Kontemplasi Dua Puluh Empat Tahun, Pasca Gerakan Reformasi 1998 - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Kontemplasi Dua Puluh Empat Tahun, Pasca Gerakan Reformasi 1998

Jerry Bambuta saat bersama dengan Perwakilan OKP kabupaten Katingan dan Kalteng (Foto: Dok Pribadi)


Oleh :

Jerry Bambuta

Forum Literasi Masyarakat Indonesia


Sulut24.com, OPINI - Dua puluh empat tahun berlalu sejak peristiwa gerakan reformasi 1998 yang dipelopori oleh mahasiswa dan di tandai dengan tumbangnya rezim orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Rezim orde baru di era Presiden Suharto berkuasa selama 32 tahun dengan gaya kepemimpinan militeristik dan memberangus hak demokrasi rakyat secara diktator, salah satunya adalah fusi partai politik yang harus di sederhanakan hanya pada tiga partai politik sebagai peserta pemilihan umum, yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Golkar (Golongan Karya) dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia selama rezim orde baru di bungkam melalui tekanan militeristik dan otoriter. 

Belum lagi, kartel bisnis dari keluarga Cendana (Keluarga Suharto) dan kroni-kroninya yang menggurita ke berbagai sektor strategis membuat praktek KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) merajalela. Selama rezim orde baru, Indonesia menjelma menjadi “inang segar” berkembang biaknya kartel kapitalistik domestik dan asing. Akibatnya, tidak sedikit hak kesejahteraan masyarakat pribumi harus termaginalkan demi meloloskan kepentingan kaum kapitalistik. 

Ketimpangan kebijakan pembangunan nasional yang lebih bersifat “up to bottom” hanya melahirkan kebijakan yang timpang karena tidak bisa menjawab “grass root needs” di daerah. Akibatnya, terjadi disparitas pembangunan di berbagai bidang yang sangat lebar antara pusat dan daerah.

Meletusnya gerakan reformasi mahasiswa 1998 harus di sadari bukanlah gerakan yang muncul secara mendadak. Ketidak puasaan rakyat dan kegelisahan kaum aktivis progresif mengendap sekian lama jauh sebelum tahun 1998. Gerakan protes yang bermunculan sebelumnya terus di bungkam oleh rezim orde baru. Ibaratnya, seperti balon gas yang tidak sanggup lagi menahan tekanan udara dan membuat elastisitas balon gas pun meledak, demikian pula dengan akumulasi gerakan-gerakan perlawanan terhadap ketidak adilan yang di dalangi oleh rezim orde baru. Situasi nasional kian memanas dengan imbas terjadinya krisis finansial Asia Timur yang terjadi pada tahun 1997-1999. 

Ekonomi nasional goncang karena krisis multi dimensi dan nilai rupiah yang anjlok nilai tukarnya terhadap dollar. Berbagai sektor investasi dalam negeri yang berbasis impor pun terpukul hancur. Gerakan reformasi 1998 menjadi “gerakan berdarah” karena harus makan korban dari mahasiswa sebagai konsekuensi benturan dengan aparat. Tanggal 12 Mei 1998 terjadi penembakan mahasiswa saat terjadi demonstrasi mahasiswa di Universitas Trisakti. 

Empat mahasiswa menjadi korban meninggal dan puluhan lainnya mengalami luka-luka. Mereka yang tewas adalah Elang Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977-1998), Hafidin Royan (1976-1998) dan Hendriawan Sie (1975-1998). Mereka tewas tertembak di dalam kampus dan terkena peluru tajam di tempat vital seperti kepala, tenggorokan dan dada. 

Jemari saya tergelitik menggores tulisan ini sebagai bentuk rajutan kontemplasi yang saya alamatkan kepada setiap “garuda muda” yang berpijak di setiap jengkal bumi Nusantara dari Miangas sampai Pulau Rotte dan dari Merauke Sampai Sabang. Saya ingin menarik jejak historis gerakan reformasi sebagai “pemantik” kesadaran sosial politik dan kesadaran berinovasi untuk memikirkan navigasi bangsa setelah sekian lama melalui peristiwa berdarah di tahun 1998. 

Generasi milenial yang hari ini di kenal sebagai “digital natives” yang sangat akrab dengan “cyber world” tertantang untuk menemukan identitas dirinya dalam menentukan navigasi bangsa ini di masa depan. Realitas kaum milenial yang hari ini terancam dengan eforia hedonisme di era digital berpotensi menyuburkan “spirit apatisme” terhadap kondisi bangsa. Kebetahan yang lebih dominan menjadi “komentator” di media sosial daripada menjadi “aktor pelopor” di dunia nyata berpotensi menyuburkan populasi “silent majority” di bangsa ini. 

