Prinsip Politik Praktis Yang Rasional dan Bermartabat - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Prinsip Politik Praktis Yang Rasional dan Bermartabat

Jerry Fransius Gosal Bambuta (Foto: Dok pribadi)

Oleh: Jerry Bambuta   

Founder Forum Literasi Masyarakat Indonesia


Bagian I  (Point 1-Point 5) 


Sulut24.com, OPINI - Saya sengaja menggunakan kata “rasional” dan “bermartabat” dalam kaitan tema tulisan ini karena saya percaya kewibawaan politik sebagai alat perjuangan rakyat bersumber dari makna mendalam dari kedua kata tersebut. Secara praktis, dalam kelaziman politik yang umum, realitas politik kerap kali berpijak bukan hanya pada obyektifitas yang ideal, independen dan rasional. Polarisasi politik banyak di pengaruh oleh asas kemanfaatan personal atau kelompok tertentu yang seringkali cenderung bersifat subyektif dan transaksional. 

Di mana seringkali kajian-kajian ideal, rasional, obyektif dan independen untuk kepentingan publik bisa saja di abaikan hanya karena prioritas kepentingan personal atau kelompok tertentu. Mereka yang meniti jembatan konsolidasi ke puncak suksesi politik kerap kali tersandera dengan “bargaining kolektif” dengan para faksi-faksi pendukung, baik yang mendukung secara frontal maupun yang bergerak dari balik layar. Belum lagi jika seorang kandidat politik mencapai puncak dengan melibatkan “cukong politik” untuk dukungan logistik politik, kelak saat kontestan pemenang menjabat hanya akan terpasung oleh dikte kepentingan para cukong tadi.

Politik harus bermartabat agar ketika kebrutalan dan kebuasaan pertarungan politik makin menggila, kita masih bisa menemukan “jalan hijrah” yang benar dalam berpolitik. Dinamika dalam gejolak kepentingan politik memiliki volatilitas yang sangat kental setiap saat. Identitas kepentingan yang bersifat pragmatis dan idealis akan saling bergesekan bahkan bertabrakan untuk berusaha mencari titik pusat dari bargaining “win win solution”. 

Kita tidak boleh menjadi naif bermodalkan dengan idealisme utopis melihat realitas politik praktis seperti ini, tapi kita juga harus cerdas, konsisten dan rasional dalam mencermati dinamika politik praktis tanpa harus melacurkan diri di bawah selangkangan pelacuran demokrasi. Dua sisi sikap politik ini harus dengan bijak, elegan dan elastis di kelola oleh para pelaku politik yang memiliki visi untuk menciptakan perubahan holistik melalui politik. Berikut ini saya mencoba menyajikan rangkaian prinsip politik praktis yang rasional dan bermartabat, yaitu:

1. Politik bukan alat untuk berkuasa, tapi jalan untuk mengabdi dan membangun.

Ketika politik hanya di pandang sebatas alat untuk merebut kekuasaan dan mengabaikan esensi politik sebagai jalan untuk mengabdi dan membangun rakyat, maka akan membuat politik kehilangan rasionalitas dan martabat demokrasinya. Distorsi orientasi politik hanya akan fokus pada melanggengkan kekuasaan komplit dengan tentakel oligarki dan kartel-kartelnya yang menggurita. 

Oligarki dan kartel-kartelnya menjadi anak haram demokrasi yang lahir dari perselingkuhan antara para penguasa dan pemilik modal. Kekuasaan akan di monopoli oleh kartel antara penguasa dan pemodal dengan sangat masif dan sistimatis. Secara pasti, kepentingan rakyat akan terabaikan karena konsensus politik dibangun bukan antara penguasa dan rakyat tapi penguasa dan pemodal. Jika situasi ini terjadi, sudah pasti hak masyarakat kecil akan di khianati dan di injak-injak. Kesenjangan sosial akan kian mencolok dan dominasi para pemodal di sektor-sektor publik akan merajalela.

2. Kekuasaan politik bukan tujuan akhir tapi adalah batu loncatan untuk membangun perubahan holistik.

Kekuasaan politik yang di raih dari proses kompetisi politik harus dipahami bukan sebagai tujuan akhir. Kekuasaan politik adalah batu loncatan untuk memanfaatkan poros kekuasaan bagi perubahan holistik dalam masyarakat. Kekuasaan politik wajib memiliki komitmen proteksi terhadap populasi masyarakat akar rumput dalam membangun pemerataan dan kemandirian sosial ekonomi yang adil dan manusiawi. Dalam poros kekuasaan politik, akan selalu ada gerbong-gerbong kepentingan politik yang heterogen dan saling bergesekan satu dengan yang lainnya, baik kepentingan yang bersifat ideal maupun opurtunis, baik kepentingan politik yang bersifat personal maupun kelompok. 

Di tengah kompleksnya gesekan kepentingan politik ini, seorang figur sangat di tuntut memiliki kecakapan dalam manajemen kepentingan politik yang cerdas. Mengelola sisi-sisi kepentingan politik yang opurtunis dan pada saat yang sama mampu mengawal urgensi  dan eksekusi kepentingan publik untuk kesejahteraan rakyat.

