Poros Baru Porodisa : Sebagai Gagasan, Sebagai Gerakan - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Poros Baru Porodisa : Sebagai Gagasan, Sebagai Gerakan

Logo Poros Baru (Gambar dok Poros Baru)


Oleh: Charles Edah


Sulut24.com, OPINI - Pada sebuah negara segala sesuatu bergantung pada keputusan politik. Begitu pandangan Bertolt Brecht, seorang pemikir kebudayaan dan penulis drama realis revolusioner kelahiran Augsburg, Jerman, 1898.  Ini sebabnya, setiap warga negera wajib dipandang memiliki kecerdasan politik dan ikut serta berpastisipasi dalam melahirkan keputusan politik. Karena itulah di negara-negara demokrasi, kultur politik bangsanya dibangun di atas pemahaman pemerintahan yang tunduk pada semangat dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. 

Di Indonesia, sebagaimana cita-cita reformasi,  kultur politik bangsa harusnya tumbuh di atas pondasi keadaban, yaitu kemanusiaan, komunalitas, persaudaraan, kesetiakawanan dan keadilan. Namun apa yang nampak saat ini tak lebih kultur politik yang lebih banyak memancarkan energi animalitas yang melahirkan kecenderungan yang digambarkan Aristoteles, sebagai kekuasaan yang hanya menjadi milik segerombolan orang, hingga demokrasi menjadi sebuah sistem yang bobrok. Tak pelak, drama terbesar yang tersuguh dalam pergulatan politik itu tak lebih ekses demokrasi yang menyebakan cita-cita reformasi berupa demokratisasi tak berjalan sesuai harapan. Sesuatu yang mahal yaitu fondasi keadabannya seakan sirna, dan berganti pemandangan miris kekerasan, intoleransi, kesenjangan, ketidakadilan, dan degradasi moral. 

Krusialnya, dampak dari iklim persaingan politik itu tak saja bertengger di tingkat atas, namun sebagaimana pengalaman paling mutakhir  ikut merambah hingga ke level lokal. Momentum suksesi pasca-reformasi di berbagai daerah selalu menyisahkan sebuah pemandangan dan cerita muram dari sebuah masyarakat yang terkotak-kotak dalam semacam gerombolan konspirator. 

Momentum-momentum pemilihan Bupati dan Wakil Bupati pada sebuah kabupaten menjelma ajang dilematis tak saja bagi rakyat pemilih, namun terlebih bagi para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mau tidak mau harus masuk dalam geng kekuatan politik, menjadi kurir, buzzer atau penggaung, bahkan ada yang terang-terangan menampakan diri  dalam semacam gerombolan penakluk yang bermimpi kecipratan jabatan saat menang. Lalu, kelompok yang kalah segera terpuruk dalam mimpi buruk,  terpojok di sudut-sudut institusi yang harusnya memberikan ruang terhormat untuk jejang karier menurut kapabilitas mereka. Demikian energi animalitas kultur politik itu kini melahirkan watak serigala sebagaimana dilukiskan Thomas Hobbes dalam De Cive (1651) sebagai Homo Homini Lupus, manusia yang menerkam sesamanya, yang merupakan oposisi biner dari Homo Homini Socius yang bermakna manusia adalah teman bagi sesama manusianya.

Di tengah perangai politik negatif ini, kita cukup berlega, sebab pada tingkat nasional, mulai nampak upaya-upaya menangkal ekses demokrasi dan memulihkan kultur politik bangsa, digerakan lewat berbagai poros pergerakan baik oleh para cendekiawan, politisi bahkan partai politik.  Para arifin ini, kata AS Maarif, adalah kaum yang rela menjadi telinga dan mata bagi pencari keadilan, pendamba kesejahteraan dan pengayom bagi masyarakat bawah. 