Kisah gerakan reformasi 1998 bagaikan sebuah rak buku perpustakaan berharga yang meskipun sudah berdebu tapi masih menyimpan “nyawa perjuangan” yang saya yakini masih berdetak hingga hari ini. Meskipun harus jujur di akui bahwa cita-cita reformasi hari ini seperti kehilangan arah. 

Letupan perlawanan awalnya menggoncang kuku-kuku kekuasaan rezim orde baru tapi pada era pasca reformasi terkesan seperti melempem. Rahardian (2018) dalam tulisannya berjudul “Apakah Reformasi di Indonesia Sudah Berjalan di Jalurnya Yang Benar?” di muat dalam situs DW Indonesia menjelaskan, bahwa gerakan reformasi adalah gerakan perlawanan yang muncul sebagai bentuk solidaritas bersama. 

Tapi, pasca tumbangnya rezim orde baru, terjadi saling klaim sebagai kelompok paling berjasa dalam gerakan tersebut. Kelompok mahasiswa merasa bahwa mereka adalah penggerak utama gagasan reformasi dan kelompok elit juga mengklaim peran vital mereka dalam upaya perbaikan birokrasi-administratif dalam pemerintahan. Bahkan, ketika Megawati, Gus Dur dan Amin Rais yang di sebut sebagai tokoh trisula reformasi pada akhirnya saling hantam juga. 

Amin Rais pada akhirnya membangun poros tengah untuk menjegal Megawati dan kemudian melengserkan Gus Dur. Belum lagi, dua kelompok mahasiswa yang lebih sibuk dengan kepentingan masing-masing, baik kelompok kiri (sosialis-moderat) dan kanan (islam-konservartif).

Awal mula gerakan reformasi terdesak karena beban kolektif agar rezim orde baru yang diktator-militeristik tumbang, sekaligus dengan harapan bersama bisa mewujudkan tatanan kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa yang demokratis dalam segala bidang. 

Sayangnya, pasca reformasi, malah gagal membangun kekompakan untuk menyatukan visi misi reformasi membuat para tokoh-tokoh reformasi terlihat belum berhasil membangun tatanan perubahan mengeliminasi warisan orde baru. Pilar-pilar orde baru berhasil di runtuhkan, tapi sayangnya lantai kontor dari tempat pilar tersebut belum tuntas di bersihkan. Dan celakanya, di atas lantai kontor itulah malah pilar-pilar reformasi di bangun. Wajah rezim orde baru sudah sirna tapi hegenomi dari sifat-sifat koruptif era orde baru masih bercokol hingga saat ini.

Kegagalan menciptakan “konsensus pasca reformasi” di antara semua pihak yang berperan dalam gerakan reformasi bagaikan membangun “Kapal Besar” yang kehilangan “Nakhoda”. Setelah 24 tahun era reformasi, Indonesia melahirkan begitu banyak faksi-faksi politik yang membuat ruang demokrasi nasional kian gaduh. Dan sepertinya kita seperti mulai menjauh dari kiblat reformasi yang awalnya di perjuangkan. Residu balkanisasi karena praktek politik identitas yang brutal dalam setiap momentum politik lokal dan nasional nyaris membuat negara ini menjelma menjadi bara api pemicu konflik berbau SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Realitas diskriminasi umat beragama yang mencolok menjadi noda terhadap negara yang mengklaim dirinya negara plural dengan semangat “Bhineka tunggal Ika”. 

Kebijakan otonomi daerah menciptakan “raja-raja kecil” di setiap daerah yang malah memindahkan praktek korupsi berjemaah dari pusat hingga ke daerah. Lumbung-lumbung logistik politik praktis masih betah bersarang di BUMN yang katanya adalah perusahaan “pelat merah”. Harusnya berjuang meraup lebih banyak devisa negara untuk kepentingan rakyat malah kepergok berselingkuh dengan para pemodal dalam praktek kerja kolusi, korupsi dan nepotisme.

Kondisi internal negara yang masih perlu banyak di benahi, tapi kita sudah di perhadapkan dengan realitas perang ekonomi global yang dampaknya tidak bisa lagi di batasi oleh sekat-sekat lokalitas dalam negara. Penetrasi kekuatan asing tidak lagi di lakukan dengan agresi militer secara frontal dengan senjata militer (perang simetris). Arena tarung  dalam perang ekonomi global hari ini terjadi dengan pola “perang asimetris” yang menerapkan strategi “proxy war”. Perang asimetris melakukan upaya penaklukan sebuah negara dengan agitasi dan dominasi destruktif melalui kekuasaan boneka dari dalam sebuah negara. 

