Inisiasi Gerakan Sosio-Kultur Sebagai Katalisator Kemandirian Masyarakat Nusa Utara - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Inisiasi Gerakan Sosio-Kultur Sebagai Katalisator Kemandirian Masyarakat Nusa Utara

Dokumentasi : Monitoring Program GENTA SAKTI (Gerakan Pertanian Desa Produktif Minahasa) (Foto: Dok Pribadi)

Opini Oleh: Jerry Bambuta

Forum Literasi Masyarakat


(Sebuah Wacana Konstruksi Gerakan Sosio-Kultur Dalam Rangka Mendorong Kemandirian Masyarakat Nusa Utara) 

Sulut24.com, OPINI - Hari ini, konflik ekonomi global bisa di ibaratkan seperti gempa tektonik yang memicu getaran resesi ekonomi dengan daya rambat yang menembus ruang-ruang lokalitas. Sekat tradisionalitas tidak sanggup lagi menjadi “barrier” membendung arus abrasi dan kompetisi global yang kian sengit dan penuh turbulensi. Hal ini membuat syarat kepemilikan kompetensi dan kecakapan berdikari bukan lagi sekedar “alternatif” tapi menjadi hal “mutlak” untuk di miliki, baik secara individu maupun kelompok. 

Bergesernya pola kehidupan masyarakat global dari “manual” ke “digital” membuat batas jarak bukan lagi penghalang. Informasi apapun secara global bisa di akses oleh masyarakat lokal hanya dalam hitungan detik melalui jejaring internet. Turbulensi informasi baik yang bersifat konstruktif maupun destruktif dengan mudah merembes dari ruang lokal ke ruang global, begitu juga dari ruang global ke ruang lokal. Provokasi dari eforia hedonisme, individualisme dan materialisme melalui berbagai jejaring media benar-benar menjadi ancaman serius bagi generasi di abad ini.

Pada saat yang sama, ruang sosial masyarakat kian memprihatinkan, dominasi kekuatan kapitalisme dari kelompok borjuis menggurita menciptakan kartel ekonomi dengan tentakel monopoli yang masif. Eksistensi dari pelaku ekonomi akar rumput berpotensi termarginalisasi karena adanya praktek monopoli ekonomi dari kaum kapitalis domestik atau asing. Lebih tragis lagi, penguasa yang seharusnya menjadi “market regulator” untuk melindungi keadilan ekonomi dalam masyarakat, malah lebih doyan menjadi “market broker” bagi para pemodal untuk melakukan eksploitasi sumber daya ekonomi. 

Upeti segar yang mengalir deras dari para pemodal ke penguasa kian gurih di nikmati. Kekayaan dan aset kian bertumpuk seiring singgasana para penguasa kian mentereng tapi masyarakat jelata meringis karena di himpit marginalisasi ekonomi. Kesenjangan sosial dalam masyarakat kian menyolok di tengah jargon Pancasila yang katanya menjunjung kesetaraan dan keadilan sosial. Pesta demokrasi yang sejatinya memberikan dampak langsung bagi masyarakat malah berubah menjadi “resepsi politik” yang hanya mengenyangkan elit dan kaum borjuis. Alokasi proyek pemerintah dari tingkat APBN maupun ABPD hanya seperti “inang segar” yang di sedot oleh kartel monopoli yang memperalat “pelat merah”.

Menyimak situasi di atas, maka urgensi untuk membangun gerakan sosio-kultur yang berdikari menjadi sesuatu yang penting untuk di inisiasi. Gerakan kolektif berbasis akar rumput dengan identitas sosio-kultur bisa menjadi “solusi” dalam rangka kontribusi dan partisipasi membangun kemandirian sosial masyarakat, baik secara lokal, regional maupun nasional. Mereka yang sinis dan pesimis bisa berpandangan apriori dengan inisisasi gerakan seperti ini. Bukan hal yang mengejutkan, karena faktanya, basis sosio-kultur terlalu sering di peralat dari balik layar sebagai produk “bargaining politik” dan “barter politik” bagi kepentingan individu atau segelintir orang. Tidak heran, setiap kali musim politik berakhir akan selalu meninggalkan residu toksik berupa luka-luka sosial yang menganga dan bernanah.

