Konstruksi Gerakan Intelektual Melalui Entitas Nusa Utara - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Konstruksi Gerakan Intelektual Melalui Entitas Nusa Utara

Jerry Bambuta (Foto: Ist)

Opini Oleh Jerry Bambuta

Founder FORUM LITERASI MASYARAKAT

  

Sulut24.com, OPINI - Dalam basis akar rumput, secara umum, terdapat tiga kategori gerakan akar rumput, yaitu gerakan sosio-kultur, gerakan politik dan gerakan intelektual. Ketika basis sosio-kultur bergerak tapi terpisah dari gerakan politik, maka konsekuensi marginalisasi sosial yang tragis pasti terjadi. Marginalisasi sosial terjadi karena kepentingan kolektif dari basis sosio-kultur terabaikan dari pusat kekuasaan. 

Basis sosio-kultur gagal meng-ekspor pemimpin dengan visi transformasi ke dalam pusat kekuasaan. Akibatnya, pusat kekuasaan di kuasai oleh kelompok opurtunis yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Basis sosio-kultur hanya di peralat sebagai “mesin elektoral” secara temporer dalam setiap kontestasi politik. 

Ketika tampuk kekuasaan di genggam, maka aspirasi kolektif dari basis sosio-kultur di abaikan secara menyedihkan. Idealnya, basis sosio-kultur harus bisa berperan menjadi “rahim subur” melahirkan pelopor-pelopor perubahan transformasi sosial masyarakat.

Sebaliknya, jika basis politik bergerak tanpa kontekstualisasi nilai sosio-kultur dan kearifan lokal, maka wajah politik akan menjadi ganas dan brutal. Politik yang kehilangan pedoman kearifan lokal akan menjelma seperti “senjata pemusnah massal”. Politik akan menjadi sangat toksik karena kehilangan “empati sosial”, politik hanya menjadi “instrumen kekuasaan” tapi gagal menjadi “instrumen transformasi sosial” secara membumi. 

Efek polarisasi politik yang tajam akan menimbulkan balkanisasi dan segregasi sosial yang meluluh lantakan tatanan solidaritas sosial. Sekat sosial yang terbangun karena polarisasi politik akan sangat berbahaya jika menjadi “warisan” bagi anak cucu kita. Tanpa sadar, dengan keteladanan politik yang bobrok, kita sementara mendidik anak cucu kita dengan jalan hidup yang membahayakan masa depan generasi kita.

Gerakan sosio-kultur dan gerakan politik harus di navigasi oleh kontruksi intelektual yang terbuka, merdeka, bermartabat, progresif yang ideal tapi membumi. Dan konsep berpikir seperti ini yang harus melandasi inisiasi dari berbagai gerakan intelektual di tingkat akar rumput. 

Otokritik jangan selalu di stigma sebagai bentuk “antipati” atau “oposisi” yang harus di musuhi. Otokritik yang logis, etis dan bertanggung jawab membantu kita agar konsisten berpikiran terbuka sehingga bisa tetap menyatu dalam hal-hal yang bersifat prinsip. Dominasi kekuasaan yang memusuhi otokritik berpotensi terjebak dalam “abuse power”, dan secara beriringan akan menciptakan wajah kekuasaan yang sangat diktator demi melanggengkan sebuah “status quo”. 

Gerakan intelektual harus bisa menciptakan “diskursus” untuk meramu “formula organik” dalam mengkolaborasi antara aspek sosio-kultur dan politik secara harmonis. Keduanya tidak bisa di campur aduk jadi satu adonan, tapi bisa berjalan bersama seperti dua garis sejajar horizontal yang mengarah pada arah yang sama. 

Yang harus di waspadai adalah inisiasi gerakan intelektual yang malah menciptakan proyeksi utopistik. Kerap kali, gerakan intelektual yang cenderung idealistik kesulitan untuk “membumikan” visi idealnya. Akibatnya, lebih dominan di konsumsi secara dialektis dalam ruang debat dan diskusi yang terbatas. Skenario gerakan intelektual yang optimistik wajib di rasionalisasi secara terukur. Intinya, kita wajib berpikir ideal penuh optimistik tapi jangan terjebak dalam gagasan utopistik. Sebaliknya, kita wajib berpikir rasional dan kritis tanpa terjebak dalam sinisme, pesimisme dan apatisme. Cara berpikir dua sisi ini wajib di bangun sehingga bisa menciptakan “jalan lahir” dalam membumikan gagasan perubahan yang bersumber dari kolaborasi gerakan sosio-kultur dan gerakan politik bermarbatat.

Dalam konteks masyarakat Nusa Utara, inisiasi gerakan intelektual yang mengedepankan pola pikir yang terbuka, merdeka, bermartabat, progresif dan ideal yang membumi harus di bangun. Nusa Utara merupakan identitas dari sebuah entitas kolektif secara sosio-kultur tanpa sekat yang memayungi kelompok masyarakat di wilayah Kabupaten Sangihe, Kabupaten Talaud dan Kabupaten Sitaro. 