Strategi adu domba internal negara dengan menggunakan taktik balkanisasi destruktif yang sengaja di bangun. Tujuannya adalah untuk memicu konflik horizontal negara secara internal, dan akan berdampak secara langsung meluluh lantakan kekuatan negara dari dalam sehingga kolonisasi asing ke dalam negara dengan mudah di lakukan.

Bukan hanya tantangan penguatan proteksi negara terhadap aneksasi asing, kita di perhadapkan hari ini dengan peluang sekaligus tantangan bonus demografi antara tahun 2020-2040. Bonus demografi ini adalah prosentase usia penduduk produktif pada kisaran usia 15-64 tahun berada pada angka lebih besar di bandingkan dengan prosentase usia tidak produktif yang berada di kisaran usia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun. Kurang lebih dari jumlah penduduk mencapai 297 jiwa, 64% di antaranya adalah populasi penduduk pada usia produktif. Menyadari akan proyeksi ini, maka kebijakan dalam penguatan kualitas sumber daya manusia harus mendapatkan perhatian serius. 

Di mana penguatan kompetensi sumber daya manusia harus di arahkan pada kesiapan daya siang di tengah era revolusi industry 4.0. Bonus demografi memberikan peluang sekaligus tantangan yang harus di jawab. Keberhasilan dalam preparasi dan konstruksi kualitas sumber daya manusia akan melahirkan basis tenaga kerja unggul yang akan menjadi modal vital dalam menggerakan pembangunan semesta dalam berbagai sector. 

Menjadi tantangan karena hari ini kita memiliki angka literasi yang sangat minim dalam populasi masyarakat secara nasional. Salah satu indicator yang kerap kali di pakai dalam riset evaluasi tingkat kualitas sumber daya manusia adalah angka literasi. Menurut National Institute For Literacy menjelaskan pengertian literasi sebagai suatu kemampuan tiap individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung serta memecahkan suatu masalah pada tingkat keahlian yang di perlukan dalam suatu pekerjaan, keluarga dan masyarakat.

 Pengembangan kultur literasi secara linier akan berdampak pada terbangunnya kompetensi social masyarakat. Pengembangan kultur literasi akan memberikan manfaat yang besar ke dalam masyarakat yaitu terjadinya kemampuan penambahan kosakata, mengoptimalkan kerja otak, menambah wawasan dan informasi baru, mempertajam diri dalam menangkap makna suatu informasi tertentu, mengembangkan kemampuan verbal, melatih kemampuan berpikir dan menganalisa, meningkatkan focus dan konsentrasi dan melatih dalam hal menulis serta merangkai kata yang bermakna kritis. 

World Economic Forum pada tahun 2015 sepakat dalam pengelompokan enam literasi dasar yang memiliki segment-segment yang spesifik yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi financial, literasi budaya dan literasi kewarga negaraan. Dalam survey literasi yang di lakukan oleh OECD (Organisation For Economic Co-operation & Development) bertajuk Program For International Student Assessment (PISA) menunjukan bahwa Indonesia hanya berada pada tingkat 62 dari 70 negara yang menjadi responden. Indonesia pada tingkat 62 hanya memiliki skor 395,3 dan berada jauh di bawah Singapore dengan skor 556, Vietnam dengan skor 495 dan Thailand dengan skor 415. Skor PISA ini di ukur dengan tiga indicator kualitas pendidikan yaitu kemampuan matematika, ilmu sains dan membaca. 

Data perpustakaan Nasional pada tahun 2017 mencatat bahwa minat bangsa masyarakat kita masih sangat rendah. Durasi membaca per hari rata-rata dari orang Indonesia adalah 30-59 menit per hari, itu artinya kurang dari 1 jam per hari. Masyarakat yang berada pada Negara-negara berkembang rata-rata menghabiskan waktu membaca 6-8 jam per hari. Minat baca Indonesia masih berada jauh di bawah standard UNESCO yang menganjurkan membaca paling minimal 4-6 jam per hari. 

Dengan mengkaji fakta dan data di atas, kita membutuhkan strategi kebijakan pendidikan yang benar-benar bisa menjadi solusi terhadap masalah-masalah di atas sekaligus memberi kontribusi signifikan secara langsung pada penguatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Kebijakan penguatan kualitas sumber daya manusia dari pusat hingga ke daerah harus sinkron dan sinergis bergerak memecahkan masalah-masalah yang di uraikan di atas.

