Ancaman Perang Ekonomi Global Dan Wacana Penguatan Ekonomi Domestik - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Ancaman Perang Ekonomi Global Dan Wacana Penguatan Ekonomi Domestik

Jerry Bambuta (Foto: Dok Pribadi)

Bagian 2: Wacana Penguatan Ekonomi Domestik. 

Opini oleh: Jerry Bambuta (Founder Forum Literasi Masyarakat  Sulawesi Utara)

Sulut24.com - Opini, Menyusuri uraian narasi yang sudah dipaparkan pada bagian pertama dari artikel ini sekaligus melihat posisi Indonesia dalam peta geopolitik global menempatkan kita secara langsung berhadapan dengan berbagai tantangan dan ancaman konflik kepentingan ekonomi global. Jika pola kebijakan nasional minim dalam keberpihakan terhadap eksistensi dan kemandirian ekonomi domestik, maka upaya infiltrasi, kolonisasi dan dominasi asing ke berbagai sendi dan potensi ekonomi sangat mengancam kedaulatan ekonomi negara.

Dalam pusaran konflik kepentingan ekonomi global, apakah Indonesia cukup kuat mengontrol tali kekang ekonomi Negara ketika kepentingan asing berusaha mendominasi? Jika kita kuat, maka kita yang mengontrol tapi jika lemah maka kita yang di kontrol. Dan ketika kita lemah, maka kita sudah berada di bawah ketiak kolonialisme asing di era modern. Pikiran saya tergelitik untuk mencoba membedah sebuah roadmap (peta) yang setidaknya bisa menjadi rujukan kebijakan public bagi para pemangku kebijakan di negara ini, baik dari tingkat pusat dan hingga ke daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota).

Di tengah turbulensi ekonomi global yang kompleks, navigasi kebijakan publik kita mutlak di arahkan pada visi pembangunan paripurna yang strategis sekaligus sinergis untuk memperkokoh kekuatan ekonomi domestic dalam segala bidang. Yang kita harapkan bersama adalah terciptanya sebuah multiplier effect untuk memicu pertumbuhan dan pemerataan ekonomi local yang akan menjadi pondasi kekuatan ekonomi nasional.

Penguatan ekonomi domestic secara local di 34 Provinsi ibarat jaringan sel yang akan berkontribusi membangun system jaringan ekonomi nasional yang kokoh. Saya mencoba mengurai ke dalam empat pondasi kebijakan public, yaitu:

1. Kebijakan Penguatan Sumber Daya Manusia 

Aspek kebijakan ini mutlak mendapatkan perhatian karena tersedianya sumber daya manusia unggul adalah salah satu modal vital dalam menggerakan pembangunan semesta di berbagai bidang. Apalagi Indonesia pada tahun 2020 – 2040 akan berhadapan dengan bonus demografi. Bonus demografi ini adalah prosentase usia penduduk produktif pada kisaran usia 15-64 tahun berada pada angka lebih besar di bandingkan dengan prosentase usia tidak produktif yang berada di kisaran usia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun. Kurang lebih dari jumlah penduduk mencapai 297 jiwa, 64% di antaranya adalah populasi penduduk pada usia produktif.

Menyadari akan proyeksi ini, maka kebijakan dalam penguatan kualitas sumber daya manusia harus mendapatkan perhatian serius. Di mana penguatan kompetensi sumber daya manusia harus di arahkan pada kesiapan daya siang di tengah era revolusi industry 4.0. Bonus demografi memberikan peluang sekaligus tantangan yang harus di jawab, keberhasilan dalam preparasi dan konstruksi kualitas sumber daya manusia akan melahirkan basis tenaga kerja unggul yang akan menjadi modal vital dalam menggerakan pembangunan semesta dalam berbagai sektor.

Menjadi tantangan karena hari ini kita memiliki angka literasi yang sangat minim dalam populasi masyarakat secara nasional. Salah satu indicator yang kerap kali di pakai dalam riset evaluasi tingkat kualitas sumber daya manusia adalah angka literasi. Menurut National Institute For Literacy menjelaskan pengertian literasi sebagai suatu kemampuan tiap individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung serta memecahkan suatu masalah pada tingkat keahlian yang di perlukan dalam suatu pekerjaan, keluarga dan masyarakat.

Pengembangan kultur literasi secara linier akan berdampak pada terbangunnya kompetensi social masyarakat. Pengembangan kultur literasi akan memberikan manfaat yang besar ke dalam masyarakat yaitu terjadinya kemampuan penambahan kosakata, mengoptimalkan kerja otak, menambah wawasan dan informasi baru, mempertajam diri dalam menangkap makna suatu informasi tertentu, mengembangkan kemampuan verbal, melatih kemampuan berpikir dan menganalisa, meningkatkan focus dan konsentrasi dan melatih dalam hal menulis serta merangkai kata yang bermakna kritis. 

