali wilayah pemekaran di Papua karena adanya urgensi khusus terkait percepatan pembangunan, pemerataan pembangunan dan langkah solutif meredam konflik lokal.  

Bupati Talaud, Elly Lasut, sudah pernah menggagas Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) untuk kabupaten Talaud pada waktu lalu. Dalam wacana ini, wilayah Gemeh akan di jadikan wilayah KEK Kabupaten Talaud. Pada bulan Mei 2022, Kabupaten Talaud melaksanakan program GERBANGDUTAS (gerakan pembangunan terpadu perbatasan). Langkah awal yang visioner dan brilian ini masih agak tersendat dengan berbagai kendala dan hambatan. Tapi, tidak seharusnya juga membuat kita pesimis. 

Akan lebih strategis lagi jika konsep Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)  ini bisa menjadi payung kebijakan pusat secara sekaligus untuk tiga wilayah kawasan Nusa Utara. Saya pikir ini merupakan "shortcut ways" yang lebih pendek daripada upaya penguatan kawasan melalui pemekaran provinsi.

Penguatan wilayah kawasan nusa utara dari segi pembangunan multi aspek harus ada penanganan secara khusus. Mengingat corak wilayah yang di dominasi oleh wilayah kepulauan dan berbasis wilayah maritim. Secara otomatis, pembiayaan pembangunannya mutlak tepat sasaran, tepat manfaat dan tepat penggunaan. Kondisi klasik tiga kawasan Nusa Utara juga masih terkendala dengan fasilitas dan infrastruktur publik yang masih perlu di tingkatkan. Pembenahan fasilitas dan infrastruktur publik dalam aspek transportasi darat/laut/udara, akses transportasi darat/laut/udara, jaringan telekomunikasi, listrik/air bersih, kesehatan, pendidikan harus melalui penataan berbasis solusi.

Wacana penguatan kawasan ini harus memiliki kekuatan politik yang solid dari tiga wilayah di tunjang dengan kajian strategis berbasis riset yang komprehensif. Di butuhkan sikap legowo dan arif dari para pemimpin dan tokoh dari kawasan Nusa Utara sehingga bisa melebur menjadi satu suara aspirasi akar rumput yang solid, dari tingkat lokal hingga ke tingkat pusat. Hal ini harus di atensi oleh para pemimpin dan tokoh agar supaya tidak menciptakan satu gerbong tapi multi lokomotif. 

Pada akhirnya, penetrasi aspirasi ini akan pecah dan buyar dengan sia-sia. Kita harus bisa saling legowo untuk menghentikan modus dagangan isu Nusa utara hanya untuk skenario politik jangka pendek. Jangan lagi isu seperti ini hanya menjadi pemuas "surga telinga" atau "Retorika Gombal" belaka di depan masyarakat. Masyarakat kita di kawasan nusa utara secara umum sangat menantikan hadirnya para pelopor yang cakap me-navigasi arah perjuangan ini. Sehingga, wacana strategis ini bisa bermetamorfose dari "macan kertas" menjadi "visi yang membumi". 

Percikan-percikan narasi yang saya angkat ini masih perlu di gali kembali agar bisa membuat sebuah “strategic roadmap”  yang komprehensif berbasis riset, data dan fakta. Hal ini penting agar bisa menciptakan visualiasi detail yang urgensinya bisa di perhatikan pemerintah pusat. Pada akhirnya, Pemerintah pusat akan menciptakan sebuah "big roadmap" yang nantinya akan di "translate" oleh pemangku kebijakan di tiga kawasan Nusa utara melalui kebijakan lokal berbasis integrasi kawasan. 

Sempat terbersit sebuah gagasan di kepala saya, di mana pemerintah pusat bisa membuat semacam lembaga otorita percepatan dan penguatan kawasan Nusa Utara. Sehingga fungsi pengawasan, koordinasi dan evaluasi dari wacana ini bisa di lakukan. Tapi ini hanya sebatas ide yang melintas dalam benak saya pribadi. Bagaimana selanjutnya? Di butuhkan kekuatan politik yang solid dengan energi besar dari lokal hingga ke pusat untuk bisa mendorongnya.