 Basis sosio-kultur hanya di peralat sebagai “produk elektoral politik” tapi di bungkus cantik dengan “retorika kearifan lokal”. Pada akhirnya, segregasi dalam entitas sosio-kultur akan kian beranak-pinak sebagai indikasi suburnya faksi-faksi sosio-kultur yang di bayangi oleh hegemoni faksi politik.

Jika kondisinya seperti yang di uraikan di atas, bukan sesuatu yang mengherankan jika dendam kesumat politik akan terus berbalas pantun setiap pergantian era penguasa. Aksi cabik-mencabik ala predatorisme kian marak demi membangun imperium pribadi masing-masing. Solidaritas sosio-kultur hanya menjadi ilusi karena gerakan-gerakan sosio-kultur yang rutin berganti kulit tapi “isi opurtunisme toksik” yang selama sama. Praktek hipokrit dalam politik seperti rahim melahirkan sosok “Sengkuni Politik” penuh akal bulus dengan peran sebagai “tengkulak politik” dalam kekuasaan. Melalui catatan ini, saya mencoba mengurai fase gerakan sosio-kultur dalam urgensi mendorong (katalisasi) kemandirian sosial masyarakat Nusa Utara secara bertahap. 

Perlu kita garis bawahi, bahwa negara memberikan garansi konstitusi untuk masyarakat membangun kemandiriannya, baik secara individu maupun kolektif, baik secara lokal, regional maupun nasional. Ketika pusat kekuasaan di monopoli oleh oknum atau kelompok yang defisit keberpihakannya bagi masyarakat akar rumput, maka inisiasi kemandirian dari basis sosio-kultur bisa di organisir secara strategis dengan tetap konsisten dalam bingkai Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Berikut ini adalah fase bertahap dari inisiasi gerakan kemandirian berbasis sosio-kultur, yaitu:

1. Di Awali Dari Pondasi Filosofi Gotong Royong Yang Bersifat Kontekstual

Identitas dan entitas harus di defenisikan secara spesifik sehingga kita bisa memiliki terminologi yang akurat dalam mengawali gerakan sosio-kultur. Identitas bisa merujuk secara personal/individual, sedangkan identitas dari entitas merujuk pada basis kolektif sosial yang memiliki olah pikir, olah rasa dan olah karsa yang dinyatakan dalam bentuk tindakan sebagai bentuk pertahanan diri dalam menyikapi perubahan. 

Dalam konteks masyarakat Nusa Utara (merujuk pada Kawasan Sangihe/Talaud/Sitaro), sebuah gerakan sosio-kultur “mutlak” di dasari dengan filosofi gotong royong yang bersifat alami dan independen. Filosofi gotong royong ini tidak boleh hanya sebatas “konseptual” (cenderung sebatas slogan, jargon, diskursus atau dialektika), tapi wajib menjadi nilai kearifan lokal yang “terkontekstualisasi” melalui proses natural, baik secara individual maupun komunal. Politik praktis selalu di ukur dengan “asas kemanfaatan” yang sifatnya “subyektif-transaksional”, sedangkan gerakan sosio-kultur tidak boleh meninggalkan “asas obyektif” yang sifatnya “independen”. 

Sebagai pondasi, filosofi gotong royong ini bersifat vital untuk menjadi dasar sebelum membangun gerakan sosio-kultur. Asas gotong royong bersifat “obyektif” dan “independen” karena memuat “kepentingan kolektif” untuk tujuan ideal. Asas gotong royong tidak boleh di kangkangi oleh “kepentingan individual” atau “kepentingan parsial” yang bersifat opurtunis. Secara sederhana, filosofi gotong royong adalah duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, ringan sama di jinjing, berat sama di pikul dan senasib sepenanggungan. 

Filosofi gotong royong ini harus menjadi “roh kehidupan” yang mendiami kerangka dari sebuah inisiasi gerakan sosio-kultur. Dan untuk membumikan gerakan sosio-kultur di butuhkan “sistem manajemen” yang hirarkis, terbuka dan independen. Dalam konteks inisiasi yang terorganisir, sebuah gerakan sosio-kultur harus memiliki kerangka organik yang terstruktur sebagai “mesin konsolidasi progresif” untuk merajut solidaritas dalam pluralitas sosio-kultur. Dan pada saat bersamaan, memiliki “ruang diplomasi kemitraan” yang terbuka, selektif, cerdas dan bermartabat sehingga tidak akan “bablas” dalam opurtunisme toksik saat ber-simbiosis dengan kekuasaan.