World Economic Forum pada tahun 2015 sepakat dalam pengelompokan enam literasi dasar yang memiliki segment-segment yang spesifik yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi financial, literasi budaya dan literasi kewarga negaraan. 

Dalam survey literasi yang di lakukan oleh OECD (Organisation For Economic Co-operation & Development) bertajuk Program For International Student Assessment (PISA) menunjukan bahwa Indonesia hanya berada pada tingkat 62 dari 70 negara yang menjadi responden. Indonesia pada tingkat 62 hanya memiliki skor 395,3 dan berada jauh di bawah Singapore dengan skor 556, Vietnam dengan skor 495 dan Thailand dengan skor 415. Skor PISA ini di ukur dengan tiga indicator kualitas pendidikan yaitu kemampuan matematika, ilmu sains dan membaca. 

Data perpustakaan Nasional pada tahun 2017 mencatat bahwa minat bangsa masyarakat kita masih sangat rendah. Durasi membaca per hari rata-rata dari orang Indonesia adalah 30-59 menit per hari, itu artinya kurang dari 1 jam per hari. Masyarakat yang berada pada Negara-negara berkembang rata-rata menghabiskan waktu membaca 6-8 jam per hari. Minat baca Indonesia masih berada jauh di bawah standard UNESCO yang menganjurkan membaca paling minimal 4-6 jam per hari. 

Dengan mengkaji fakta dan data di atas, kita membutuhkan strategi kebijakan pendidikan yang benar-benar bisa menjadi solusi terhadap masalah-masalah di atas sekaligus memberi kontribusi signifikan secara langsung pada penguatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Kebijakan penguatan kualitas sumber daya manusia dari pusat hingga ke daerah harus sinkron dan sinergis bergerak memecahkan masalah-masalah yang di uraikan di atas.

2. Kebijakan Penguasaan Dan Inovasi Teknologi. 

Salah satu indicator kemajuan sebuah bangsa tidak terlepas dari peranan penguasaan dan inovasi teknologi. Teknologi mampu menciptakan peningkatan daya saing serta efisiensi pembangunan ekonomi sebuah Negara. Penerapan teknologi inovatif dalam sector industry domestic akan membuat biaya produksi lebih minim, interval waktu produksi yang cepat secara massal dengan kualitas produk yang kompetitif. 

Penerapan teknologi inovatif dalam sector dagang membuat hilangnya batas ruang dan waktu serta memicu efisiensi aktivitas jual beli. Akibatnya, penerapan teknologi inovatif dalam sector industry domestic selalu memicu konsekuensi pada penurunan serapan buruh kerja karena kesulitan beradaptasi dengan kompetisi kompetensi kerja. Oleh karena itu, penguatan aspek kebijakan ini harus tidak boleh mengabaikan peningkatan kompetensi basis tenaga kerja domestik, memperbaiki pasar tenaga kerja, memajukan inovasi teknologi dengan berbagai program riset dan pengembangan teknologi.

Kepala LIPI, Iskandar Zulkarnain dalam seminar nasional  Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) pada tanggal 27 Agustus 2015 menyampaikan bahwa salah satu indicator untuk mengevaluasi tingkat penguasaan iptek dalam sebuah Negara di nilai dari jumlah peneliti secara nasional dan jumlah belanja litbang secara nasional. Dari data yang di himpun, Jumlah peneliti nasional di hitung per 1 juta penduduk masih minim berada pada angka 90 orang/1 juta penduduk. Berbeda jauh dengan Negara-negara lainnya, seperti Brazil memiliki 700 peneliti/1 juta penduduk, India 160 peneliti/1 juta penduduk, Rusia 3.000 peneliti/1 juta penduduk, China 1.020 peneliti/1 juta penduduk dan Korea Selatan 5.900 per 1 juta penduduk. 

Dalam catatan artikel bertajuk “KONDISI DUNIA PENELITIAN INDONESIA” oleh Scholastic Gerintya yang di publikasi oleh www.tirto.id menyatakan data dari SCImago (sebuah portal yang mencakup jurnal-jurnal dan indicator ilmiah Negara yang di kembangkan dari informasi yang terkandung dalam database scopus. Indicator ini dapat di gunakan untuk menilai dan menganalisis bidang ilmiah). 

