Diskusi Buku Ahmadiyah Dibatalkan, Dua Tokoh Muslim Soroti Matinya Intelektualitas Kampus
Taufiq Bilfaqih dan Taufiq Pasiak (Foto: ist)
Taufiq Pasiak dan Taufiq Bilfaqih kritisi pembungkaman ruang dialog di IAIN Manado: “Kampus seharusnya jadi tempat berpikir, bukan menutup pikiran.”
Sulut24.com, MANADO - Keputusan pembatalan diskusi buku kontroversial “Menyingkap Tabir Kebenaran Ahmadiyah” yang semestinya digelar di Aula IAIN Manado menuai kritik tajam dari dua tokoh Muslim Kota Manado.
Melalui unggahan di akun media sosial Facebooknya mereka menilai, tindakan tersebut mencederai semangat akademik, melemahkan dialog lintas pemikiran, dan memperlihatkan matinya nalar intelektual di ruang kampus.
Taufiq Pasiak, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Manado periode 2000–2010, menegaskan bahwa kampus seharusnya menjadi ruang untuk menguji pikiran, bukan membungkamnya. Ia mengaku menyayangkan sikap IAIN Manado yang membatalkan agenda diskusi setelah menerima surat imbauan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Utara.
“Saya sampaikan dengan jernih: kebebasan berpikir adalah nilai yang tidak bisa dikorbankan. Kampus bukan ruang steril dari perbedaan,” ujar Taufiq Pasiak. “Melarang diskusi bukan hanya tindakan antidemokratis, tetapi juga antiintelektual.”
Taufiq Pasiak menegaskan, pembelaannya bukan terhadap isi buku atau kelompok tertentu seperti Ahmadiyah, melainkan terhadap hak dasar untuk berpikir dan berdialog.
“Dialog adalah pintu pengertian. Jika kita percaya bahwa kebenaran akan selalu menemukan jalannya, maka kita tak perlu takut pada perbincangan. Yang justru berbahaya adalah saat ruang berpikir dikunci atas nama ketertiban semu,” tegasnya.
Senada dengan itu, tokoh muda Muslim Manado, Taufiq Bilfaqih, turut melontarkan kritik tajam. Ia menyebut pembatalan diskusi sebagai bentuk pembunuhan terhadap semangat intelektualitas dan penghinaan terhadap misi ilmu pengetahuan.
“Saya sedang mempersiapkan diri untuk mempreteli argumen penulis buku, Romo Samsi Pomalingo. Tapi mendadak semalam ada kabar bahwa acara dibatalkan karena tekanan dari pihak luar,” kata Bilfaqih.
Menurutnya, kampus telah kehilangan kemandiriannya dan justru tunduk pada tekanan institusi keagamaan yang seharusnya menjadi fasilitator dialog, bukan penghambatnya.
“Alih-alih memberikan pencerahan, ‘ulama’ justru membuat sekat yang melegitimasi kebenaran pihak yang mereka sesatkan. Bagaimana umat tahu bahwa Ahmadiyah menyimpang atau tidak jika tak diberi ruang tabayyun?” tanyanya.
Bilfaqih juga menyoroti bahwa konteks sosial Manado berbeda dengan daerah lain, di mana warga dikenal toleran terhadap keberagaman.
“Manado bukan tempat persekusi. Ahmadiyah bisa eksis di sini tanpa ada konflik horizontal. Itu sudah saya tulis di jurnal ilmiah,” ungkapnya.
Keduanya berharap ke depan, MUI tidak hanya menjadi institusi yang mengeluarkan imbauan pembatasan, tapi justru menjadi fasilitator ruang-ruang perjumpaan antar komunitas. Sebab, menurut mereka, menutup ruang dialog adalah awal dari stagnasi berpikir umat.
“Jika kampus tunduk pada intervensi luar, maka dunia akademik kehilangan maknanya. Dan bila ini terus terjadi, maka semangat ulul albab telah benar-benar kita kuburkan,” pungkas Bilfaqih. (fn)