Itu sebabnya, kemunculan Poros Baru Porodisa, bukanlah sebuah gagasan dan pergerakan tanpa alasan. Sebagaimana kemunculan poros-poros pergerakan di Talaud sebelumnya yang tampil dengan platform yang sesuai dengan kebutuhan zamannya, Poro Baru Porodisa demikian pula. Ada kubutuhan mendesak yang wajib dilakukan oleh rakyat Talaud terkait dengan ekses demokrasi yang telah menciderai keadaban dan kultur politik yang sehat. Kelahiran Poros baru Porodisa lebih merupakan sikap moral rakyat Talaud yang mengambil tanggung jawab untuk menentukan apa yang mau dipertahankan dan apa yang mau dilakukan untuk memulihkan demokrasi yang sebenarnya.

Meminjam perspektif Paulo Freire, dalam “Pedagogy of the Oppressed” (Pendidikan Kaum Tertindas), 1967, Poros Baru Porodisa dari sisi gagasan adalah semacam keterwakilan dari buah pikiran kreatif dan hati nurani yang peka akan kesengsaraan dan penderitaan luar biasa kaum tertindas, ketika musim semi penindasan belum juga surut dan kebenaran bukan milik rakyat. Kebenaran seakan hanya boleh tumbuh di lengan kekar kekuasaan. Mereka yang mengidap jumawa dan menganggap manusia adalah gema kosong sebuah suara, dan bayangan menyedihkan dari sosok tubuh.

Dalam refleksi yang lebih metaforis, sebagai gerakan, Poros Baru Porodisa adalah upaya mengubah alur ketakutan menjadi keberanian. Mengasah ketakberdayaan menjadi keberdayaan, lalu bergerak menjadi pemberdaya. Menempa apriori apatis menjadi laku kreatif inovatif. Untuk membebaskan perbudakan nilai kemanusia menjadi kemerdekaan yang manusiawi. Poros Baru Porodisa sekaligus merupakan roda pengerak citra luhur nilai-nilai budaya Talaud yang kini tersingkir dari ruang-ruang publik. Sebuah gerakan menemukan kembali jati diri Talaud untuk mensiasati dan menangkal berbagai kontradiksi sosial, politik, dan ekonomi yang terdampak kultur politik negatif, serta mengambil tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas dari realitas tersebut dengan semangat kesetaraan (conscientization)  yang bersumbu pada sejatinya akar kebudayaan ana'u wanua'n Taroda (Talaud).

Di Indonesia kata “poros”  lebih dimaknai sebagai sebuah kekuatan politik. Harfiahnya,  poros  berarti sumbu atau roda, atau sesuatu yang menyebabkan terjadi perubahan dan pergerakan. Kebutuhan akan sebuah poros lazimnya karena adanya kesadaran untuk bergerak dari situasi yang pasif menuju keadaan yang aktif. Dalam beragam dinamika kekuasaan dan carut marut persoalan eksistensi kemanusiaan, sebelum lahirnya Poros Baru Porodisa, sejarah Talaud telah diwarnai sejumlah poros-poros pergerakan baik sejak era penjajahan hingga pasca-kemerdekaan Indonesia. 

Ini sebabnya, bila menyebutkan sesuatu yang bersejarah di Talaud, maka tak meluputkan semua orang menyebutkan kata pergerakan. Testimoni  para sejarawan sebagai misal menyebutkan, pengesahan pemekaran Kabupaten Kepulauan Talaud pada 2 Juli 2002, tak lain buah dari 44 tahun pergerakan orang-orang Talaud dalam memperjuangkan otonomi daerah yang dimulai sejak tahun 1948. Momen-momen pergerakan juga terbaca dalam sejumlah fakta historis sejak abad ke-17, ketika kepulauan Talaud menjadi ajang pertempuran antara suku bangsa Talaud melawan ekspedisi angkatan perang yang dipimpin Pitugansa. Dalam apa yang disebut sebagai “Perang Gunung Taiyan” di pulau Kabaruan, pasukan asing itu mampu dikalahkan lewat perlawanan sengit orang-orang Talaud. Se-abad kemudian, tepatnya 23 Juli 1893 di Talaud kembali meletus perang Arangkaa. Kerajaan Arangkaa di bawah Raja Manee dengan Panglima perangnya Raja Larenggam ketika itu menolak menanda tangani “Korte Verklaring” (Perjanjian Pendek) yang diajukan penjajah Belanda. 

