Utopia Meritokrasi dan Ironi Mediokritas Dalam Realitas Birokrasi - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Utopia Meritokrasi dan Ironi Mediokritas Dalam Realitas Birokrasi

Ilustrasi ASN (Foto via infosumbar.net)


Opini Oleh: Jerry F. G. Bambuta

Forum Literasi Masyarakat


Sulut24.com, OPINI - Kaum ASN (Aparatur Sipil Negara) berada pada dua lingkungan, yaitu lingkungan normatif dalam kapasitas abdi negara melalui profesi dan jenjang birokrasi tertentu, dan juga lingkungan transaksional yang ber-koherensi secara langsung dengan hegemoni dalam kekuasaan politik.

Mencermati posisi ASN yang berada pada dua lingkungan yang saya sebut di atas, akan membawa kita melihat sebuah realitas yang ambigu. Mengapa demikian? Dalam kapasitasnya sebagai abdi negara, melalui UU ASN diwajibkan independen dari segala kepentingan politik. Tapi, dalam realitas praktisnya, secara senyap (bahkan ada yang frontal) tak bisa di pungkiri kiprah ASN yang bersimbiosis dengan tawar menawar dalam kepentingan politik.

Jargon-jargon pemerintah pusat sering menyuarakan urgensi penerapan "good and clean governance". Dimana tata kelola birokrasi harus profesional, inovatif dan memiliki kredibilitas. Dan untuk mewujudkan hal tersebut mutlak mendorong terciptanya kultur birokrasi berbasis meritokrasi.

Secara sederhana, meritokrasi adalah sistem kepemimpinan berdasarkan kualitas kinerja dan prestasi individual. Dengan kata lain, penempatan posisi birokrasi benar-benar "konsekuen" dengan kapasitas dan kompetensi birokrasi yang teruji. Hanya dengan komitmen konsisten membangun kultur meritokrasi, maka reformasi sistem birokrasi akan menciptakan "good and clean governance" yang konsekuen dan membumi.

Sayangnya, retorika tentang idealnya kultur meritokrasi malahan sering berakhir sebatas wacana yang impoten alias utopia. Mengapa? Karena dominasi hegemoni politik dalam lingkungan ASN sangat kuat. ASN di sandera melalui beragam intimidasi atau di rangkul mesra melalui "bargaining politic" menggiurkan. Independensi ASN hanya menjadi "pepesan kosong", karena akhirnya para ASN di indoktrinasi menjadi mesin suksesi politik.

Akibatnya, pasca kubu yang menang suksesi politik, penempatan ASN tak lagi melalui penjaringan berbasis kompetensi (meritokrasi), karena penjaringan akan di kalkulasi berdasarkan balas jasa politik. Tak heran, jika pada akhirnya, kualitas "isi kepala" akan di pecundangi oleh representasi dari "jumlah kepala". Cita-cita "good and clean governance" hanyalah menjadi dialektika seremonial di berbagai forum pra-jabatan atau bimbingan teknis birokrasi.

Yang akan tercipta bukanlah kultur meritokrasi tapi sistem birokrasi yang kental dengan mentalitas mediokritas. Secara sederhana, mediokritas adalah gambaran kualitas kinerja birokrasi yang biasa-biasa. Mediokritas dalam birokrasi akan memberangus daya profesionalisme, integritas dan inovasi dalam tata kelola birokrasi. Dan jika hal tersebut terjadi, praktek korupsi, kolusi dan nepotisme sudah pasti akan merajalela.

Realitas utopia meritokrasi dan ironi mediokritas adalah ambiguitas yang sekian lama menjadi "pasung"bagi ASN. Saya enggan untuk naif dengan mengurai hal ini. Karena apa yang saya urai adalah realitas tak terbantahkan di depan mata kita sendiri. Kita harus rasional tanpa harus menjadi apriori, dan pada saat yang sama, kita juga harus tetap optimis terhadap proses perubahan tanpa terjebak dalam pemikiran yang utopis.

Dalam beberapa ruang diskusi non formal waktu lalu, ada senior yang memantik sebuah wacana solusi menjawab ambiguitas ini. Populasi ASN secara nasional cukup banyak mencapai 4,28 juta orang (menurut data dari katadata per semester I 2023). Angka yang sangat besar jika di akumulasi sebagai "basis pemilih". Jika 1 orang saja ASN bisa pengaruhi 2 orang pemilih, maka akumulasi dari agitasi politik melalui ASN cukup signifikan memompa basis politik potensial.

Rezim demi rezim bisa berganti, tapi jika dominasi dan hegemoni politik via ASN masih terjadi, maka sampai kapan pun akan membuat tata kelola birokrasi kita tetap terpuruk. Oleh karena itu, waktu lalu ada sempalan solutif agak sedikit "nyeleneh" terhadap realitas ambiguitas ASN ini. Yaitu dengan me-wacanakan untuk melenyapkan hak suara ASN dalam setiap kontestasi politik. Dengan harapan, ASN tak lagi punya "pelana" bagi penguasa yang ingin menunggangi ASN sebagai tunggangan politik.

Pemikiran "nyeleneh" ini baru sebatas cakap-cakap ringan sedikit bumbu kelakar. Mana tahu dari petikan gagasan ini bisa memberi catatan kecil untuk di gali lebih dalam. Agar supaya sistem birokrasi nasional benar-benar konsekuan dalam komitmen untuk menciptakan "good and clean governance".