Demokrasi dan Kontrol Sosial Media
Johan Awuy (Foto: Ist)
Opini oleh: Noldy Johan Awuy (Koordinator Indonesia Timur Advokasi Rakyat Untuk Nusantara (ARUN)
Sulut24.com, OPINI - Media dan demokrasi memiliki kaitan yang sangat erat. Media sering dianggap sebagai pilar ke-4 demokrasi, yang menyuarakan dan mewakili kepentingan rakyat.
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, dengan arti demos yang berarti orang dan kratos yang berarti aturan, membutuhkan media, representasi publik, sebagai penyeimbang.
Demokrasi menempatkan rakyat sebagai subjek utama dalam menjalankan sistem pemerintahan, dengan aturan hukum sebagai koridor kebijakan setiap pengambilan keputusan pemerintah. Demokrasi mengedepankan prinsip dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat.
Demokrasi tidak dapat menghindari media massa, atau kini semakin diramaikan dengan adanya media sosial seperti Twitter atau Facebook. Media massa memiliki peranan yang kuat dalam sistem demokrasi.
Media massa atau media sosial menjadi cermin dan sekaligus saluran kebebasan berpendapat kepada publik. Demokrasi tanpa media tidak akan terlihat karena media memberikan ruang bagi demokrasi. Media berhubungan erat dengan pemerintah dan publik. Sehingga keberadaan media massa dalam sistem demokrasi patut diperhitungkan
Media massa membutuhkan kebebasan dalam menyebarkan aparatitas rakyat. Terlebih terkait media sosial yang lebih bersifat personal. Ia adalah ruang publik yang dimanfaatkan individu untuk mengekpresikan kebebasan berpendapat mereka.
Di sisi lain, media massa yang penuh dengan kontrol, menjadi cermin suatu pemerintahan yang anti-kritik, tidak terbuka, fasis, dan otoriter, seperti yang dilakukan oleh pemerintah Korea Utara atau Tiongkok yang melakukan kontrol terhadap media massa dan media sosial. Rusia di bawah pemerintahan komunis bahkan hanya mengijinkan sebuah surat berita yang terbit, Pravda.
Media memiliki beberapa peran penting dalam menjalankan sistem demokrasi yakni sebagai sumber informasi. Media berperan sebagai sumber informasi bagi publik dan berusaha berada dalam posisi netral dalam kehidupan berpolitik. Media massa juga berperan sebagai watchdog yang berfungsi sebagai lembaga pengawasan dan kontrol pemerintah.
Edmund Burke menyebut media sebagai pilar keempat demokrasi, media melihat dan mengawasi serta mengontrol aktivitas pemerintah, apakah pemerintah tersebut bersih, jujur dan kompeten dalam menjalankan aktivitas pemerintahan atau sebaliknya. Dalam hal ini media memiliki tanggung jawab terhadap pengawasan pemerintahan.
Sebuah pemerintahan yang fasis, otoriter atau rezim komunis tidak membutuhkan pengawasan atau kritik dari publik. Kebenaran bersumber dari negara.
Media massa atau pun media sosial juga diharapkan dapat menjadi 'pasar ide' atau pasar ide yaitu sebuah wadah bagi kelompok atau individu dalam mengekpresikan dirinya, memutar pendapat tanpa adanya intervensi dari negara.
Prinsip ini menjadi cerminan demokrasi yang matang dan mendewasakan individu sebagai warganegara.
Langkah penutupan media sosial seperti Facebook, Twitter atau YouTube dilakukan oleh Korea Utara dan Tiongkok karena dianggap menjadi sarana warga melakukan kritik terhadap pemerintah dan mendapatkan akses yang besar terhadap informasi.
Kekhawatiran terhadap peretasan atau berita hoaks bukan hanya dengan serta merta menutup fungsi media sosial yang selama ini telah ada dan dapat diakses secara terbuka oleh warga.
Jangan membakar lumbungnya hanya karena ada satu tikus di lumbung tersebut.
Indonesia sebagai negara demokrasi tidak dapat mencoba apa yang dilakukan Tiongkok atau Korea Utara yang berbeda pemahaman dengan kita.
Yang dikhawatirkan dengan kebijakan tersebut bukanlah tentang pembatasan berita hoaks atau perlindungan, tetapi pemerintah ingin memiliki “alat gebug” lain untuk menakut-nakuti mereka yang tak sejalan dan memberikan kritik pada pemerintah, seperti yang pernah terjadi di masa Orde Baru.