Ekonom Ferry Latuhihin Sebut Fundamental Ekonomi Negara Dalam Kondisi Tidak Baik, Pasar Keuangan Tertekan - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Ekonom Ferry Latuhihin Sebut Fundamental Ekonomi Negara Dalam Kondisi Tidak Baik, Pasar Keuangan Tertekan

Ilustrasi (Gambar: ist)

Sulut24.com, MANADO - Pengamat ekonomi Ferry Latuhihin menilai bahwa pernyataan pemerintah yang menyebutkan tidak ada kaitan antara pasar keuangan dengan fundamental ekonomi negara kurang tepat. Menurutnya, pasar selalu mencerminkan kondisi fundamental ekonomi, sehingga jika pasar mengalami tekanan, maka itu mencerminkan adanya masalah dalam ekonomi nasional.

“Market bisa rebound, tetapi secara keseluruhan sentimen masih sangat buruk. Bisa saja indeks saham menghijau dalam jangka pendek, tetapi itu bukan berarti kondisi ekonomi baik,” ujar Ferry dalam keterangannya.

Ia menyoroti sejumlah indikator yang menunjukkan kondisi ekonomi Indonesia tengah menghadapi tantangan berat. Salah satunya adalah defisit anggaran yang meningkat akibat program-program populis pemerintah, seperti makan bergizi gratis dan belanja negara yang masif menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurutnya, pemerintah tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai program-program tersebut, sehingga berdampak pada keseimbangan fiskal.

Lembaga keuangan internasional juga mulai memberikan proyeksi negatif terhadap perekonomian Indonesia. OCBC meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan mencapai 5 persen dalam waktu dekat, sementara Nomura Securities memprediksi defisit anggaran bisa melonjak hingga 3 persen bahkan 3,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). 

“Angka-angka ini mencerminkan ketakutan pasar dan menunjukkan bahwa fundamental ekonomi kita tidak sedang dalam kondisi baik,” tambahnya.

Selain itu, Ferry menyoroti penurunan daya beli masyarakat sebagai faktor lain yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Meskipun Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam seperti nikel dan timah, kenyataan di lapangan menunjukkan peningkatan jumlah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) serta penurunan jumlah kelas menengah. 

Dalam lima tahun terakhir, jumlah kelas menengah Indonesia turun dari 57 juta menjadi 47 juta orang. Padahal, kelompok ini merupakan pendorong utama konsumsi domestik.

“Jika konsumsi menurun, maka pertumbuhan ekonomi juga akan melambat. Hal ini menjadi tantangan serius bagi pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi ke depan,” pungkasnya. (fn)