3. Mereka yang berani berlaga dalam arena tarung politik harus berani dan siap “selesai dengan dirinya” lebih dulu.

Arena tarung politik selalu menciptakan situasi yang penuh volatilitas sehingga bisa memicu beragam relatifitas yang tidak terduga. Agar perjuangan politik tetap konsisten memiliki “nyawa perjuangan rakyat”, maka seorang figur harus siap untuk selesai dengan dirinya terlebih dahulu. 

Kematangan figur yang bisa melihat visi perjuangan rakyat jauh lebih penting dari kepentingan politik yang sifatnya pribadi atau kelompok. Rasa kecukupan diri sangat dibutuhkan agar sang figur tidak akan tergiur dengan perselingkuhan politik di bawah selangkangan korupsi, kolusi dan nepotisme. Kesiapan untuk selesai dengan diri sendiri juga terkait dengan kompetensi personal yang mumpuni dalam mengelola lokus-lokus kekuasaan untuk menjawab kebutuhan kebijakan publik yang pro rakyat, pro transparasi, pro inovasi dan pro restorasi.

4. Konsolidasi dan kompetisi politik apapun harus meletakan prinsip kemanusiaan di atas segalanya.

Volatilitas politik dalam setiap kompetisi politik banyak kali memicu gesekan politik yang panas. Jika gesekan kepentingan politik ini kian mengganas, maka politik kehilangan martabat demokrasinya karena memicu tumbuh suburnya konlfik horizontal dan balkanisasi identitas yang brutal dalam ruang publik. Isu-isu sensitif bahkan eksplosif beraroma SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) kerap kali sengaja di goreng demi menciptakan polarisasi dukungan politik. Balkanisasi dari politik identitas ini akan menghasilkan residu konflik yang sangat toksin terhadap solidaritas dalam pluralitas kebangsaan. 

Oleh karena itu, terlepas dari segala dinamika politik yang penuh relatifitas dan volatilitas, seorang figur wajib memiliki mindset dan hati seorang negarawan yang akan lebih menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan di atas kompetisi politik. Hal ini di butuhkan agar realitas kompetisi politik berada pada kadar “proporsional” dan tidak menjadi “overdosis” yang sangat destruktif terhadap solidaritas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

5. Saat konsolidasi politik di lakukan, seorang kandidat terikat dengan konstituen. Tapi, saat kandidat berhasil merebut kekuasaan politik harusnya terikat dengan konstitusi.

Konsolidasi politik merupakan gerakan kolektif-heterogen berbasis konstituen (basis pendukung politik), dengan demikian dalam konsolidasinya akan melibatkan konstruksi mesin politik yang solid dan strategis untuk meraih suksesi politik. Konstruksi mesin politik ini secara umum terdiri dari dua kompartemen, yaitu kompartemen dari basis partai politik dan kompartemen dari basis non-partai politik yang memberikan dukungan politik. Lazimnya, simpul-simpul dari konsolidasi dan konstruksi mesin politik ini dibangun secara sukarela perorangan dan ada juga yang melibatkan “bargaining personal dan kolektif” secara mutualistik. 

Yang harus dipahami di sini adalah ketika kandidat bergerak dalam konsolidasi politik di dukung segenap kekuatan politik dari konstituen. Akan tetapi, jika kelak sang kandidat berhasil meraih kemenangan dalam kontestasi politik dan resmi menjabat dalam kekuasaan politik harus berkiblat pada “konstitusi”. Kandidat harus hadir sebagai pemimpin publik yang mengayomi pluralitas sehingga kecakapan mengelola kepentingan konstituen dan konsistensi mengawal konstitusi akan tetap terpelihara. 

Dengan demikian, rekonsiliasi konflik pasca suksesi politik akan reda dan tidak akan menyisakan residu konflik yang akan saling berbalas pantun. Ketika sebuah daerah terjebak dengan gesekan konflik kepentingan politik yang berlebihan, akan selalu membuat laju pembangunan daerah melambat karena sulitnya menciptakan sinkronisasi kepentingan antara internal legislatif dan dan eksekutif. Dan jika balas pantun konflik politik ini kian tidak berujung akan membuat masyarakat akan sangat di rugikan karena lambatnya aktivitas pembangunan deerah. (Editor : fn)

- Bersambung Bagian II (Point 6-Point 9)


Tentang Penulis

Jerry Fransius Gosal Bambuta, hari ini aktif sebagai Leader dari MATCON (Mapalus Tech Construction) yang focus dalam layanan komersil dalam bidang Website Development, Software Development, Rural Network Solutions, IT Security, IT Consulting & Training. Bersama tim MATCON, sejak tahun 2018 telah membangun konsep pendampingan dan optimalisasi penerapan e-government di kawasan Sulawesi Utara dan Indonesia Timur untuk pemerintah tingkat provinsi, kabupaten, kotamadya dan pedesaan. Selain itu juga, berperan aktif sebagai Pembina dalam wadah Forum Literasi Masyarakat (Forlitmas), FORLITMAS adalah sebuah wadah edukatif bagi kalangan pemuda/mahasiswa/profesi yang focus membangun kultur literasi dalam berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat. Dalam bidang socioprenur, aktif dalam inisiasi pemberdayaan masyarakat petani dan nelayan dalam program GENTA SAKTI (Gerakan Pertanian Desa Produktif). Hari ini menetap di Langowan (Kabupaten Minahasa) bersama isterinya yang berprofesi sebagai guru bahasa inggris dan di karuniai tiga orang putra. Email. Jerbam157@gmail.com