Wajib di garis bawahi, kita harus menempatkan diri sebagai gerakan sosio-kultur yang independen, terbuka tapi tetap selektif. Simbiosis dengan kekuasaan bisa di lakukan tapi dalam rangka merintis “jalur distribusi kolektif” untuk membumikan semangat gotong royong dalam entitas sosio-kultur. Ketika simbiosis dengan kekuasaan di lakukan dan hanya menjadi “jalur distribusi parsial”, maka entitas sosio-kultur akan di kangkangi karena opurtunisme yang memperalat entitas sosio-kultur sebagai “tunggangan politis”. Siklus opurtunisme tosik ini yang selalu menjadi “kutukan kanibalisme sosial” berjilid-jilid dalam setiap era kekuasaan. Bisa berganti kulit di setiap era kekuasaan tapi dengan luka sosial yang selalu sama, bahkan lebih parah dari sebelumnya.

2. Bermuara Pada Konstruksi Solidaritas Yang Konsekuen Dan Bertanggung Jawab

Filosofi gotong royong yang di jadikan sebagai pondasi vital pada point (1) wajib menjelma sebagai “infrastruktur organik” yang bisa menghidupkan atmosfer solidaritas dalam masyarakat Nusa Utara secara konsekuen dan bertanggung jawab. Konsekuen merujuk pada gerakan sosio-kultur yang konsisten dengan visi kolektif yang senafas dengan semangat gotong royong (tidak melenceng dari tujuan ideal). Bertanggung jawab artinya mampu menghadirkan “kesejukan bermartabat” di tengah luka-luka sosial karena konflik politik yang di uraikan pada poin (1). Tanggung jawab moral untuk menghadirkan “kesejukan bermartabat” sebagai titik awal bermulanya rekonsiliasi sosio-kultur. 

Kabupaten Sangihe memiliki motto yang di kenal “Somahe kai kehage”, mengandung makna semakin besar tantangan, semakin gigih kita berjuang. Sambil memohon kekuatan dari Tuhan, pasti akan beroleh hasil yang gilang-gemilang. Kabupaten Talaud memiliki motto yang di kenal “Sansiote Sampate-pate”, mengandung makna kebersamaan dalam satu persatuan. Kabupaten Sitaro memiliki motto yang di kenal “Pakatiti tuhema, pakanandu mangena, boleng balang sengkahindo”, mengandung makna jeli menganalisa dan cerdas berpikir untuk menarik dayung bersama-sama. Jika tiga filosofi kearifan lokal Nusa Utara di atas di ekstrak, maka intisarinya akan terkoagulasi pada dua nilai kehidupan, yaitu “Gotong Royong” dan “Solidaritas”.

Tidak akan ada semangat solidaritas tanpa di dorong semangat gotong royong. Di mana ada inisiasi dengan semangat gotong royong, secara pasti akan bermuara pada terbentuknya energi solidaritas yang besar. Semangat gotong royong dan solidaritas adalah sebuah “generator” yang bisa menyuplai energi inisiasi dan konsolidasi dalam gerakan sosio-kultur. Jika saya analogikan, semangat gotong royong dan solidaritas adalah “nafas kehidupan” yang mutlak menggerakan kerangka insiasi atau konsolidasi dari gerakan sosio-kultur. Oleh karena itu, sebuah gerakan sosio-kultur tidak boleh meninggalkan “roh independensi” saat di kepung polarisasi dan segregasi kepentingan politik praktis. Jika “roh independensi” ini gagal di nakhodai dengan arah yang benar, maka “destruction feedback” akan menjadi konsekuensi tragis menghancurkan semangat gotong royong dan solidaritas tadi. Jika demikian kondisinya, maka kita akan seperti “kerangka” yang kehilangan “nyawa kehidupan”. Dan kondisi tersebut bukan lagi di sebut “gejala” tapi merupakan “tragedi” kehancuran dari entitas sosio-kultur.