Data SCImago untuk Indonesia menyatakan bahwa sepanjang tahun 1996-2016 tercatat jumlah publikasi jurnal ilmiah terindeks global tercatat 54.146 publikasi. Jika di bandingkan dengan Singapura, Malaysia dan Thailand, peringkat Indonesia masih berada di bawah ketiga Negara ASEAN tersebut. Pada tahun 2016, di tingkat dunia, Indonesia menempati peringkat 45 untuk jumlah dokumen yang terpublikasi internasional. Di kawasan Asia, posisi Indonesia pada urutan ke 11.

Sementara di tingkat ASEAN, Indonesia berada pada peringkat 4. Selain publikasi riset, cara lain untuk menilai kontribusi riset adalah jumlah hak paten yang di hasilkan. Bersumber dari US Patent & Trademark Office, hingga tahun 2015, jumlah hak paten Indonesia yang terdaftar berjumlah 333. Angka ini masih sangat jauh di bandingkan dengan Negara ASEAN lainnya, Singapura  dengan 10.044 hak paten, Malaysia dengan 2.690 hak paten dan Thailand dengan 1.043 hak paten. Tidak hanya tertinggal, pertumbuhan hak paten Indonesia menunjukan trend yang stagnan sejak tahun 2005.

Indikator penilaian lainnya adalah prosentase anggaran riset nasional. Negara yang memiliki kemajuan ekonomi yang pesat memiliki atensi dan komitmen yang serius dalam investasi di bidang riset. Atensi dan komitmen serius ini di lihat dari rasio pengeluaran penelitian dan pengembangan terhadap PDB (produk domestic bruto), alokasi anggaran riset ini di sebut dengan “Gross Expenditure on Research & Development” (GERD). Nilai GERD Singapura mencapai 2,2%, Nilai GERD untuk Malaysia mencapai 1,2%. Sedangkan Indonesia hanya pada angka 0,24% sangat jauh tertinggal dari GERD dunia.

Komposisi belanja penelitian dan pengembangan di Indonesia masih di dominasi oleh sector pemerintah. Keterlibatan aktivitas riset dari sector swasta atau bisnis masih sangat minim. Sangat di butuhkan langkah kebijakan strategis sehingga pertumbuhan ekonomi kita bukan hanya bersifat “resources driven state” (pertumbuhan ekonomi yang berpijak pada pengelolaan sumber daya alam) tapi berkembang menjadi “efficiency economic driven state” yang ujung tombaknya adalah “innovative technology driven state” (peran dari sains dan teknologi di segala bidang memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang signifikan).

3. Kebijakan Proteksi Dalam Ekstraksi Bahan Baku Domestic Yang Berkelanjutan. 

Melimpahnya berbagai sumber daya alam Indonesia menjadikan Indonesia memiliki daya pikat investasi yang besar, baik itu untuk sumber daya alam dari sector perikanan, kelautan, pariwisata, pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan, migas dan lainnya. Oleh karena itu, prinsip pemanfaatan sumber daya alam yang efisien dan berkelanjutan harus selalu di prioritaskan (sustainability development). Peran kebijakan pengelolaan sumber daya alam berbasis konservasi (lestari), ekstraksi (pemanfaatan) dan proteksi kedaulatan ekonomi domestic harus menjadi ujung tombak pembangunan. 

Masyarakat kita tidak boleh hanya di manfaatkan sebatas “objek pembangunan” tapi harus di berdayakan secara mandiri menjadi “subjek pembangunan” dalam berbagai kegiatan ekonomi mandiri berbasis sumber daya local. Melimpahnya potensi sumber daya alam menjadi peluang yang besar dalam upaya konversi nilai ekonomi yang akan bermuara pada peningkatan pendapatan Negara sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat. Potensi-potensi ini harusnya menjadi katalisator secara ekonomi yang bisa merangsang bertumbuhnya sentra-sentra investasi bukan hanya skala industry tapi juga jaringan UKM (usaha kecil menengah).

Tapi dalam beberapa bahasan para pakar menemukan ironi bagi Negara yang melimpah sumber daya alam. Bagi sebuah bangsa yang melimpah dengan sumber daya alam kerap kali di terpa dengan fenonema “the curse of resources” (kutukan sumber daya), fenomena ini menjelaskan bahwa negara yang kaya akan sumber daya alam, terutama yang tak terbarukan seperti minyak dan hasil tambang, cenderung lebih lambat pertumbuhan ekonominya jika dibandingkan dengan negara yang terbatas sumber daya alamnya.

