Ruth Wangkai Ingatkan Kerawanan konflik Terkait Isu Kebebasan Beragama di Sulut
Ruth Ketsia Wangkai, pengawas dan pengurus PUKKAT saat menyampaikan materi pada diskusi Memperkuat mediasi dan memperkokoh kerukunan (Foto: Sulut24/fn)
Sulut24.com, MANADO - Upaya membangun perdamaian dan menjaga kerukunan antarumat beragama di Sulawesi Utara semakin diperkuat dengan pendekatan mediasi yang dikembangkan oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina.
Ismail Al-Alam, perwakilan PUSAD Paramadina dalam kegiatan diskusi publik dengan tema “Memperkuat mediasi dan memperkokoh kerukunan” yang digelar di ruang serbaguna Pemerintah Kota Manado, Selasa (11/2/2025) menjelaskan bahwa program pelatihan mediasi yang digagas oleh PUSAD Paramadina bertujuan untuk melatih mediator dari berbagai latar belakang, guna meredam potensi konflik di tengah masyarakat.
Ia menjelaskan bahwa pengelolaan konflik dapat dilakukan melalui tiga pendekatan utama yaitu kekuatan, hak, dan kepentingan. Pendekatan kepentingan, yang mengutamakan solusi bersama yang menguntungkan semua pihak, menjadi inti dari metode mediasi yang diajarkan dalam pelatihan.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Manado, Meiske C. Lantu mengatakan bahwa pendekatan mediasi lebih efisien dalam menyelesaikan konflik dibanding jalur hukum, karena tidak memberatkan satu pihak.
Menurutnya mediator yang kompeten dapat memberikan pertimbangan yang relevan dalam penyelesaian konflik.
"Mediator yang dilatih dalam pelatihan ini dapat memberikan pertimbangan lebih relevan serta menghasilkan kesepakatan damai antara pihak yang berkonflik," ujarnya.
Meskipun Sulawesi Utara dikenal sebagai salah satu daerah dengan tingkat toleransi tertinggi di Indonesia, Ruth Ketsia Wangkai, pengawas dan pengurus PUKKAT mengingatkan bahwa kerawanan konflik masih ada, terutama yang berkaitan dengan isu kebebasan beragama sehingga diperlukan mediator-mediator yang dapat melakukan mediasi dalam penyelesaian konflik.
Ia mengatakan, selain mediasi, langkah advokasi juga sering dilakukan dalam membela pihak-pihak kelompok yang terpojokan dalam konflik agama. Menurutnya advokasi kebebasan beragama atau berkeyakinan saat ini terus berkembang, hal ini ditandai dengan hadirnya berbagai organisasi yang bergerak untuk memperjuangkan kebebasan beragama seperti Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Sulawesi Utara.
“Advokasi kebebasan beragama atau berkeyakinan lahir dari berbagai peristiwa yang membatasi kebebasan beragama, seperti kasus Ahmadiyah dan penerapan UU Penistaan Agama yang sering digunakan secara diskriminatif,” ujarnya.
Sementara itu Edwien Moniaga, ketua forum kewaspadaan dini masyarakat menambahkan bahwa meski pendekatan mediasi semakin berkembang, pemerintah dinilai belum sepenuhnya memberikan dukungan terutama secara finansial terhadap pelatihan mediator.
"Di Kota Manado, peran mediator sangat krusial dalam menjaga kerukunan, namun hingga kini pemerintah terkesan belum memberikan dukungan konkret," tegasnya.
Ia berharap kedepannya pemerintah dapat mengalokasikan anggaran untuk mendukung mediator-mediator yang telah memiliki sertifikat kompetensi.
Pada kesempatan yang sama, Pastor Evaristus Angwarmase, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng menyoroti pentingnya jalur informal dalam penyelesaian konflik, menurutnya, pendekatan ini menempatkan pihak-pihak yang berselisih sebagai pada posisi yang sama, sehingga mempercepat proses rekonsiliasi.
Ia juga menekankan perlunya pelatihan mediasi bagi wartawan dan influencer, mengingat media sosial memiliki pengaruh besar dalam eskalasi maupun resolusi konflik.
Program pelatihan mediasi yang dikembangkan PUSAD Paramadina di berbagai daerah, termasuk Kota Manado, diharapkan dapat menghasilkan mediator-mediator andal yang mampu meredam potensi konflik sebelum meluas. (fn)