Pernikahan dan Analogi Bunga
Ilustrasi (Foto: ist)
Oleh: Jerry F. G. Bambuta
Forum Literasi Masyarakat
Sulut24.com, OPINI - Bunga yang ditanam dalam pot perlu dirawat secara rutin agar dapat tumbuh dengan baik dan memberi keindahan di mana pun ia ditempatkan. Perawatan tersebut dapat berupa penyiraman air agar tidak kering, pemangkasan ranting agar pertumbuhannya rapi, pemberian pupuk, dan sebagainya. Ketika bunga dalam pot tidak dirawat, maka pertumbuhannya terancam terganggu bisa kering, diserang hama, dan akhirnya layu serta mati.
Analogi bunga ini saya gunakan untuk menggambarkan pernikahan yang juga membutuhkan perawatan terus-menerus. Hubungan suami-istri serta orang tua-anak wajib dirawat setiap hari. Percaya atau tidak, pada titik tertentu dalam pernikahan akan muncul fase jenuh. Fase ini sering kali bukan karena kasih sayang suami istri telah hilang, tetapi akibat kelelahan menghadapi konflik internal yang terus-menerus terjadi. Konflik yang tidak segera diselesaikan dengan tuntas akan menjadi seperti endapan, dan lama-kelamaan berubah menjadi racun.
Tanpa disadari, konflik yang dibiarkan ini bekerja layaknya korosi pada besi. Awalnya hanya tampak pada satu titik, lalu menyebar dan merusak seluruh struktur hingga besi hancur oleh karat. Begitu pula rumah tangga banyak pernikahan yang akhirnya kandas akibat kekerasan dalam rumah tangga atau karena kehadiran orang ketiga. Atmosfer dalam keluarga menjadi toksik. Suami dan istri yang diracuni oleh depresi dan kepahitan akan menularkannya kepada anak-anak.
Keluarga yang seharusnya menjadi tempat perlindungan terakhir, malah berubah menjadi "bara amarah" yang setiap hari memicu polusi spiritual, emosional, dan sosial. Jika sudah sampai di titik ini, maka baik orang tua maupun anak-anak tidak lagi merasa betah tinggal di rumah. Masing-masing akan mencari pelarian, kompensasi semu yang justru memperbesar luka batin.
Oleh sebab itu, agar kasih sayang dalam keluarga tetap terpelihara, perlu ada usaha merawatnya setiap hari. Suami dan istri harus mampu menciptakan atmosfer komunikasi yang sehat dan saling mendukung. Dalam rumah tangga, konflik adalah hal yang wajar. Kita tidak harus menghilangkan konflik hingga titik nol, tetapi kita perlu belajar dewasa dalam menanganinya.
Komunikasi yang terbuka, disertai kerendahan hati untuk menyingkirkan ego dan arogansi, adalah pintu awal menuju rekonsiliasi yang sehat. Masalah harus dipecahkan bersama, bukan menjadi ajang saling menyalahkan.
Anak-anak, dengan segala fase pertumbuhannya, tidak boleh dipandang sebagai beban. Mereka adalah berkat Tuhan yang dititipkan kepada kita. Jangan hanya menuntut anak melakukan hal yang benar, sementara kita sendiri gagal memberi teladan.
Cara paling merusak jati diri anak adalah menghukum saat mereka salah, tetapi tidak menunjukkan solusi atau teladan yang baik. Orang tua seharusnya hadir sebagai pengayom yang penuh kelembutan dan bijak menggunakan otoritas. Bukan sebagai figur otoriter yang keras dan feodal. Sayangnya, banyak dari kita justru cenderung mendisiplinkan anak dengan amarah, bukan dengan kasih.
Disiplin yang seharusnya menjadi alat mendidik, berubah menjadi pelampiasan emosi yang brutal.
Editor : fn