3. Pelembagaan Yang Terorganisir Secara Profesional, Transparan, Relevan Dan Dinamis 

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam gerakan sosio-kultur bukan hanya di jamin oleh negara  tapi juga di atur pelembagaan formalnya dalam undang-undang. Gerakan sosio-kultur harus memiliki “kelembagaan formal” sesuai kebutuhan inisiasi dan konsolidasinya, baik yang bersifat jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Hal ini penting agar tidak menjadi gerakan akar rumput yang liar, sehingga eksistensi formal dalam gerakan sosio-kultur bisa mendapatkan hak proteksi hukum sesuai konstitusi. Pelembagaan formal bukan hanya terkait legalitas hukumnya, tapi juga menyangkut perampungan konstitusi kelembagaan yang akan menjadi garis-garis besar perjuangan yang mewadahi filosofi yang di uraikan pada point (1) dan (2).

Konstitusi kelembagaan adalah “garis perjuangan” yang sifatnya paripurna dan tegas mengawal konsistensi visi perjuangan. Tapi, gerakan sosio-kultur yang mengusung tema kearifan lokal tidak boleh terpenjara dalam cangkang konservatisme dan tradisionalisme sempit. Kerangka konsolidasi harus bisa memilah antara aspek “organisasi” dan “organisme” dan mendorong keduanya bergerak maju pada satu arah tujuan. Keduanya tidak boleh di campur adukan dalam satu adonan tapi bisa berjalan harmonis seperti dua garis sejajar yang mengarah pada satu tujuan yang sama. Aspek “organisasi” wajib menjawab kebutuhan kelembagaan yang sifatnya formal dan prosedural secara profesional, transparan dan bertanggung jawab.

Sedangkan aspek “organisme” merupakan “ekosistem organik” yang menggerakan organisasi sebagai gerakan sosio-kultur. Ekosistem organik ini harus cakap mengelola relevansi konsolidasi di tengah era digitalisasi dan globalisasi yang memiliki laju perubahan dalam hitungan detik. Sehingga “konsolidasi sosio-kultur” yang terbangun akan sangat dinamis dan piawai berselancar di atas “gulungan ombak” era digital tanpa khawatir harus terhempas karena hantaman ombak.

Fakta di lapangan, kerap kali sebuah organisasi sosio-kultur gagal memilah antara “doing together” (melakukan bersama) dan “being together” (menjadi bersama). Dalam beberapa kasus, organisasi sosio-kultur bisa “melakukan bersama” tapi gagal “menjadi bersama”. Gerakan kolektif bisa saja terlihat responsif untuk di lakukan bersama, tapi sebenarnya yang mendorongnya hanyalah visi opurtunisme jangka pendek untuk kepentingan parsial. Pasca visi opurtunisme jangka pendek terpenuhi, maka solidaritas internal sosio-kultur yang sifatnya kolektif tercampakan. Pelembagaan formal dan ekosistem organik dalam gerakan sosio-kultur harus bermula dari “being together” dan selanjutnya akan melahirkan secara alami “doing together”. Dan untuk membumikan “being together” harus bisa memadukan point (1) dan (2) dan di bungkus oleh cangkang pelembagaan formal sesuai point (3).

4. Inisiasi Program Strategis Bersifat “Multiplier Effect”

Pasca di rampungkannya point (1) – (3), maka kita membutuhkan konsolidasi program strategis yang mewakili visi, misi dan sasaran dari gerakan sosio-kultur. Inisiasi program wajib berorientasi pada “internal feedback” (dampak internal) dan “external feedback” (dampak eksternal) yang logis dan terukur. Dampak internal yang positif harus terbangun dulu sebelum menciptakan dampak eskternal dalam ruang sosial masyarakat. 

Nilai-nilai kemandiran dalam aspek spiritual, intelektual, sosial, kultural bahkan finansial harus terberdayakan secara internal dulu. Prinsip praktisnya, kita tidak mungkin membangun orang lain sebelum diri kita dulu yang dibangun, kita tidak mungkin menuntun orang lain dalam kemandirian sebelum kita mengalami kemandirian lebih dulu.

Proyeksi yang terlalu besar tanpa adanya “pilot project” kerap kali hanya berakhir sebatas “macan kertas” atau sebatas “konsumsi dialektis”. Basis kolektif secara internal dalam gerakan sosio-kultur wajib menjadi “pilot project” awal tentang visi kemandirian sosial masyarakat. Selanjutnya, di duplikasi ke jenjang basis sosial yang lebih besar atau lebih luas. Dalam ilmu fisika, ada prinsip yang di sebut dengan “tuas”, bagaimana menggunakan energi yang kecil untuk mengangkat beban yang berat. 