Fenomena paradox ini pertama kali dikemukakan oleh seorang ekonom Inggris bernama Richard Auty (1993) dan dikuatkan oleh Sachs dan Warner (1995) serta laporan The World Bank (2006) yang berjudul “From Curse to Blessing Natural Resources and Institutional Quality”. Sejatinya, secara kasat mata pun kita bisa melihat hal tersebut secara gamblang dengan membandingkan PDB per kapita dari negara - negara kaya sumber daya alam di Asia Pasifik seperti Indonesia, Filipina, Myanmar, dan Papua Nugini yang tertinggal dari negara-negara dengan sumber daya alam yang amat terbatas, seperti Singapura, Jepang, dan Korea Selatan (www.lipi.id, 2015).

Menurut pendapat para ahli, ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya paradoks tersebut, seperti kebergantungan yang tinggi terhadap harga komoditas, volatilitas nilai tukar mata uang yang dapat mengakibatkan shock dalam perekonomian karena umumnya harga komoditas ditentukan di pasar global, lemahnya inovasi akibat terlena akan kemudahan memperoleh pendapatan dengan ekstraksi sumber daya alam, menurunnya daya saing sektor lain akibat terlalu fokus pada sektor ekstraksi sumber daya alam, serta timbulnya korupsi dan ekonomi rente (rent seeking) yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum pemerintah dan pengusaha dengan menggunakan momentum mudahnya pengumpulan pundi-pundi melalui pengerukan sumber daya alam.

Peran dari kebijakan pemerintah tidak bisa lagi sebatas “market broker” yang hanya menguntungkan para pemodal dengan tujuan melakukan monopoli sumber daya alam. Akhirnya yang akan di rugikan adalah masyarakat dan hanya akan menguntungkan para pejabat korup pemburu rente. Secara strategis, pemerintah harus bisa berperan sebagai “market regulator” yang bisa menjaga kedaulatan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam secara mandiri. 

Pemerintah membangun ruang proteksi terhadap inkubasi aktivitas ekonomi rakyat yang berbasis sumber daya alam local yang muaranya adalah kemandirian ekonomi rakyat. Sehingga, kebijakan pembangunan ekonomi secara local dan nasional akan sinkron dan sinergis menciptakan simbiosis mutualisme antara sector usaha menengah ke bawah dan sector investasi berbasis industry. Dengan demikian, Pasar domestic terhindar dari kartel-kartel investasi yang melakukan monopoli pasar dan monopoli sumber daya alam sehingga ada ruang yang cukup longgar bagi ekonomi rakyat membangun eksistensinya dalam ekosistem ekonomi domestic.

4. Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara. 

Dalam undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara di sebutkan bahwa pendapatan Negara adalah semua penerimaan yang berasal dari penerimaan pajak, penerimaan Negara bukan pajak serta penerimaan hibah dari dalam dan luar negeri. Secara ringkas berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa lumbung penghasilan Negara berasal dari tiga sumber utama, yaitu pajak, non pajak dan hibah.

Besarnya penerimaan yang di terima oleh Negara di tetapkan oleh kementerian keuangan atas persetujuan Presiden yang di bahas bersama-sama dengan dewan perwakilan rakyat. Sumber pendapatan Negara nantinya akan di gunakan untuk mensejahterakan rakyat sebagai perwujudan sila kelima Pancasila yaitu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Sumber pendapatan Negara akan kembali kepada masyarakat dalam bentuk program bantuan atau pembangunan fasilitas umum. 

Wahyu Eka dalam situs direktorat jenderal pajak (DJP) www.pajak.co.id menjelaskan bahwa dalam postur APBN 2019, penerimaan pajak menyumbang 82,5% dari total penerimaan Negara. Harus di akui hingga saat ini sector pajak menempati prosentase tertinggi dalam penerimaan Negara. Oleh karena itu, penguatan kebijakan dalam sector pajak dalam rangka optimalisasi penyerapan penerimaan Negara sangat penting. Anjloknya sector pajak akan berimbas signifikan pada anjloknya penyerapan penerimaan Negara, dan secara langsung berdampak pada terganggunya aktivitas pembangunan nasional yang di biayai dari sector pajak. Sektor pajak pemerintah pusat terdiri dari tujuh objek pajak, yaitu pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan barang mewah, pajak bumi bangunan, pajak ekspor, pajak perdagangan internasional dan bea masuk/cukai.

Sedangkan untuk pemerintah provinsi memiliki lima objek pajak, yaitu pajak kendaraan bermotor, pajak bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak pengembalian dan pemanfaatan air tanah dan pajak rokok. Sedangkan untuk pemerintah kabupaten/kota memiliki sepuluh objek pajak, yaitu pajak hiburan, pajak restoran, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak sarang burung walet, pajak bumi bangunan perdesaan dan perkotaan, pajak hotel. 

