Kasus Intoleransi Meningkat di Awal Era Prabowo: Masjid Disegel, Gereja Ditolak, Buku Dibredel
Ilustrasi (Gambar: ist)
SETARA Institute soroti lonjakan pelanggaran kebebasan beragama di bawah pemerintahan Prabowo Subianto. Kasus Ahmadiyah, penolakan gereja, hingga pembatalan diskusi buku jadi sorotan.
Sulut24.com, MANADO - SETARA Institute menyatakan keprihatinannya terhadap maraknya kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) yang terus meningkat pada awal masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Dalam siaran pers yang dirilis Sabtu (7/6), Direktur Eksekutif SETARA, Halili Hasan, menyebut bahwa Indonesia sedang mengalami kemunduran serius dalam hal perlindungan hak konstitusional warga negara terkait keyakinan dan agama.
Salah satu kasus yang mendapat sorotan tajam terjadi di Kota Banjar, Jawa Barat, di mana Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) kembali menjadi korban diskriminasi. Tim Penanganan yang diketuai oleh Kepala Kemenag Kota Banjar, bersama 30 orang lainnya, mendatangi Masjid Istiqamah milik JAI untuk melakukan penyegelan kembali. JAI diberi batas waktu hingga 9 Juni 2024 untuk mengosongkan masjid.
Tindakan ini merujuk pada Perwali No. 10 Tahun 2011, yang mendasarkan pelarangan aktivitas JAI di Kota Banjar. Kebijakan ini berlandaskan Pergub Jabar No. 12 Tahun 2011, meskipun Kemenkumham RI sebelumnya telah merekomendasikan pencabutannya karena melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
SETARA Institute menyoroti bahwa insiden di Banjar bukan satu-satunya pelanggaran KBB yang terjadi.
IAIN Manado, awal Juni 2025, membatalkan agenda bedah buku "Menyingkap Tabir Kebenaran Ahmadiyah" setelah mendapat tekanan dari MUI Kota Manado dan MUI Sulawesi Utara. SETARA menyebut hal ini sebagai bentuk lemahnya negara dalam menjamin kebebasan berekspresi dan beragama.
Di Samarinda, warga kembali menolak pendirian Gereja Toraja di Kelurahan Sungai Keledang, yang sebelumnya juga ditolak tahun lalu. Spanduk penolakan tersebar di titik strategis seperti Flyover Mahakam IV, kantor kelurahan, hingga permukiman warga.
Sementara itu, sejak 2021, pendirian Masjid Al-Muhajirin di Tomohon belum juga terealisasi akibat FKUB yang tak kunjung mengeluarkan rekomendasi, meskipun Kemenag setempat telah menyetujui.
Berdasarkan data SETARA Institute, sepanjang tahun 2024, tercatat 402 peristiwa intoleransi, terdiri dari 260 tindakan pelanggaran KBB. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya.
SETARA menilai lonjakan ini didorong oleh regulasi yang diskriminatif seperti SKB 3 Menteri No. 3 Tahun 2008 dan PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006 serta berbagai peraturan daerah yang membatasi kelompok Ahmadiyah dan minoritas lainnya.
Dalam siaran persnya, SETARA mengeluarkan empat tuntutan utama:
1. Pemerintah pusat harus segera turun tangan menyelesaikan kasus-kasus KBB, khususnya di Banjar, Tomohon, dan Samarinda.
2. Presiden Prabowo diminta meninjau ulang dan membatalkan regulasi diskriminatif serta membubarkan Baporpakem yang berada dalam yurisdiksi Kejaksaan.
3. Mendagri harus mendisiplinkan pemerintah daerah agar tidak melanggar hak konstitusional warga negara, sebab urusan agama adalah wewenang pemerintah pusat.
4. Menteri Agama didesak agar menginstruksikan Kanwil Kemenag di seluruh Indonesia untuk mematuhi konstitusi dan menjamin hak kelompok agama minoritas.
SETARA menegaskan bahwa tindakan diskriminatif ini merusak stabilitas sosial politik, menghambat pembangunan nasional, dan mengancam Asta Cita Presiden Prabowo. Mereka mengingatkan bahwa Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.” (fn)