Menilik Dampak Wacana Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus Kepada Perguruan Tinggi - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Menilik Dampak Wacana Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus Kepada Perguruan Tinggi

Ilustrasi perguruan tinggi mengelola tambang (Foto: Ist)

Opini oleh: Amirudin (Peneliti Pijar Institute)

Sulut24.com, OPINI - Sumber daya alam mineral dan batubara merupakan salah satu kekayaan alam di Indonesia. Pemerintah Indonesia sendiri memiliki kewenangan untuk menguasai sumber daya alam mineral dan batubara, yang telah dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat”. 

Salah satu komoditi yang banyak diusahakan untuk memenuhi kebutuhan energi di Indonesia adalah batubara. Indonesia memiliki potensi sumber daya batubara sekitar 60 miliar ton dengan cadangan 7 miliar ton. Dengan potensi yang sebanyak itu tentu diperlukan pengelolaan secara efisen. 

Pertambangan merupakan sektor yang mendapat perhatian serius dari pemerintah, mengingat kegiatan usaha pertambangan tersebut memberikan kontribusi yang cukup besar bagi masuknya devisa negara, hal ini terlihat dengan banyaknya perizinan Kuasa Pertambangan di daerah. 

Disisi lain dengan meningkatnya jumlah kegiatan usaha pertambangan baik yang melibatkan investasi asing maupun nasional, menimbulkan eksploitasi besarbesaran dan mengakibatkan pencemaran serta rusaknya lingkungan. Penguasaan negara dalam pengelolaan pertambangan dilaksanakan oleh Pemerintah, dalam hal ini yang dimaksud pemerintah adalah pemerintah pusat. Meskipun pemerintah memiliki kewenangan dalam pengelolaan pertambangan namun dalam pelaksanaannya, pemerintah sendiri sebenarnya tidak mampu untuk melakukan usaha pertambangan atas sumber daya alam tersebut.  Sehingga Untuk melaksanakan kegiatan tersebut pemerintah memberikan kewenangan kepada pihak lainnya untuk dapat melakukan usaha pertambangan atas sumber daya alam tambang. 

Regulasi pertambangan sendiri memberikan wewenang kepada orang atau badan usaha untuk melakukan usaha pertambangan atas sumber daya alam tambang yang dimiliki negara Indonesia. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin. 
Pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada perguruan tinggi kini menjadi bahan perdebatan di Indonesia. Sebagian pihak melihat potensi positif dari kebijakan ini, namun banyak yang mengkhawatirkan dampaknya terhadap tujuan utama perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan dan penelitian. 

Sektor pertambangan, yang memiliki karakteristik industri yang kompleks dan berorientasi pada keuntungan, berisiko mengalihkan fokus perguruan tinggi dari fungsi utamanya.  Rencana negara memberikan kewenangan perguruan tinggi mengelola pertambangan menuai kontra dari sejumlah kalangan akademisi. Pemberian WIUPK kepada perguruan tinggi atau kampus itu seiring dengan sedang direvisinya UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU).

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI resmi menyepakati perubahan UU Minerba sebagai usulan inisiatif DPR (20/1) Terdapat satu Pasal yang menjadi diskursus bersama, yaitu Pasal 51A ayat (1) dalam Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) yang menyatakan bahwa WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan) dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas.

Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batu Bara Indonesia (Aspebindo) Anggawira mengatakan bahwa “pengelolaan tambang bisa mengubah perguruan tinggi menjadi lebih berorientasi pada keuntungan daripada pendidikan”. Mengelola tambang adalah aktivitas industri yang kompleks dan berorientasi pada profit. Hal ini berpotensi menggeser fokus universitas dari fungsi utamanya sebagai lembaga pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Hal ini bisa menjadi ancaman serius, terutama jika perguruan tinggi lebih sibuk mengelola tambang daripada menjalankan tugas pokoknya dalam mendidik generasi muda.(30/1).

Senada Mantan anggota Komisi VII DPR RI dan Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Mulyanto bahwa sektor pertambangan saat ini tengah dilanda berbagai masalah, seperti tambang ilegal dan korupsi yang merugikan negara hingga triliunan rupiah. Pemberian prioritas izin tambang kepada perguruan tinggi bisa menambah masalah baru yang lebih berat, karena sektor ini penuh tantangan, baik dari sisi pengelolaan maupun dampak sosial dan lingkungan. Ditambah lagi, sektor pertambangan berisiko memperburuk kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial, yang seringkali menekan masyarakat kecil.