Salah satu indicator penilaian penerimaan pajak adalah nilai tax ratio (rasio pajak). Rasio pajak atau tax ratio adalah perbandingan atau persentase penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB), dimana hal itu juga merupakan salah satu indikator untuk menilai kinerja penerimaan pajak. Tax ratio itu mengukur kemampuan pemerintah mengumpulkan pajak dari total perekonomian, dalam arti total produk domestik bruto. Sehingga, ukuran tax ratio itu menunjukkan seberapa mampu pemerintah membiayai keperluan-keperluan yang menjadi tanggung jawab negara. Jadi, kalau tax ratio rendah berarti pemerintah tidak terlalu mampu banyak berbuat. Kalau tax ratio tinggi berarti pemerintah lebih banyak mampu berbuat melalui APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). 

Edy Suwiknyo mempublikasikan sebuah laporan dalam situs www.ekonomi.bisnis.com pada Rabu 24 Juli 2019, laporan tersebut berjudul Revenue Statistic in Asia and Pacific Economies 2019 yang dipublikasikan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) menunjukkan, sebanyak 9 negara mengalami kenaikan tax ratio antara 2016 dan 2017. Sisanya, yakni 8 negara justru mengalami penurunan tax ratio. Sementara itu, dengan kinerja rasio pajak Indonesia hanya pada angka 11,5%, angka ini merupakan yang paling rendah bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara kepulauan kecil di kawasan pasifik misalnya Tokelau yang mencapai 14,2% atau Vanuatu yang mencapai 17,1%.

Rendahnya tax ratio adalah indicator yang jelas rendahnya kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak. Rendahnya tax ratio juga menunjukan urgennya upaya perbaikan system pajak baik dari tingkat pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu, penguatan kebijakan sector pajak dalam rangka peningkatan kesadaran dan kepatuhan pajak dari setiap wajib pajak sangat di butuhkan. Digitalisasi dari system pajak menggunakan system teknologi informasi harus merata implementasinya dari pusat hingga daerah.

Kesiapan sumber daya manusia untuk cakap mengelola system digitalisasi ini pun penting untuk di siapkan dari pusat hingga ke daerah. Perbaikan administrasi pajak yang “easy access” dan “quick response” akan kian membuat layanan pajak semakin dekat dengan wajib pajak. Kebijakan pajak dalam aspek regulasi dan perbaikan iklim investasi kondusif memberikan keberpihakan pada pertumbuhan positif dari semua obyek pajak sehingga mendorong sector investasi menggeliat positif. Dan tidak kalah pentingnya adalah upaya pengawasan yang meminamalisir kebocoran koruptif  dalam layanan pajak dari pusat hingga ke daerah.

Tentang Penulis: 

Jerry Bambuta, sejak tahun 2010 aktif sebagai Mentoring Group Leader dari pelayanan misi holistic interdenominasi ARK OF CHRIST LANGOWAN yang di naungi oleh Yayasan Bahtera yang berpusat di Bandung, Jawa Barat. Aktif dalam melakukan kegiatan pelatihan kepemimpinan muda dan pemuridan di kampus UNSRAT Manado dan UNIMA Tondano. Selain itu, aktif sebagai Leader dari MATCON (Mapalus Tech Connection) yang focus dalam layanan komersil dalam bidang Website Development, Software Development, Rural Network Solutions, Land VSAT, Marine VSAT, IT Security, IT Consulting & Training.

Bersama tim MATCON, pada tahun ini sementara menyiapkan konsep optimalisasi dalam peran pendampingan e-government untuk setiap pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, pemerintah kota dan pemerintah desa dalam penerapan e-government di kawasan Sulawesi Utara dan Indonesia Timur. Selain itu juga, berperan aktif sebagai pimpinan dalam program Forum Literasi Masyarakat (Forlitmas) Sulawesi Utara, FORLITMAS adalah sebuah wadah edukatif yang focus membangun literasi masyarakat, publikasi riset, afiliasi kemitraan dan inkubasi kemandirian masyarakat.

Forlitmas di dominasi oleh pemuda/mahasiswa yang terpanggil berperan dalam membangun kultur literasi masyarakat baik secara local maupun nasional. Dalam kegiatan swadaya tani nelayan, sejak tahun 2014 giat melakukan pembinaan petani di Kabupaten Minahasa dalam program GENTA SAKTI (Gerakan Pertanian Desa Produktif). Email: Jerbam157@gmail.com