Lalu paada 1933, Persatuan Anak Muda Indonesia Lirung (PAMIL) membentuk Barisan Merah Putih untuk melawan kekuasaan Belanda di  Talaud yang dipimpin Maliode Gagola, Corneles Tamawiwy, A. Tucunan. 

Mengapa kata pergerakan menjadi sesuatu yang begitu semarak disebutkan dalam sejarah Talaud? Jawabannya karena manusia adalah makhluk kultural, sebagaimana disebutkan Nietzsche. makhluk yang terus-menerus menciptakan dirinya dan dunianya. Proses penciptaan ini dituangkan dalam rupa-rupa dimensi. Selanjutnya, dimensi itu mendefinisikan dirinya sebagai “media” dan “simbol” tertentu. Dari apa yang dikreasikan itulah terpancar keluar hasrat “ekspresif” dan daya-daya “kognitif” manusia yang disebut kebudayaan. Maka pergerakan sejatinya adalah sifat manusia atau daya kreasi manusia dalam menghadapi persoalan-persoalan eksistensialnya.

Refleksi sejarah perjuangan otonomi Talaud sejak 1948 hingga 2002 dapat digambarkan sebagai pertarungan habis-habisan untuk mendapatkan posisi terbaik dalam mewujudkan apa yang menjadi ideal bagi masyarakat. Dan yang ideal itu dari sisi ekonomi dan kemaslahatan hidup, sejatinya sebuah gerak perubahan menuju yang lebih baik. Gerak perubahan yang juga dapat diafirmasi sebagai sistem pemerintahan tunduk pada semangat dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pada sisi ideologis yaitu untuk mengembalikan politik menjadi urusan publik. Menjadi res publica atau dalam idom lokal yaitu masyarakat yang Masaruwenten. Politik yang berada pada tingkat sebenarnya dari urusan kedaulatan (soveregnty), bukan semata urusan kekuasaan (power), atau urusan kekuasaan yang hanya menjadi milik segerombolan orang. 

Pada ranah politik, terkait filosofi “Masaruwenten”  (gotong royong), tak mungkin tertepis adanya kesadaran dalam masyarakat mengenaik urgensi sebuah pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebagai misal, yaitu momemtum tersebut dipandang bisa mendukung cita-cita ideal mereka seperti memunculnya identitas lokal, serta meningkatnya pelayanan umum, kesejahteraan masyarakat dan daya saing daerah.  Ada harapan di hati masyarakat di mana Pilkada di era otonomi daerah akan melahirkan figur pemimpin yang berasal dari daerah yang akan dipimpinya, mengenal kondisi daerahnya, dan punya keterkaitan emosional nan erat dengan masyarakat, sehingga terciptanya sistem Pemerintahan Daerah yang ideal. 

Harapan keidealan itu tentu harusnya didukung oleh adanya Sumber Daya Manusia (SDM) atau aparatur pelaksana dan pengawas dalam sistem Pemerintahan Daerah yang baik dan berkualitas. Karena meski instrument peraturan telah dibuat sebaik mungkin dalam penciptaan sistem Pemerintahan Daerah yang ideal, bila aparatur pelaksananya dan pengawasnya tidak berintegritas atau tidak masaruwenten maka  akan sulit tertepis adanya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Dan, di Talaud pasca-otonomi 2002 sangat jelas terlihat beragam kasus dari sistem pemerintahan yang salah arus itu hingga menyeret top eksekutif dan beberapa jajaran serta pihak-pihak terkait ke dalam pengadilan pidana dan berakhir di ruang penjara korupsi. 