Di masa orde baru, ketiga kabupaten ini adalah satu kabupaten yang di sebut Kabupaten Sangihe Talaud (SATAL). Saat ini, tiga gugus kabupaten di kawasan Nusa Utara telah memiliki “dapur otonomi” masing-masing. Meski demikian, ketiga wilayah “sekandung” ini memiliki keterikatan yang erat satu dengan lainnya.

Sebutan “Nusa Utara” bukan cuma di kenal di era hari ini, tapi telah di sebut jauh sebelumnya di masa lalu. Dalam catatan Wikipedia, kawasan Nusa Utara di catat memiliki posisi penting pada abad pertengahan karena menjadi penghubung antara Maluku di Timur dan Philipine di Utara. Istilah kata “Nusa Utara” bukan nanti populer di kenal pada masa sekarang, ada beberapa catatan historis yang membuktikan bahwa istilah “Nusa Utara” sudah di kenal sejak zaman Belanda. 

Karya tulisan dari Viersen pada tahun 1903 menyebut wilayah Nusa Utara dengan sebutan bahasa Belanda “Noorden Einlanden”. Istilah “Noorden Einlanden” ini dikaitkan juga dengan laporan jurnal “Het Journaal Van Padtbbrudgge’s Reis Naar Noord-Celebes En De Noorder Einlanden” (Jurnal perjalanan Padtbbrudgge’s ke Sulawesi Utara dan pulau-pulau kea rah utara). Jurnal ini merangkum perjalanan Padtbbrudgge’s sebagai seorang gubernur VOC dari Maluku pada tanggal 16 Agustus hingga Desember 1677.

Kawasan Nusa Utara merujuk pada gugus kabupaten yang terletak berjejer di batas utara Indonesia yang berbatasan langsung dengan samudera Pasifik dan negara Pilipina (khususnya wilayah Southern Mindanao). Sekalipun ketiga gugus kawasan Nusa Utara ini sudah menjadi kabupaten terpisah, tidak bisa di bantahkan bahwa ketiga wilayah kabupaten ini memiliki ikatan karakteristik kawasan yang tidak bisa di pisahkan satu dengan lainnya. 

Setidaknya ada empat kesamaan karakteristik kawasan dari tiga wilayah kabupaten Nusa Utara, yaitu, Pertama, ketiga wilayah kabupaten tersebut merupakan gugus batas yang membentengi NKRI di wilayah utara Indonesia. Kedua, ketiga wilayah kabupaten tersebut memiliki corak wilayah kabupaten berbasis kepulauan dan maritim. Ketiga, ketiga wilayah kabupaten tersebut terletak di jalur “ring of fire” atau jalur vulkanik yang rawan bencana. Keempat, ketiga wilayah tersebut memiliki jejak historis wilayah dan ikatan sosio-kultur yang koheren satu dengan lainnya.

Dari dasar pemikiran ini, maka menurut saya, Nusa Utara bukan hanya sebutan bagi beberapa  teritorial pemerintahan, Nusa Utara merupakan sebuah “identitas” yang mewakili salah satu “entitas kolektif” yang hidup mendiami ruang pluralitas di negara besar ini. Sebagai identitas dan entitas, Nusa Utara merupakan “basis sosial” yang wajib berolah pikir, rasa dan karsa yang dinyatakan dalam bentuk tindakan sebagai bentuk pertahanan diri dalam menyikapi perubahan. 

Hari ini, identitas dan entitas Nusa Utara di perhadapkan dengan tiga realitas tantangan, yaitu tantangan secara lokal, nasional dan global. Tantangan secara lokal adalah ketika realitas kompetisi global bergejolak hingga sekat lokalitas dan tradisionalitas tidak bisa lagi membendung. Kearifan lokal dalam basis akar rumput terancam tergerus dan di substitusi dengan tradisi toksik yang kental dengan eforia individualisme, materialisme, hedonisme, opurtunisme dan apatisme. 

Secara nasional, identitas dan entitas Nusa Utara di perhadapakan dengan urgensi dalam penguatan kawasan. Kebijakan pembangunan ketiga kabupaten di kawasan Nusa Utara wajib terkoneksi sinergis sehingga memicu “multiplier effect” pada penguatan kawasan. Berbagai kendala infrastruktur publik harus di benahi sehingga bisa mendorong terbangunnya iklim investasi yang kondusif. Formula penguatan kawasan ini harus melalui riset mendalam berbasis data dan fakta, sehingga yang di kedepankan bukan cuma “peluang politik kewilayahan” tetapi menjawab “urgensi penguatan kawasan” secara strategis, konsekuen dan berdampak secara langsung terhadap masyarakat Nusa Utara. 

Kawasan Nusa Utara tergolong wilayah kepulauan dan maritim yang kaya dengan sumber daya alam, baik secara kualitas maupun kuantitas. Potensi ini merupakan “raw material” berharga secara ekonomi. Dengan adanya potensi tersebut, Kawasan Nusa Utara berpeluang besar di di garap menjadi industri sentral berbasis sumber daya lokal strategis. Dengan harapan, terbangunnya “aglomerasi ekonomi” di kawasan Nusa Utara akan berdampak pada kontribusi ekonomi nasional secara signifikan. 

