MJB Region Sulut Bahas Pernikahan Usia Anak - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

MJB Region Sulut Bahas Pernikahan Usia Anak

Suasana bincang sore Komunitas Marijo Belajar Sulut (Foto: Dok MJB)

Sulut24.com, MANADO - Sulut  peringkat 11 pernikahan usia anak, ungkap Eliana Gloria Halid perwakilan Mitra Muda UNICEF Indonesia pada bincang sore yang digelar 

Komunitas Marijo Belajar (MJB) Region Sulawesi Utara (Sulut)  yang bertemakan "pernikahan usia muda dan kesehatan mental Remaja Putri," berlokasi di Kopico Manado, Jumat (25/02/2022).

"Kita tidak bisa membuat stigma terkait perkawinan di usia anak adalah kecelakaan, yang kita tau bersama  hamil diluar nikah adalah kecelakaan, jauhkan stigma itu," tuturnya.

Eliana kembali menyebutkan permasalahan yang didapatkan ketika dirinya bersama forum anak membedah permasalahan terkait pernikahan di usia anak. "Di Sulut masih terikat kuat dengan namanya budaya, apalagi dalam kehidupan kita sehari-hari, contoh daerah Bolaang ketika ditemukan anak laki-laki dan perempuan berjalan di atas pukul 22.00 Wita(10 Malam) maka dinikahkan lah mereka secara adat, itu realita yang masih melekat di Sulut," jelasnya.

"Sulut menjunjung nilai budaya, dan hal itu yang membuat kami dilema hingga saat ini," ucapnya.

Ia kembali menyentil persoalan yang harus ditangani secara bersama-sama soal kekerasan terhadap perempuan.

"Untuk itu, PR kita adalah  mengubah paradigma yang dimana perlindungan anak itu bukan hanya tanggungjawab pemerintah. Tetapi, menjadi tanggungjawab kita bersama," ujarnya.

"Sejak tahun 2018 saya sering membuat laporan asesmen terkait kekerasan seksual. Apalagi, adanya faktor orang tua jual anak karena faktor ekonomi, itu menurut saya tidak masuk akal. Selain ekonomi, adapun faktor mental. Adapun oknum menyalagunakan kesempatan mental untuk menjadi kepentingan pribadi, atau kelompok," cetusnya.

Lanjutnya, bisa dilihat bahwa sebenarnya perkawinan usia anak  ternyata terjadi adanya ketidaksiapan mental dimana tidak adanya sarana edukasi eklusif secara terbuka untuk mengedukasi tentang apa itu penis, vagina dan bagaimana menggunakan kondom. 

"Kita tidak menyarankan anak-anak bagaimana menggunakan kondom yang baik, tetapi kita bisa memberikan pengetahuan terkait alat kontrasepsi yang selama ini dianggap tabu ternyata itu  berguna. Ada teman saya Duta Genre, secara terbuka kepada saya bahwa dirinya sejak umur 16  aktif dengan namanya seksual, tetapi dirinya tidak hamil," imbuhnya.

"Jika perkawinan dini terjadi yang paling tertekan itu adalah  perempuan, dimana ketika terjadi kehamilan diluar nikah maka banyak stigma yang keluar dari beberapa orang, yang dimana  stigma buruk yang diceritakan," katanya.

Untuk itu baik laki-laki, maupun perempuan harus memaksimalkan dirinya secara individu maupun kelompok. "Kita harus bijaksana ke diri kita sendiri, atau ke orang lain. Mari saling mengingatkan disekitar kita untuk tidak nikah saat usia anak," tambahnya.

Eliana kembali menambahkan, sekali lagi perkawinan usia dini bukan kecelakaan, tetapi gagal dalam mengedukasi. "Kita bisa mengedukasi orang-orang disekitar kita seperti anak-anak, orang tua dan single parent. Perempuan bisa berdiri di kakinya sendiri tanpa harus bantu laki-laki," tambahnya sembari menyebutkan bahwa organisasi yang baik bisa mengurangi resiko perkawinan dini lewat eksien.

Disesi yang bersamaan ketua MJB Region Sulut, Jessica Veronica Tarima ketika diwawancarai mengatakan kegiatan bincang sore dilakukan ketika melihat situasi yang sering terjadi di kalangan anak muda terkait pernikahan usia muda yang mempengaruhi kesehatan mental khususnya perempuan.  

"Topik seperti ini perlu dibahas bersama untuk menambah wawasan anak muda agar dapat saling memberi pengaruh positif. manfaat dari  Bincang sore ini  bisa membuka cara berpikir peserta mengenai  kepedulian untuk mengedukasi diri  perempuan juga memiliki potensi yang setara," terangnya. 

Jessica pun berharap  kedepannya untuk seluruh anak muda agar bisa menyuarakan pandangan mengenai upaya dan pencegahan pernikahan di usia anak untuk tidak dilakukan. 

Diketahui, peserta yang terlibat dalam Bincang Sore sebanyak enam belas orang (16) dari berbagai komunitas yakni MJB pusat,  Garda mencegah dan mengobati, Voice Of Women, DPC GmnI Manado, dan Deliberasi Institute. (fn)