Dari segi penguasaan teknologi domestik, kita pun masih perlu banyak berbenah. Kepala LIPI, Iskandar Zulkarnain dalam seminar nasional  Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) pada tanggal 27 Agustus 2015 menyampaikan bahwa salah satu indicator untuk mengevaluasi tingkat penguasaan iptek dalam sebuah Negara di nilai dari jumlah peneliti secara nasional dan jumlah belanja litbang secara nasional. Dari data yang di himpun, Jumlah peneliti nasional di hitung per 1 juta penduduk masih minim berada pada angka 90 orang/1 juta penduduk. 

Berbeda jauh dengan Negara-negara lainnya, seperti Brazil memiliki 700 peneliti/1 juta penduduk, India 160 peneliti/1 juta penduduk, Rusia 3.000 peneliti/1 juta penduduk, China 1.020 peneliti/1 juta penduduk dan Korea Selatan 5.900 per 1 juta penduduk. Dalam catatan artikel bertajuk “Kondisi Dunia Penelitian Indonesia” oleh Scholastic Gerintya yang di publikasi oleh www.tirto.id menyatakan data dari SCImago (sebuah portal yang mencakup jurnal-jurnal dan indicator ilmiah Negara yang di kembangkan dari informasi yang terkandung dalam database scopus. Indicator ini dapat di gunakan untuk menilai dan menganalisis bidang ilmiah). 

Data SCImago untuk Indonesia menyatakan bahwa sepanjang tahun 1996-2016 tercatat jumlah publikasi jurnal ilmiah terindeks global tercatat 54.146 publikasi. Jika di bandingkan dengan Singapura, Malaysia dan Thailand, peringkat Indonesia masih berada di bawah ketiga Negara ASEAN tersebut. Pada tahun 2016, di tingkat dunia, Indonesia menempati peringkat 45 untuk jumlah dokumen yang terpublikasi internasional. Di kawasan Asia, posisi Indonesia pada urutan ke 11. 

Sementara di tingkat ASEAN, Indonesia berada pada peringkat 4. Selain publikasi riset, cara lain untuk menilai kontribusi riset adalah jumlah hak paten yang di hasilkan. Bersumber dari US Patent & Trademark Office, hingga tahun 2015, jumlah hak paten Indonesia yang terdaftar berjumlah 333. Angka ini masih sangat jauh di bandingkan dengan Negara ASEAN lainnya, Singapura  dengan 10.044 hak paten, Malaysia dengan 2.690 hak paten dan Thailand dengan 1.043 hak paten. Tidak hanya tertinggal, pertumbuhan hak paten Indonesia menunjukan trend yang stagnan sejak tahun 2005.

Indicator penilaian lainnya adalah prosentase anggaran riset nasional. Negara yang memiliki kemajuan ekonomi yang pesat memiliki atensi dan komitmen yang serius dalam investasi di bidang riset. Atensi dan komitmen serius ini di lihat dari rasio pengeluaran penelitian dan pengembangan terhadap PDB (produk domestic bruto), alokasi anggaran riset ini di sebut dengan “Gross Expenditure on Research & Development” (GERD). Nilai GERD Singapura mencapai 2,2%, Nilai GERD untuk Malaysia mencapai 1,2%. Sedangkan Indonesia hanya pada angka 0,24% sangat jauh tertinggal dari GERD dunia. 

Komposisi belanja penelitian dan pengembangan di Indonesia masih di dominasi oleh sector pemerintah. Keterlibatan aktivitas riset dari sector swasta atau bisnis masih sangat minim. Sangat di butuhkan langkah kebijakan strategis sehingga pertumbuhan ekonomi kita bukan hanya bersifat “resources driven state” (pertumbuhan ekonomi yang berpijak pada pengelolaan sumber daya alam) tapi berkembang menjadi “efficiency economic driven state” yang ujung tombaknya adalah “innovative technology driven state” (peran dari sains dan teknologi di segala bidang memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang signifikan).

Menyemai Bibit Visi Dan Spirit Reformis Muda

Beberapa uraian catatan kritis di atas baru segelintir dari beragam masalah kompleks yang harus di benahi di bangsa ini. Kita tidak juga harus mengatakan bahwa gerakan reformasi 1998 sepenuhnya gagal. Kita harus akui ada dampak positif yang harus tetap kita syukuri pasca reformasi. Jikalau para reformis tua telah tercemar dengan perilaku koruptif ala orde baru, maka belum terlambat untuk menyemai “benih-benih reformis muda” yang hari ini menghirup udara segar di tengah era digitalisasi yang penuh turbulensi inovasi. 