Secara global, dalam posisinya sebagai batas Indonesia terluar yang berhadapan dengan kawasan Pasifik, Nusa Utara berpotensi terdampak dengan konflik kepentingan global yang mulai bergeser dari wilayah Atlantik ke wilayah Pasifik. Indonesia sebagai negara maritim dengan wilayah perairan memiliki tiga alur laut yang sebagian di antaranya adalah kategori perairan yang dalam.

Berdasarkan wikipedia, Alur laut kepulauan Indonesia atau di singkat “ALKI” adalah alur laut yang di tetapkan sebagai alur untuk pelaksanaan hak lintas kepulauan berdasarkan konvensi hukum laut internasional. Alur ini merupakan akses untuk pelayaran dan penerbangan yang dapat di manfaatkan oleh kapal atau pesawat udara asing di atas wilayah laut untuk melaksanakan pelayaran dan penerbangan damai dengan cara normal.

Kawasan Nusa Utara yang berada di bagian ujung utara dari lengan pulau Sulawesi, bersinggungan dengan wilayah ALKI II yang mencakup lintasan laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores dan Selat Lombok. Bukan hanya ALKI II, posisi kawasan Nusa Utara yang berbatasan langsung dengan Philipina dan Samudera Pasifik juga bersinggungan langsung dengan wilayah ALKI III yang mencakup lintasan Samudera pasifik, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu dan Samudera Hindia. 

Wilayah ALKI ini akan menempatkan Indonesia (termasuk juga kawasan Nusa Utara) sebagai poros maritim yang menjadi jalur lalu lintas pelayaran dan penerbangan internasional. Perlu di catat bahwa secara global terdapat empat jalur perdagangan internasional yang strategis, yaitu Terusan Suez di Mesir, Terusan Panama, Selat Gibraltar antara Spanyol dan Maroko, dan Wilayah ALKI yang berada di Indonesia. Dan wilayah ALKI II dan III bersinggungan langsung dengan Kawasan Nusa Utara.

Dengan adanya ALKI membuat wilayah Indonesia (termasuk kawasan Nusa Utara) seperti di fragmentasi oleh sekat imajiner. Dan hal ini membuka peluang bagi aneksasi asing yang mengancam keutuhan dan kesatuan Indonesia. Ancaman keamanan laut akan terus meningkat jika Indonesia belum mampu menerapkan  strategi dan jaminan keamanan serta kepastian hukum untuk penegakan kedaulatan di wilayah laut Indonesia. 

Berpijak pada situasi geopolitik ini, maka penguatan pertahanan militer negara wajib memprioritaskan matra TNI AL dan TNI AU. Wilayah ALKI menjadi wilayah transit untuk lalu lintas pelayaran asing dan pesawat asing sehingga kekuatan TNI AL dan TNI AU wajib punya kekuatan solid melindungi setiap jengkal dari wilayah perairan dan wilayah udara Indonesia. Dan lanskap kebijakan ini wajib menjadi atensi yang serius dari kementerian terkait yaitu kementerian pertahanan. 

Penjelasan di atas menjawab terkait urgensi dari aspek keamanan kawasan (regional security), tapi harus di ingat bahwa kebutuhan terbesar dari masyarakat perbatasan bukan hanya itu, masyarakat perbatasan lebih membutuhkan solusi kesejahteraan ekonomi (regional prosperity). 

Penetapan kebijakan penguatan kawasan harus bisa menjawab kedua kebutuhan tersebut secara sekaligus. Akan sangat tragis jika urgensi penguatan kawasan hanya bertumpu pada “regional security” tapi mengabaikan “regional prosperity”. Catatan-catatan yang saya saya uraikan ini baru seperti “percikan kecil”  agar kita bisa menggali lebih mendalam melalui diskursus sosio-kultur dan juga riset geopolitik secara komprehensif. 

Ibaratnya, catatan yang saya uraikan ini masih seperti “kertas buram” yang masih perlu di ekstrak sehingga bisa menemukan “intisari” terkait isu sentral kawasan Nusa Utara. Masih ada banyak pakar birokrasi, akademisi dan budaya dari Nusa Utara yang mungkin bisa meramu gagasan ini menjadi sebuah “strategic roadmap” terkait gerakan intelektual dalam entitas Nusa Utara. 

Kajian-kajian kritis dan strategis ini di amini bisa menjadi kontribusi berharga yang akan membekali para generasi muda Nusa Utara lebih siap menghadapi beragam tantangan secara lokal, nasional dan global. Dengan sebuah mimpi, bawa kawasan Nusa Utara di “bibir pasifik” benar-benar menjadi kawasan yang maju, unggul, mandiri dan sejahtera sebagai “benteng Nusantara” di penjuru Utara Indonesia.