Goenawan Mohamad, punya personifikasi yang cukup menggelitik untuk perangai pemerintahan yang dalam pemahaman orang Talaud sebagai tidak masaruwenten ini. Ia mengembarkannya sebagai sebuah monolog yang tak habis-habis berbicara dengan bahasa yang tak mau jelas. Bahkan dalam bentuknya yang peyoratif diandaikan sebuah kastil yang 50 persen imajinir, nampak perkasa namun membuat kita terbentur-bentur, bahkan tersekat. 

Mencermati beragam persoalan itulah urgensi kelahiran Poros Baru Porodisa. Gerakan ini tak lain bagian dari afirmasi terhadap nilai filosofi hidup masyarakat Talaud  yaitu “Masaruwenten”, yang digambarkan secara sistematis dalam tagline gerakan yang bertumpu pada nilai-nilai “Ketulusan, kejujuran, kesetiaan, kasih sayang”,  yang kemudian diaplikasi dalam berbagai platform operasionalnya.  Gerakan ini dapat disimpulkan sebagai pengkristalan kembali bahkan bangkitnya semangat berciri etnik untuk menjawab persoalan-persoalan eksistensial dan sosial politik di Talaud. 

Semangat gerakan ini memandang Talaud sebagai bagian dari negara Indonesia yang dicirikan oleh heterogenitas suku, bahasa, budaya, bangsa, agama, golongan, dan adat istiadat. Indonesia yang sejak berdirinya dibangun di atas sebuah sistem politik pemerintahan yang bersumber dari eneka nilai-nilai kultur itu. Sistem perpolitikan itu bernama demokrasi Pancasila yang disebut Soekarno sebagai sebuah system yang bersumbu dan berakar pada heterogenitas masyarakat Indonesia.

Maksud dari gerakan berciri etnik itu lebih diposisikan sebagai upaya mengakomodasi  sistem kultur dan sosial masyarakat Talaud, termasuk kembali ke system kultur demokrasi lokal yang sejatinya juga telah menjadi suatu kesadaran baru dalam masyarakat dunia modern. Para ahli menyebutkan, pulang ke identitas lokal  tak saja dipandang sebagai pemerintahan lokal dengan segala  sistem administrasinya yang hanya berfungsi menarik pajak dan menyediakan pelayanan pokok seperti pendidikan dasar, air bersih, penyaluran limbah, transportasi, maupun perumahan. Pemerintahan lokal haruslah menjadi landasan terciptanya demokrasi yang jauh lebih bermutu dengan masyarakatnya  yang langsung berpatisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup mereka. Tanpa demokrasi lokal yang kuat dan efektif, akan sulit terwujudnya demokrasi di tingkat nasional yang sehat.

Pada tingkat platform operasional, Poros Baru Porodisa antaranya mengendepankan program-program sosial diakonis, peningkatan SDM, pencerdasan politik serta sebuah upaya menuju sebuah mufakat budaya yang bisa melahirkan pedoman dan kebijakan strategis untuk kemajuan Talaud seperti yang depersepsikan  otonomi daerah sebagai jalan raya yang lebih baik menuju cita-cita ideal yaitu membawa keluar posisi masyarakat yang awalnya hanya objek berubah menjadi subjek.  

Dari sisi aksesibilitas, gerakan Poros Baru Porodisa  mendorong adanya kemandirian mengelola daerah yang diberengi pelimpahan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kian terbukanya hak bagi semua orang menduduki jabatan publik.

Sebagaimana anasir Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan, otonomi daerah didefinikan  sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya serta kepentingan masyarakatnya lewat prakarsa berdasarkan aspirasi masyarakat, demikian semangat yang diusung Poros Baru Porodisa. Dalam pengertian sederhana, Poros Baru Porodisa adalah sebuah gerakan mensinergikan seluruh kekuatan pembangunan daerah dalam kerangka mewujudkan cita-cita otonomi daerah seperti yang diimpikan dan diperjuangkan dalam gerakan sebelumnya oleh para pendahu. (Penulis: Salah satu Penggagas Poros Baru Porodisa dan mantan anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Talaud).