Contohnya,  dongkrak mobil yang menggunakan tenaga yang kecil tapi bisa mengangkat beban mobil yang berat. Prinsip program yang di inisiasi melalui gerakan sosio-kultur harus bermanfaat seperti “tuas”, di mana berbagai ide, peluang, sumber daya dan jaringan sekitar harus bisa di olah dengan cerdas menjadi “tuas pemberdayaan sosial masyarakat”. 

Konsep tuas ini bertujuan utama agar memicu terjadinya “multiplier effect” yang konkrit dan berdampak bagi semua pihak, baik secara internal dalam organisasi sosio-kultur maupun dampak eksternal dalam ruang publik. Sintesis program harus melalui riset dan kajian komprehensif untuk identifikasi permasalahan urgen dan solusi inovatif dalam masyarakat. Selanjutnya, melakukan konsolidasi kemitraan untuk merakit solusi strategis secara lintas kelompok, yaitu melibatkan pihak pemerintah, akademisi, swasta, rohaniawan, budayawan dan tokoh masyarakat lainnya. 

Program lintas kemitraan dalam pemberdayaan kepemimpinan, bela negara, bimbingan teknis manajemen organisasi, pemberdayaan sociopreneur dan koperasi merupakan contoh-contoh program strategis yang bisa memicu “multiplier effect” yang besar dalam ruang sosial masyarakat.

5. Diplomasi Kemitraan Bersifat “Multi Partnership”

Sebagai wadah independen, gerakan sosio-kultur tidak boleh menjadi “alien” karena mengisolasi diri dari berbagai dinamika sosial, ekonomi dan politik sekitar. Akses kemitraan harus tetap di buka lebar dengan tetap memiliki filter cerdas untuk tidak terjerumus dalam “bias kepentingan” yang bisa menjadi bumerang fatal bagi solidaritas sosio-kultur. Ketika point (1) – (4) rampung, maka diplomasi kemitraan di tingkat lokal dan nasional harus dengan piawai di kelola (multi partnership). 

Pemerintah sebagai pusat kekuasaan tidak akan terlepas dari dominasi kekuatan politik, sehingga simbiosis mutualistik dalam kekuasaan bisa di lakukan, dengan catatan bahwa akses kemitraan yang di buka wajib menciptakan “distribusi kebijakan publik” dengan manfaat secara kolektif dan bukan secara parsial. Semangat gotong royong dan solidaritas selalu menjadi lokomotif yang menarik gerbong-gerbong kemitraan, baik dengan pihak pemerintah (lokal/pusat) dan pihak non pemerintah.

Di butuhkan kejelian dalam melakukan identifikasi dan observasi berbagai isu strategis dalam cakupan lokal, regional maupun nasional. Selanjutnya, mengemas isu strategis tersebut menjadi “kajian darurat” berbasis riset, data dan fakta. Kita membutuhkan kecakapan diplomatis dalam simbiosis politik yang elegan dalam pusat kekuasaan, sehingga isu strategis tersebut bisa menjadi atensi pemerintah lokal/pusat. 

Pada akhirnya, ruang kemitraan dalam pusat kekuasaan bisa terbuka dan bisa mengakses alokasi kebijakan pemerintah lokal/pusat. Era pasca reformasi telah memberikan ruang gerak bagi kreatifitas dan inisiasi mandiri bagi kelompok masyarakat yang berkarya dalam kontribusi pembangunan nasional. Di dukung dengan iklim keterbukaan penyampaian opini publik yang kondusif semakin memberi ruang gerak yang leluasa dalam mendorong berbagai kemitraan strategis.

Dalam judul tulisan ini, saya sengaja menggunakan terminologi “katalisator” karena merujuk pada konsekuensi logis ketika point (1) – (5) di laksanakan secara sinergis dan bertahap. Katalisator adalah istilah dalam dunia biokimia terkait aktivitas enzimatis dalam sebuah proses reaksi kimia. 

Dalam dunia biokima, enzim merupakan molekul protein yang di hasilkan oleh sel hidup dan mampu berperan untuk mempercepat laju reaksi kimia (fungsi katalis). Dalam konteks masyarakat Nusa Utara, makna analogis terkait “katalisator” meruju pada wacana konstruksi gerakan sosio-kultur dari point (1) – (5) yang akan berdampak besar dalam mendorong percepatan pemberdayaan kemandirian masyarakat Nusa Utara, baik secara individual, kolektif maupun teritorial.