Direktur Bina Teknik Kementerian PUPR Ungkap Bencana Alam Amurang Bukan Abrasi - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Direktur Bina Teknik Kementerian PUPR Ungkap Bencana Alam Amurang Bukan Abrasi

 

Direktur Bina Teknik Ditjen SDA Kementerian PUPR Dr. Ir. Muhammad Rizal, M.Sc sedang meninjau lokasi bencana di kawasan wisata 'I Am Amurang'. (Foto: Sulut24/Simon)

Sulut24.com, AMURANG - Bencana alam di Amurang, Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel), Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) yang terjadi pada 15 Juni 2022 lalu, bukan dikarenakan abrasi atau likuifaksi, tapi bencana geologi yang disebabkan oleh faktor-faktor geologi.

Hal ini diungkapkan oleh Direktur Bina Teknik Direktorat Jenderal (Ditjen) Sumber Daya Air (SDA) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Dr. Ir. Muhammad Rizal, M.Sc.

"Dari hasil penelitian dan kajian tim kami di lapangan, penyebab bencana alam di Amurang bukan abrasi, dan bukan pula likuifaksi. Tapi disebabkan faktor-faktor geologi, sehingga dapat dikategorikan sebagai bencana geologi," ungkap Rizal ketika diwawancarai wartawan saat meninjau lokasi bencana alam di kawasan ikon wisata "I Am Amurang", Jumat (08/07/2022).

Kedatangan Rizal bersama tim Ditjen SDA ke Minsel adalah untuk yang kesekian kalinya. Kedatangannya kali ini disambut oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Minsel Royke Ronald Durand, ST, MT, mewakili Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Minsel.

Rizal yang turut didampingi Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi I, Ir. I Komang Sudana, MT menjelaskan, bencana geologi adalah semua peristiwa atau kejadian di alam yang berkaitan dengan siklus-siklus yang terjadi di bumi atau segala sesuatu yang disebabkan oleh faktor-faktor geologi. 

Faktor geologi tersebut meliputi struktur dan tekstur dari tanah atau batuan, jenis tanah dan batuan, pola pengaliran sungai, topografi suatu daerah, struktur geologi (lipatan dan patahan), tektonik maupun gunung api.

Beberapa faktor geologi tersebut, kata Rizal, acapkali menjadi pemicu terjadinya bencana alam.

Diantaranya longsoran yang terjadi akibat adanya lapisan impermeable (batuan keras kedap air, lapisan lempung) di bawah lapisan tanah sehingga air tanah akan mengendap/mengalir di atas lapisan-lapisan tersebut.

"Pada titik jenuhnya, air tanah akan membuburkan lapisan tanah di atas lapisan tersebut, sehingga tanah akan bergerak sesuai dengan arah kemiringan lapisan impermeable, baik seketika maupun rayapan," terang Rizal.

Ia menegaskan, lokasi bencana di perbatasan Kelurahan Uwuran Satu dan Kelurahan Bitung, Kecamatan Amurang sudah tidak memungkinkan lagi untuk dijadikan kawasan permukiman penduduk. 

Selain berpotensi untuk terjadinya kembali bencana susulan serupa, kondisi tanah yang ada di sekitaran lokasi bencana juga merupakan tanah endapan. 

"Area di sekitar aliran sungai hingga bibir pantai ini adalah tanah lunak dan labil dari timbunan sedimen yang bukan merupakan tanah keras. Tapi sedimen kiriman dari hulu Gunung Soputan. Karena itu, lokasi bencana ini kami tetapkan sebagai Zona Bahaya," beber Rizal.

Solusi terbaik yang ditawarkan dan harus diterima oleh masyarakat, sambungnya, yakni meninggalkan lokasi bencana yang telah ditetapkan sebagai Zona Bahaya tersebut, dan direlokasi ke tempat yang lebih aman. 

"Demi kebaikan dan keselamatan warga, mereka harus direlokasi. Mubasir bila kawasan yang telah ditetapkan sebagai Zona Bahaya ini dibangun kembali, apalagi dijadikan sebagai kawasan permukiman," tandas Rizal.

