Aktualisasi Sulawesi Utara di Poros Maritim Dunia - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Aktualisasi Sulawesi Utara di Poros Maritim Dunia

Nelayan saat membongkar ikan di TPI Tumumpa
(sumber foto: Antara)

Catatan: Ein A. Gilingan 


Sulut24.com – Manado, Sejak 2014 Indonesia mengusung visi dalam mega proyek menjadi Poros Maritim Dunia. Dalam mega proyek ini Indonesia seakan melihat kembali masa silam, pemerintah dengan penuh semangat mengajak rakyat menjemput ‘hakikat diri dalam geoposisi’ yang sesungguhnya: sebagai negara maritim dan archipelago states, pada masa lalu dapat ditelusuri pada kisah-kisah kejayaan Kerajaan Kutai (Abad ke-4) Kerajaan Sriwijaya (600-an – 1000-an), Kerajaan Majapahit (1293-1500), Kerajaan Ternate (1257), Kerajaan Samudera Pasai (1267-1521), Kerajaan Demak (1475-1548). Sumber-sumber sejarah kita mencatat, Sriwijaya dan Majapahit merupakan kerajaan-kerajaan maritim yang adidaya pada masanya.

Masih dalam suasana gempita merayakan Indonesia merdeka dengan berbagai dinamika, tidak lama kemudian lahirlah Deklarasi Juanda 13 Desember 1957. Isi deklarasi ini tidak lain, Indonesia adalah Negara Maritim dan Kepulauan (Archipelago States).

Namun beriringan dengan pergantian kepemimpinan, perjalanan pembangunan Indonesia sejak masa Orde Baru hingga Indonesia Bersatu, memanfaatkan secara baik posisi Indonesia dalam hakikat sebagai negara maritim dan kepulauan berlandaskan Pancasila justru dalam suatu gran desain yang komprehensif sangat terabaikan. Benar-benar tersisih dengan segenap isu pemuliaan terhadap hakikat demokrasi, gegap-gempita keinginan daerah-daerah untuk berotonomi agar pusat beralih pada pola membangun desentralisasi dan pemberatasan korupsi hingga ke akar-akarnya. Nyatanya upaya program mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia sangat lamban akibat aturan yang tumpang-tindih. Kendati pada masa Orde Baru, Wawasan Nusantara menjadi materi penting untuk disosialisasikan begitu rupa hingga menjadi salah satu mata kuliah umum di perguruan tinggi.

Sekarang pemerintah Indonesia berpijak pada sejarah untuk mega proyek menuju Poros Maritim Dunia. Boleh jadi bahwa pemerintah sudah tiba pada titik kesadaran ‘kita sebagai Indonesia’, bahwa sepatutnya segenap rakyat diarak dalam geliat pembangunan yang adil dan merata. Sebagai bangsa maritim yang besar, rakyat harus memiliki kesempatan yang besar pula untuk dapat menikmati manfaat, beragam kekayaan laut dan perikanan.

Sejak dicanangkan Presiden Joko Widodo, ternyata dinamika pengaturan pemanfaatan kemaritiman Indonesia hanya didominasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sepanjang lima tahun. Susi Pudjiastuti, Menteri perempuan yang sangat berani turun ke lapangan untuk mengawasi penerapan berbagai aturan dalam kerangka perbaikan mendasar, termasuk mendobrak benteng kuat para mafia perikanan dalam praktik illegal fishing yang sudah lama berlangsung di Indonesia.  Sebagian pihak gerah dan menganggap bahwa langkah Menteri Susi Pudjiastuti harus dilawan secara masif melalui adalah ‘perang dingin’ yang simpatik sembari memanfaatkan para nelayan dalam gerakan demonstrasi.

Perhatian sepenuhnya tersedot situasi itu dan pemanfaatan potensi kemaritiman selama satu periode kepemimpinan Presiden Jokwo Widodo hanya berdenyut pada sektor perikanan tangkap laut dalam dengan segala bentuk persoalannya yang tumpang tindih. Semakin rumit lagi ketika ditambah dengan persoalan titik batas wilayah negara yang cukup pelik. Denyut jantung kemaritiman Indonesia, yaitu termasuk sektor kelautan dan perikanan dengan potensi yang sangat besar, penyelesaian persoalan maupun pemberdayaannya seakan-akan hanya bertumpu tunggal pada Presiden. Lembaga/kementerian seperti perdagangan, perhubungan, pariwisata, dan penanaman modal yang terhubung dengan pemerintah daerah belum sepenuhnya bergerak simultan dalam pemberdayaan potensi kemaritiman Indonesia.

Untuk menuju jalan terwujudnya mega proyek dalam visi Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia, setidaknya ada lima tonggak yang berdiri tegak, yaitu:
(1)  Membangun budaya maritim (masyarakat) Indonesia;
(2) Menjaga sumber daya laut dengan focus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industry perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama;
(3) Memberi prioritas pada pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim; dan
(4) Memperkuat diplomasi maritim dengan kerjasama di bidang kelautan, menghilangkan sumber konflik di laut seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut.
Dalam visi dan mega proyek Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia, sejauh ini dimana posisi Sulawesi Utara?

Sebetulnya sudah sangat jelas! Sejak tahun 1937 sudah digambarkan dengan terang oleh Bapak Bangsa, Dr. G. S. S. J. Ratulangi (1890-1949) dalam pemikiran besarnya Indonesia in den Pacific - Kernproblemen van den Aziatischen Pacific. Indonesia yang di dalamnya ada Sulawesi Utara, bagi Pasifik dan perekonomian dunia mengandung tiga hal pasif: negeri konsumen, negeri sumber bahan mentah, dan negeri tempat penanaman modal.