Sementara Dekan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (FH ULM) Achmad Faisal terkait rencana pemberian izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi mengatakan bahwa, kebijakan ini memiliki sisi positif dan negatif yang perlu dikaji secara mendalam agar tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Usaha pertambangan bagi PTN tentu tidak lepas dari hal yang positif dan negatif dengan tolok ukur masing-masing. Sisi positifnya saat ini masih terlihat pada permukaan, seperti itikad baik untuk membantu mengurangi Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa, namun masih banyak hal lain yang perlu dianalisis dan dijawab agar kebijakan ini tidak bersifat trial and error. 

Achmad Faisal menambahkan bahwa perhatian serius harus diberikan kepada jumlah pegawai dan dosen yang sangat banyak di perguruan tinggi. Pasalnya tidak semua akan terlibat dalam mengurus usaha tambang. Hal ini juga akan berpotensi menimbulkan konflik internal, selain itu, kami mempertanyakan apakah di negara-negara maju, lembaga pendidikannya juga mengelola pertambangan. Konsep ekonomi bernegara memang berbeda-beda, dan terobosan ini perlu dikaji lebih jauh dan tidak sembarang memuat klausal norma di UU Minerba hingga kedepan menjadi masalah baru. Potensi dampak kebijakan ini terhadap otonomi daerah dan Dana Bagi Hasil (DBH) pertambangan. 

Pasalnya, saat ini pengelolaan tambang melalui sistem online single submission telah mengurangi peran daerah, dan mereka hanya menerima DBH untuk pemerataan pembangunan. Jika perguruan tinggi mengelola tambang yang ditujukan untuk menunjang UKT, maka otomatis DBH daerah turun dan secara ekonomi makro di daerah akan mengalami semacam gangguan monitoring. Keadaan dunia pendidikan tinggi masih banyak terbelenggu oleh aturan-aturan yang secara teoritis tidak searah dengan tujuan hukum administrasi. Bahkan bersifat imperatif yang akhirnya antara kekuasaan dan pelaksana kerja dunia pendidikan hanya menjadi korban kebijakan yang tidak memiliki kepastian hukum.  

Kita khawatir munculnya disparitas atau kesenjangan antara perguruan tinggi di daerah penghasil sumber daya alam (SDA) minerba dan perguruan tinggi di daerah non-pertambangan. Apakah nanti perguruan tinggi di daerah hanya akan gigit jari karena izin tambang hanya diberikan kepada perguruan tinggi besar, Ini perlu diantisipasi. Secara keperdataan, PTN yang berstatus Badan Hukum memang memiliki peluang lebih besar. Namun hal ini bisa menimbulkan ketidakadilan. Intinya, jangan hanya pada perizinan semata yang ingin dimuat dalam UU Minerba, tetapi juga perlu diperhatikan pada perencanaan, pengelolaan, dan pemasarannya.  

Jika kebijakan ini tetap dinormakan dalam UU Minerba, Kita menyarankan agar diatur dengan tegas dan mengedepankan nilai keadilan dalam hukum, perlu juga dilakukan perubahan banyak aturan kebijakan bagi dunia pendidikan agar kebijakan ini tidak justru membelenggu perguruan dengan aturan yang imperatif dan tidak searah dengan tujuan hukum administrasi. 


Secara Yuridis, Perguruan Tinggi Melalui Badan Usahanya Memiliki Hak Konstitusional

Secara Yuridis, Perguruan tinggi melalui badan usahanya memiliki hak konstitusional berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara 1945. Pasal tersebut menyebutkan, "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Perguruan tinggi, sebagai entitas yang berorientasi pada kepentingan publik, memiliki legitimasi untuk terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam. Selain itu Perguruan tinggi merupakan pusat pengembangan IPTEK. 

Dengan demikian, kehadiran perguruan tinggi dalam sektor pertambangan dapat menjadi jembatan antara teori akademis dan praktik lapangan. Hal ini dikarenakan selama ini, banyak perguruan tinggi telah memiliki entitas bisnis yang bertujuan menerapkan IPTEK sekaligus mendapatkan manfaat ekonomi untuk menunjang tridarma perguruan tinggi. Mengingat sektor pertambangan saat ini didominasi oleh entitas non-state yang bersifat kapitalistik. Kondisi ini dinilai hanya menguntungkan segelintir orang dan belum sepenuhnya merealisasikan prinsip kemakmuran rakyat. 

Hadirnya perguruan tinggi sebagai pengelola tambang dapat menjadi terobosan baik. Mereka membawa standar moral, etika lingkungan, dan komitmen untuk kesejahteraan civitas akademika serta masyarakat luas. Dalam Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan penguasaan batubara dan sumber daya alam lainnya oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Namun dalam praktiknya, sektor pertambangan masih didominasi oleh perusahaan asing dan swasta nasional yang modalnya dimiliki oleh kelompok tertentu. 