Untuk mengurangi potensi risiko, tidak boleh ada bangunan-bangunan yang berat di atas permukaan tanah di sekitaran Zona Bahaya ini. Warga yang masih tinggal di zona ini pun harus direlokasi.

"Dan agar tidak lebih masuk ke arah hulu, titik terakhir longsorannya akan dilandaikan dan dilakukan vegetasi dengan menanam pohon-pohon bakau atau mangrove di sepanjang garis pantai," kata Rizal.

Sementara di Zona Rawan status quo. Artinya, jangan ada lagi pembebanan yang berat di sekitar Zona Rawan.

Ditambahkannya, pihaknya juga akan mengatur dan mengendalikan masalah drainase, baik drainase lingkungan maupun drainase rumah tangga.

"Karena airnya akan merembes masuk ke bawah tanah. Sementara tanahnya berpasir, nanti bisa jenuh lagi. Ini harus dihindari agar tidak terjadi lagi longsoran atau amblasan," imbuh Rizal.

Ditanya mengenai upaya yang akan dilakukan ke depan, ia mengungkapkan bahwa pihaknya telah menetapkan pembagian zonasi yang terdiri dari Zona Bahaya, Zona Rawan 1, Zona Rawan 2, dan Zona Penyangga.

Pihaknya juga akan membangun proteksi untuk mengantisipasi agar abrasi tidak lebih meluas lagi ke arah hulu.

"Tapi hal ini tidak bisa dilakukan di garis pantai yang sekarang ini. Karena tanahnya tidak stabil. Jadi harus digeser hingga ke batas Zona Bahaya," tutur Rizal.

Sesudah Zona Bahaya, zona berikutnya adalah Zona Rawan 1 dan 2. Zona ini secara geoteknik mungkin aman, tapi masalahnya air tanahnya cukup tinggi.

"Sementara tanahnya bukan tanah padat tapi pasiran. Pasir bila diberi beban vertikal memang kuat, tapi bila sudah ada kandungan air tanah, apalagi air tanahnya tinggi, akan menjadi lemah dan menyebabkan terjadinya longsoran atau amblasan," papar Rizal.

"Inilah yang menyebabkan terjadinya longsoran dan amblasnya rumah penduduk dan jalan aspal di kawasan ini. Sebab tanahnya bukan tanah padat, tapi hanya tanah pasir dan pasirnya jenuh, lalu ada beban vertikal dan air tanahnya juga tinggi sehingga terjadi longsoran atau amblasan," sambung Rizal lagi. 

Ia mengingatkan, Zona Bahaya harus lepas dari pembebanan. Ke depan akan dibangun bangunan monitoring air tanah.

"Mungkin juga akan ada pompa air tanahnya, dan sumur observasi air tanah. Sehingga air tanahnya dapat dijaga agar jangan sampai terlalu tinggi," ujar Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama di lingkungan Ditjen SDA Kementerian PUPR ini.

Ditambahkannya, Zona Bahaya ke depannya bisa dijadikan sebagai kawasan wisata baru atau Zona Konservasi.

Direktur Bina Teknik Ditjen SDA Kementerian PUPR Dr. Ir. Muhammad Rizal, M.Sc sedang bercakap-cakap dengan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Minsel Royke Ronald Durand, ST, MT. (Foto: Sulut24/Simon)

"Misalnya hutan bakau atau kawasan wisata yang berbasis hutan bakau, seperti di daerah Jawa Timur," jelas mantan Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Brantas ini.

Ditanya mengenai radius zona aman, ia mengaku belum bisa memastikannya.

"Kami masih akan membahasnya lebih dalam lagi dengan instansi dan lembaga terkait. Masih ada beberapa hal yang harus dituntaskan terlebih dahulu," pungkas Rizal.

Dalam kunjungan kali ini, Direktur Bina Teknik Muhammad Rizal turut didampingi pula tim dari Balai Teknik Air Tanah, Balai Hidrolika dan Geoteknik Keairan, serta Balai Teknik Pantai. (Simon)