Wacana Sertifikasi Influencer Tuai Kritik: “Pejabat Eks Napi Boleh, Kreator Harus Bersertifikat?”
Ilustrasi (Foto: ist)
Pemerintah Indonesia pelajari regulasi digital baru untuk cegah misinformasi tanpa batasi kebebasan berekspresi.
Sulut24.com - Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sedang mengkaji kebijakan baru pemerintah China yang mewajibkan para pemengaruh atau influencer memiliki sertifikasi untuk membuat konten terkait topik tertentu.
Langkah ini dilakukan untuk melihat kemungkinan penerapan kebijakan serupa di Indonesia dalam menjaga ekosistem digital yang sehat.
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Komdigi, Bonifasius Wahyu Pudjianto, mengatakan pihaknya terus memantau kebijakan digital dari negara lain.
“Kami kaji dulu memang. Kami ada grup WhatsApp, dan sedang membahas bagaimana isu ini. Ada negara yang sudah mengeluarkan kebijakan baru, ini masih kami analisis,” ujarnya, Kamis (30/10) dikutip dari CNN Indonesia.
Bonifasius mencontohkan, Indonesia sebelumnya mengadopsi inspirasi dari Australia dalam melindungi anak di ruang digital melalui Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).
“Kami perlu menjaga, tetapi jangan sampai terlalu mengekang. Kompetensi memang diperlukan agar tidak membuat konten yang salah,” katanya.
Menurutnya, jika kebijakan serupa diterapkan, pemerintah perlu menentukan kriteria yang jelas.
“Kalau perlu (diterapkan), oke, tapi bagaimana? Seperti apa? Kan pasti ada leveling grade. Siapa saja yang harus diatur? Karena sekarang konten kreator sangat banyak,” tambahnya.
Tanggapan terhadap wacana tersebut muncul dari kalangan publik dan pengamat.
Influencer asal Sulawesi Utara, Fredriek Lumalente atau yang dikenal sebagai Didi Roa, menyampaikan kritik melalui akun Facebook pribadinya.
Didi menyoroti potensi ketimpangan kebijakan antara kalangan publik yang diwajibkan memiliki sertifikat untuk berpendapat di ruang digital, sementara sejumlah pejabat yang pernah terjerat kasus hukum terutama korupsi masih bisa menduduki jabatan publik.
“Influencer harus bersertifikat, tapi kalau pejabat boleh eks tahanan? Stop kase kaluar SKCK for pejabat yang so pernah cacat hukum supaya nda lebe rusak ni sistem,” tulisnya.
Sementara itu, analis hukum dan kebijakan dari SAFEnet, Balqis Zakiyah, menilai pemerintah sebaiknya lebih dulu mengatur aktivitas buzzer sebelum menerapkan sertifikasi terhadap influencer.
“Operasi misinformasinya bahkan doxing dan berita bohong, itu munculnya dari akun-akun anonim, buzzer,” ujarnya, Senin (3/11), dikutip dari Katadata.co.id.
Balqis juga memperingatkan risiko pelanggaran privasi bila proses sertifikasi melibatkan data pribadi.
“Kalau nanti proses verifikasi pakai data pribadi, itu mengkhawatirkan, selama data belum dijaga dengan baik oleh pemerintah,” katanya.
Diketahui, mulai 25 Oktober 2025 China mulai menerapkan regulasi baru yang mewajibkan influencer untuk mendapatkan lisensi dalam membahas isu-isu profesional seperti hukum, kesehatan, atau pendidikan.
Langkah tersebut diklaim sebagai upaya menekan penyebaran informasi palsu, namun menuai kritik internasional karena dianggap membatasi kebebasan berekspresi.
Di Indonesia, pemerintah masih menimbang keseimbangan antara perlindungan publik dan kebebasan digital.
Kajian Komdigi terhadap kebijakan luar negeri ini diharapkan menjadi dasar penyusunan strategi tata kelola konten digital yang lebih bertanggung jawab di masa depan. (fn)