Tahun 2011 langkah Gubernur Sinyo H. Sarundajang yang sempat melakukan studi pengembangan pemikiran Ratulangi dalam sebuah disertasi –sayang sekali hasil studi itu tidak dipublikasi secara umum, sudah waktunya diayun lebih cepat dan energik. Hasil studi Sarundajang dalam kerangka eksplorasi, mengetahui, dan merumuskan kembali konsepsi dasar pemikiran Sam Ratulangi mengenai kondisi dan posisi geografis Indonesia yang sangat prospektif di Kawasan Asia Pasifik, sangat berarti bagi Sulawesi Utara dalam konteks geopolitik yang melingkupinya dan dapat dimanfaatkan untuk pembangunan daerah. Apalagi konsepsi Ratulangi sudah sempat dijadikan dasar dalam merumuskan strategi roadmap pembangunan Sulawesi Utara dalam rencana dan aksi pembangunan, termasuk mengetahui tantangan yang dihadapi saat diimplementasikan.

Khusus sektor parwisata Sulawesi Utara, Gubernur Olly Dondokambey sudah mulai bergerak. Oleh karena itu setelah menggulir visi dan mega proyek Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, dalam segenap kesempatan Presiden Joko Widodo berkali-kali menyebut bahwa Sulawesi Utara menjadi bagian penting di dalamnya. Itulah sebabnya dalam mengawal komitmen terhadap pengembangan ekonomi biru yang berkalanjutan, Sulawesi Utara sudah membuka pintu lebar-lebar untuk menjadi Tuan Rumah Forum AIS (Konferensi Tingkat Menteri Archipelago & Island States 2019 atas dukungan UNDP – PBB yang dilaksanakan 30 Oktober – 1 November 2019 dan dihadiri 28 Negara.

Adanya potensi kekayaan alam, terutama kelautan dan perikanan, tradisi bahari yang kuat dalam lintasan sejarah pelayaran niaga maritim di Nusantara, sungguh memperjelas posisi awal Sulawesi Utara; bahwa itulah modal kuat bagi bumi Nyiur Melambai untuk melangkah menjadi ‘pemain utama pada lini depan’ mega proyek Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

Dalam posisi yang sudah sangat jelas itu, pembangunan daerah dalam bingkai Sulawesi Utara harus sinkron kolaboratif, padu dan koheren, sebab aneka ragam potensi itu secara fisik adalah area kabupaten/kota –yang berbasis maritim. Sumbatan dan berbagai hambatan segera diurai dan dicarikan solusi untuk diselesaikan. Untuk menikmati kemakmuran dari laut yang sangat luas, Sulawesi Utara harus membangun kembali budaya maritim yang sedari dahulu kala mentradisi dalam kehidupan masyarakat. Pengembangan daerah yang berbasis kuat pada potensi maritime, harus pula ditunjang oleh kabupaten/kota yang memiliki basis agraris, yaitu daerah penghasil komiditi pertanian dan perkebunan yang saling terkoneksi dengan objek-objek wisata.

Sebuah hasil penelitian The Habibie Center dalam kerangka menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia atau Global Maritime Fulcrum (GMF) yang dicanangkan 2014, memaparkan bahwa pemanfaatan potensi kelautan baru menyumbang 7 persen dari GDP (Gross Domestic Product) Indonesia, yaitu sebesar Rp14.300 Triliun. Sumbangan aktivitas produksi masih terfokus di Pulau Jawa masih sangat besar, yakni dalam angka 80 persen. Dengan demikian, sisanya 20 persen adalah sumbangan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku serta Papua. Betapa kecilnya sumbangsih lima pulau tersebut.

Tentu saja banyak hal yang menjadi faktor penyebab sehingga sumbangsih lima pulau ini, jika dibagi rata masing-masing hanya 4 persen.  Kelak mega proyek Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia sudah berlangsung, dalam satu dasawarsa berjalan khusus Pulau Sulawesi yang di dalamnya Sulawesi Utara, harus sepakat untuk dapat memberi sumbangan 10-15 persen dari total GDP. Dengan luas laut ZEE 190.000 km2 dan perairan teritorial 161.540 km dengan panjang pantai 2.392,99 km, angka-angka ini adalah gambaran sea power Sulawesi Utara yang dapat diaktualisasikan melalui program pariwisata maritim dan industry perdagangan, ekspor perikanan tangkap dan komoditi pertanian pendukung lainnya.

Itulah sebabnya percepatan pembangunan infrastruktur transportasi untuk meningkatkan akses dan konektivitas sebagai menunjang pertumbuhan sektor pariwisata Sulawesi Utara harus lebih dipercepat. Kualitas pelabuhan-pelabuhan lama ditingkatkan, pembangunan pelabuhan baru utama di pulau-pulau utara dalam teritori Kabupaten Talaud, Kabupaten Talaud, dan kabupaten Sitaro harus dilakukan secara cepat untuk memperlancar pintu masuk bagi wisatawan mancanegara di kawasan Utara, yaitu wisatawan dari Filipina, Jepang, Korea Selatan dan Tiongkok.

Bukan hanya Taman Nasinal Laut Bunaken, tetapi potensi-potensi wisata bahari lainnya di Sulawesi Utara saatnya mulai digarap. Pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan memprioritskan pembangunan tol laut, pelabuhan laut dalam, logistik, industry perkapalan dan pariwisata maritim. Dalam kerangka pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung, pelabuhan Bitung berperan penting untuk menjadi gerbang perdagangan di Laut Pasifik.

(*Penulis: pemerhati sosial, kemasyarakatan dan pariwisata di Sulawesi Utara)