Basis milenial merupakan salah satu basis elektoral strategis yang akan sangat vital menentukan navigasi masa depan Indonesia. Hasil riset dari Saiful Mujani Research Consulting (SMRC) yang di rilis di media kompas dengan tajuk “Survey SMRC : Menakar Arah Suara Generasi Milenial Pada Pilpres 2019” menyatakan, berdasarkan hasil riset di temukan suara generasi milenial berada pada rentan usia 17-34 tahun. Kurang lebih ada 34,4% basis milenial dari jumlah total masyarakat Indonesia. Koordinator Pusat Peneliti Politik LIPI, Sarah Nuraini Siregar menyatakan, berdasarkan hasil survey lembaganya, ada sekitar 35%-40% pemilih dalam Pilpres 2019 tergolong pemilih milenial. Prosentase 35%-40% kurang lebih berada pada sekitar angka 80 juta dari 185 juta pemilih pada pilpres 2019.

Gerakan kepeloporan secara kolektif harus di konsolidasikan secara meluas di kalangan kaum milenial. Sebuah kesadaran yang kritis melihat kondisi bangsa secara realistis dan berani bersikap dalam menentukan nasib masa depan bangsa. Visi dan semangat reformasi harus di pupuk secara relevan dengan kondisi zaman di kalangan kaum milenial, sehingga mendorong peran mereka secara signifikan dalam panggung politik lokal dan nasional. Dua tahun lagi kita di perhadapkan dengan pesta demokrasi melalui pilkada serentak, yaitu pemilihan legislatif, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden. 

Secara spesifik, saya ingin menekankan bahwa pemilihan presiden pada tahun 2024 menjadi sangat krusial. Selain nilai tawar politik yang tinggi di tatanan elit parpol, mutlak juga di butuhkan akseptabilitas figur presiden yang merekat di tatanan akar rumput yang heterogen. Referensi figur presiden yang di butuhkan juga harus bisa berperan sebagai “nakhoda reformasi Indonesia”. Figur presiden yang harus piawai mengelola diplomasi politik di tingkat elit politik tanpa harus mengorbankan proteksi terhadap kepentingan rakyat banyak.

Kita amini bahwa “roh reformasi” akan terus mencari dan menemukan jalan lahirnya di setiap generasi di bangsa ini. Era kepemimpinan Jokowi tidak lama lagi berakhir, apa yang sudah di mulai dengan baik harus di lanjutkan dengan lebih baik lagi. Kita membutuhkan sosok presiden yang religius, nasionalis, egaliter, inovatif dan memiliki nyali menakhodai bangsa ini. 

Tidak akan gentar dengan dikte asing yang ingin mengangkangi setiap jengkal kedaulatan negara. Tegas dan berani memproteksi hak rakyat sehingga bisa mengeliminasi dominasi dan monopoli koruptif dari kaum kapitalis. Kita butuh sosok presiden yang enggan melacurkan diri dalam rumah bordil kapitalisme demi melanggengkan kekuasaan di atas derai air mata dan darah para jelata. Sosok presiden yang mampu membangunkan bangsa ini dari “mati suri” sehingga bisa bangkit menjadi salah satu negara dengan kekuatan ekonomi yang di perhitungkan di Asia Tenggara. Apakah kita akan menemukan dan memiliki sosok pemimpin Indonesia demikian? Pilpres 2024 dan partisipasi politik kita secara personal dan kolektif akan menjawabnya.


Tentang Penulis

Jerry Fransius Gosal Bambuta, hari ini aktif sebagai Leader dari MATCON (Mapalus Tech Construction) yang focus dalam layanan komersil dalam bidang Website Development, Software Development, Rural Network Solutions, IT Security, IT Consulting & Training. Bersama tim MATCON, sejak tahun 2018 telah membangun konsep pendampingan dan optimalisasi penerapan e-government di kawasan Sulawesi Utara dan Indonesia Timur untuk pemerintah tingkat provinsi, kabupaten, kotamadya dan pedesaan. Selain itu juga, berperan aktif sebagai Pembina dalam wadah Forum Literasi Masyarakat (Forlitmas), FORLITMAS adalah sebuah wadah edukatif bagi kalangan pemuda/mahasiswa/profesi yang focus membangun kultur literasi dalam berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat. Dalam bidang socioprenur, aktif dalam inisiasi pemberdayaan masyarakat petani dan nelayan dalam program GENTA SAKTI (Gerakan Pertanian Desa Produktif). Hari ini menetap di Langowan (Kabupaten Minahasa) bersama isterinya yang berprofesi sebagai guru bahasa inggris dan di karuniai tiga orang putra. (*)