Dengan demikian badan usaha perguruan tinggi dapat menjadi navigator yang mengakomodasi aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan pembangunan nasional. Perguruan tinggi juga memiliki kewajiban moral dan akademik untuk memastikan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dilakukan dengan prinsip good mining practice.  Dengan demikian, transformasi kepentingan IPTEK, sosial, ekonomi, dan lingkungan dapat berjalan seimbang dan berkelanjutan, sehingga, transformasi kepentingan iptek, sosial, ekonomi, dan lingkungan dapat berjalan seimbang dan berkelanjutan. 

Dalam mengelola pertambangan diperlukan kebutuhan investasi modal yang besar dalam industri pertambangan sehingga menuntut badan usaha milik perguruan tinggi untuk mencari sumber pendanaan alternatif dengan beberapa opsi yang dapat dilakukan salah satunya dengan membangun kerja sama dengan investor atau perusahaan tambang tanpa mengorbankan prinsip akademik maupun independensi universitas, perlu adanya opsi kebijakan dalam menjalankan Izin Usaha Pertambangan (IUP) seperti Pertama IUP sepenuhnya dikelola oleh badan usaha milik perguruan tinggi, Kedua IUP diberikan kerjasama dan dikelola sepenuhnya oleh pihak lain, dan Ketiga IPUP dikerjasamakan dengan pihak lain dengan dilakukan pembagian porsi yang disepakati bersama oleh kedua pihak.


“Etik Sosial Perguruan Tinggi Yang Mendapat Izin Usaha Tambang Berpotensi Menghadapi Tuduhan Konflik Kepentingan”.

Dari Sisi Etik sosial, Perguruan tinggi yang mendapat izin usaha tambang berpotensi menghadapi tuduhan konflik kepentingan, karena perguruan tinggi mestinya menjadi institusi yang netral dalam penelitian dan kajian dampak lingkungan. Jika kegiatan tambang yang mereka kelola berdampak buruk pada lingkungan, perguruan tinggi itu bakal menghadapi kritik dari masyarakat, dan merusak reputasi institusi. 

Secara hukum, perguruan tinggi mungkin tidak secara langsung memenuhi syarat sebagai pemegang izin usaha tambang. Jika ingin terlibat, perguruan tinggi harus mendirikan badan usaha yang terpisah dan memenuhi semua persyaratan yang berlaku di sektor pertambangan. Dari perspektif etika dan fungsi, perguruan tinggi yang terlibat dalam usaha tambang dapat dianggap bertentangan dengan tujuan utamanya sebagai institusi pendidikan. Sebelum memberikan izin semacam ini, pemerintah harus memastikan bahwa langkah tersebut sesuai dengan regulasi dan tidak merugikan fungsi perguruan tinggi serta kepentingan masyarakat. 

Prinsip utama dalam penyelenggaraan Perguruan Tinggi berdasarkan Pasal 6 UU PT adalah penyelenggaraan PT harus berdasarkan kebenaran ilmiah, demokratis, dan keadilan. Namun, diberikannya hak pengelolaan tambang kepada  PT berpotensi merusak sendi-sendi pelaksanaan PT. Sebab, hal tersebut dipengaruhi tekanan-tekanan eksternal, mulai pemerintah hingga oligarki, agar PT tidak menentang kepentingan-kepentingan mereka yang pada akhirnya membungkam suara dunia akademik. 

Hal tersebut tentu berbahaya bagi praktik demokrasi dan esensi dunia pendidikan sebagai pilar demokrasi dan penyeimbang kekuasaan karena pendidikan tinggi menjadi transaksi politik. Pemberian izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi akan membuat makin dekatnya perguruan tinggi dengan kekuasaan. Hal itu berpotensi pada daya kritik dan peran perguruan tinggi sebagai socio political sphere dalam tatanan demokrasi akan terganggu. Pada akhirnya proses checks and balances tidak berjalan. Apabila proses itu tidak berjalan, kekuasaan yang korup tidak bisa dibendung.

“WIUPK kepada Perguruan Tinggi memiliki Potensi Pelanggaran”
WIUPK kepada Perguruan Tinggi memiliki Potensi Pelanggaran, Ada beberapa aturan yang berpotensi dilanggar jika perguruan tinggi diberikan izin tambang tanpa prosedur yang jelas. Salah satunya Pelanggaran terhadap UU Pendidikan Tinggi Perguruan tinggi yang fokus pada usaha tambang dapat dianggap melanggar fungsi utamanya sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2012. Selain, Pelanggaran terhadap UU Keuangan Negara Perguruan tinggi negeri yang menggunakan dana publik untuk kegiatan tambang tanpa dasar hukum yang jelas dapat melanggar aturan pengelolaan keuangan negara. 

