Tantangan Merawat Solidaritas Masyarakat Nusa Utara - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Tantangan Merawat Solidaritas Masyarakat Nusa Utara

Jerry F. G. Bambuta (Foto: Dok pribadi/Jerry F. G. Bambuta)


Opini oleh: Jerry F. G. Bambuta (Forum Literasi Masyarakat)


Sulut24.com, OPINI - Hari ini, konektivitas jaringan internet nyaris mencapai 70% wilayah di seantero Indonesia. Akibatnya, secara otomatis, pengguna internet dan media sosial akan lebih merata menyebar di seantero Indonesia. Dengan makin banyaknya pengguna internet dan media sosial, secara otomatis menimbulkan peluang sekaligus ancaman bagi masyarakat kita yang sangat majemuk. Ketua Dewan Masyarakat Anti Hoax, Septiadji Eko Nugroho, menjelaskan hasil riset yang mereka lakukan, bahwa 92% hoax paling dominan tersebar melalui media sosial. Dan, dari 92% hoax itu di dominasi oleh provokasi politik dan SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).

Dari uraian data di atas, kita di bawa pada kesadaran, bahwa penggunaan media sosial secara tak sehat bakalan seperti "sumbu peledak" yang bisa menyulut konflik horizontal dalam masyarakat. Kondisi ini makin di perparah, ketika skor literasi masyarakat Indonesia hanya berada pada tingkat 62 dari 70 negara yang menjadi responden (Data riset program for international student assessment dari Organization for economic co-operation and development). Data ini sungguh kontras mengingat angka buta huruf di Indonesia pada tahun 2023 ada pada angka 1,08% (ini pada level usia penduduk dari usia 15 tahun - 59 tahun).

Dari uraian data di atas, angka buta huruf sukses di tekan pada angka 1,08% tapi skor literasi Indonesia malah anjlok pada tingkat 62 dari 70 negara responden. Menanggulangi buta huruf adalah mendorong masyarakat bisa membaca dan menulis. Orang yang bisa saja sudah tahu membaca dan menulis, tapi belum tentu memiliki kompetensi literasi yang setara. Menurut National Institute For Literacy, literasi adalah suatu kemampuan tiap individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung serta mampu memecahkan suatu masalah pada tingkat keahlian yang di butuhkan dalam suatu pekerjaan, keluarga dan masyarakat.

Berdasarkan uraian World Economic Forum (2015), bidang literasi mencakup tujuh keahlian, yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi (matematika), literasi sains, literasi digital, literasi finansial, literasi budaya dan literasi politik (kewarga negaraan). Baca tulis adalah kemampuan paling minimal secara umum, tapi literasi menyangkut keahlian unggul yang memampukan kita memiliki kompetensi sehingga mampu bersaing dalam kompetisi lokal dan global.

Nah, dari uraian di atas, mari kita simak secara mendalam terhadap kaitan dengan entitas masyarakat Nusa Utara. Masyarakat Nusa Utara di kenal sebagai entitas sosio-kultural yang memiliki ikatan rumpun kekeluargaan yang sangat erat. Kentalnya kearifan lokal dan nilai spiritual yang erat dalam kehidupan masyarakat Nusa Utara ibarat perekat solidaritas sosial yang berharga. Oleh karena itu, Solidaritas sosial yang di awetkan dalam kearifan lokal dan nilai spiritual ini harusnya menjadi warisan bagi anak cucu kita kelak.

Akan tetapi, upaya pelestarian warisan kearifan lokal dan spiritual di atas di hadapkan dengan tantangan era digitalisasi dan globalisasi. Salah satu sisi ancamannya datang dari realitas politik lokal. Tak bisa di pungkiri, bahwa eforia politik di era modern telah bercampur aduk dengan turbulensi era digital. Sadar atau tidak, Data yang saya uraikan di atas akan menjadi "momok" yang harus siap kita hadapi. Politik akan selalu menciptakan sisi pro dan kontra, atau sisi koalisi dan oposisi. Fenomena ini akan menimbulkan segregasi politik (pembelahan kelompok) dengan isu politik yang bersifat sensitif maupun provokatif.

Pada situasi di atas, solidaritas sosial dari rumpun solidaritas sosial tadi akan berada pada persimpangan dilematis. Kita di hadapkan pada dua pilihan, memahami realitas politik sebagai "solusi", ataukah mengalami realitas politik sebagai "polusi". Jika kita ingin dewasa secara politik, maka kita harus lebih rasional dan bermartabat menyikapi pembelahan kelompok karena polarisasi politik. Kita sadar-sesadarnya bahwa konsekuensi logis dari sikap politik akan memicu perbedaan. Dengan adanya perbedaan sikap ini harusnya tak mengorbankan tali temali kekeluargaan.

Saya khawatir, jika kita tak siap untuk dewasa menyikapi ini, maka berbagai slogan kultural nan sakral akan terancam terdistorsi, dan akhirnya hanya sebatas simbol dan seremonial belaka. Jika generasi kekinian gagal menciptakan "kiblat keteladanan" yang benar di setiap momentum politik, maka saya khawatir, anak cucu kita kelak akan lebih mudah mewarisi nilai toksik seperti individualisme, materialisme, hedonisme, opurtunisme hingga atheisme. Jika nilai toksik ini mewabah dalam kehidupan anak cucu kita, maka kehancuran bangunan kearifan lokal dan spiritual bukan lagi sekedar "gejala" tapi sudah menjadi "tragedi".

Editor: fn