Gelombang PHK Menghantam Industri, Apa yang Sebenarnya Terjadi di Balik Angka Ribuan Pekerja Terdampak?
Ilustrasi (Gambar: Ist)
Awal tahun 2025 diwarnai badai PHK di berbagai sektor industri Indonesia. Ribuan pekerja kehilangan pekerjaan.
Sulut24.com, JAKARTA - Indonesia tengah menghadapi badai pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang mengguncang berbagai sektor industri. Sejak awal tahun 2025, puluhan ribu pekerja telah kehilangan mata pencaharian, memunculkan kekhawatiran akan krisis ketenagakerjaan yang lebih luas jika tidak segera diatasi.
Data terbaru dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyebutkan bahwa sebanyak 60.000 pekerja dari 50 perusahaan telah mengalami PHK hanya dalam dua bulan pertama tahun ini. Mayoritas berasal dari sektor padat karya seperti tekstil, garmen, elektronik, dan sepatu.
Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat 40.000 pekerja terkena PHK berdasarkan data pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dari BPJS Ketenagakerjaan.
Sektor industri tekstil menjadi yang paling terdampak. PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu produsen tekstil terbesar di Indonesia, dinyatakan pailit dan memecat lebih dari 10.000 pekerja. Di Garut, PT Danbi International mem-PHK lebih dari dua ribu pekerja akibat kebangkrutan.
Sementara itu, PT Yihong Novatex Indonesia di Cirebon menghentikan operasional dan memberhentikan lebih dari seribu karyawan setelah aksi mogok kerja besar-besaran.
Tak hanya tekstil, sektor elektronik dan alat musik juga terdampak signifikan. PT Yamaha Music Product Asia berencana menghentikan produksi dan memecat lebih dari seribu pekerja. PT Sanken Indonesia pun menutup pabriknya di Cikarang, dengan PHK terhadap hampir seribu orang.
Di sisi lain, industri otomotif mulai menunjukkan gejala serupa. Beberapa produsen asal Jepang seperti Toyota, Mitsubishi, Hino, dan Isuzu dilaporkan tengah melakukan efisiensi besar-besaran, termasuk kemungkinan PHK di lini produksi Indonesia.
Kondisi serupa juga melanda sektor makanan cepat saji. PT Fast Food Indonesia Tbk, pengelola waralaba KFC Indonesia, telah menutup 47 gerai dan memecat lebih dari 2.200 karyawan.
Sementara itu, industri pengolahan kelapa di wilayah timur Indonesia terdampak oleh krisis bahan baku, menyebabkan enam perusahaan berhenti produksi sementara dan terancam mem-PHK lebih dari 21.000 tenaga kerja.
Gelombang PHK ini dipicu oleh sejumlah faktor. Banyak perusahaan mengalami kebangkrutan atau harus melakukan efisiensi operasional akibat tekanan biaya dan penurunan permintaan global. Relokasi pabrik ke luar negeri seperti Vietnam dan China juga menjadi strategi umum untuk memangkas ongkos produksi.
Selain itu, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen pada tahun ini dianggap memberatkan sektor padat karya.
Produk impor murah yang membanjiri pasar dalam negeri juga menggerus daya saing industri lokal, terutama di sektor tekstil dan elektronik. Di tengah inflasi yang masih tinggi dan daya beli masyarakat yang melemah, tekanan terhadap sektor industri semakin besar.
Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan telah menaruh perhatian serius terhadap fenomena ini. Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menyebutkan bahwa koordinasi lintas kementerian sedang dilakukan untuk mencegah dampak lebih besar.
Sementara itu, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer Gerungan, menyampaikan bahwa pemerintah menyambut rencana ekspansi perusahaan seperti Huawei yang akan membuka 30.000 lapangan kerja.
Selain itu, pemerintah daerah seperti Garut telah menyiapkan program penyerapan tenaga kerja hingga 10.000 orang dalam sektor-sektor alternatif.
Gelombang PHK di awal 2025 menjadi alarm keras bagi pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat. Jika tidak segera diatasi dengan kebijakan yang berpihak pada kelangsungan industri dan perlindungan tenaga kerja, maka krisis pengangguran besar-besaran bisa menjadi kenyataan. (fn)