Ditambah potensi terhadap pelanggaran UU Lingkungan Hidup, Jika aktivitas tambang tidak mengikuti prosedur AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan tidak melibatkan studi yang mendalam, maka dapat melanggar UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pelanggaran terhadap Peraturan Khusus Sektor Pertambangan, Jika perguruan tinggi tidak memenuhi syarat badan usaha yang diakui dalam UU Minerba atau PP terkait, izin usaha tambang tersebut bisa dianggap ilegal.

Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali bahwa pemberian izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi akan memberikan dampak negatif lebih besar daripada dampak positif, sejatinya frasa dalam Pasal 51A perlu dibatalkan Baleg DPR RI selaku inisiator RUU Minerba. Apabila tetap dipaksakan menjadi sebuah norma, norma pasal tersebut berpotensi digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena bertentangan dengan UUD 1945.  

Selain Pasal 28E UUD 1945 yang akan menjadi faktor utama dalam mempertanyakan inkonstitusionalitas Pasal 51A RUU a quo, perlu dipertimbangkan kembali norma Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi bahwa “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Bukannya mencerdaskan kehidupan bangsa, akan muncul banyak dampak negatif yang akan didapatkan perguruan tinggi daripada dampak positif. 

Oleh karena itu, Pasal 51A RUU a quo bersifat inkonstitusional dan perlu dicabut dalam RUU Minerba.  Juga, mengembalikan peran perguruan tinggi sebagaimana amanat UUD 1945 dan UU Perguruan Tinggi sebagai wadah pengembangan ilmu pengetahuan dan melahirkan generasi-generasi penerus bangsa yang memiliki integritas dan mampu bersaing secara global. 

Selain itu tumpang tindih antara UU Minerba dan UU Pendidikan Tinggi menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan, perlunya harmonisasi antara UU Minerba dan UU Pendidikan Tinggi guna menghindari konflik hukum yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi perguruan tinggi. Perguruan tinggi harus dilihat sebagai mitra strategis pemerintah dalam pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, bukan sebagai pelaku bisnis yang berorientasi pada keuntungan. Proses revisi undang-undang harus mencerminkan semangat demokrasi dan melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan pemangku kepentingan di sektor pendidikan tinggi. Konsultasi yang luas diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi riil.

Penutup

Pemberian IUP kepada Perguruan Tinggi memiliki dampak positif dan negatif, salah satu dampak positifnya yakni Pemberian IUP merupakan langkah seperti itikad baik untuk membantu mengurangi permasalahan Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa, Perguruan Tinggi selain keunggulan akademik dan penelitian, badan usaha milik perguruan tinggi dituntut memiliki kemampuan pengelolaan tambang yang berorientsi pada bisnis dan industri sehingga kemitraan strategis dengan pihak yang berpengalaman di bidang pertambangan sangat diperlukan. 

Perguruan Tinggi sebagai akademik dan penelitian dapat menjadi wadah pengembangan iptek dalam rangka untuk mencapai ekpoitasi tambang yang ramah lingkungan, penambangan yang meminimalkan kerusakan lingkungan, seperti peledakan terkontrol, penggunaan alat berat yang efisien, dan sistem drainase yang baik, lalu membangun sistem pengolahan limbah yang efektif untuk mencegah pencemaran air dan tanah, serta melakukan reklamasi lahan bekas tambang secara berkelanjutan untuk mengembalikan fungsi ekologisnya.

Dampak Negatif Pemberian Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada perguruan tinggi dinilai menyalahi tridharma perguruan tinggi yakni pendidikan, penelitian, riset dan pengabdian masyarakat, serta berpotensi memicu konflik di dunia pendidikan. Hal tersebut juga dapat berpotensi inkonstitusionalnya RUU Pasal 5A bahwa WIUP Mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas tanpa mempertimbangkan Pasal 28E UUD 1945 yang akan menjadi faktor utama dalam mempertanyakan inkonstitusionalitas Pasal 51A RUU. 

Perguruan tinggi harus dilihat sebagai mitra strategis pemerintah dalam pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, bukan sebagai pelaku bisnis yang berorientasi pada keuntungan. Proses revisi undang-undang harus mencerminkan semangat demokrasi dan melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan pemangku kepentingan di sektor pendidikan tinggi. 

Konsultasi yang luas diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi riil. Revisi UU Minerba ini dapat menjadi peluang untuk memperkuat peran perguruan tinggi dalam pembangunan nasional. Namun, keterlibatan perguruan tinggi harus tetap sejalan dengan mandat Tridharma Perguruan Tinggi. Kebijakan yang mendorong perguruan tinggi untuk terlibat dalam pengelolaan tambang harus ditinjau ulang agar tidak menambah beban institusi pendidikan atau menciptakan masalah baru.

Editor: fn