Mencermati Dinamika Politik Melalui Pilkada Kawasan Nusa Utara - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Mencermati Dinamika Politik Melalui Pilkada Kawasan Nusa Utara

Ilustrasi pilkada (Foto: merdeka.com via liputan6.com)


Opini oleh: Jerry F. G. Bambuta
Forum Literasi Masyarakat


Sulut24.com, OPINI - Kabupaten Sangihe, Kabupaten Talaud dan kabupaten Sitaro adalah wilayah kolektif di perbatasan Nusa Utara, ketiganya ikut meramaikan pilkada serentak dalam ruang demokrasi Indonesia di tahun 2024. Meski sudah berdiri sebagai kabupaten otonom, ketiga wilayah tersebut memiliki koherensi secara sosio kultur yang erat. 

Di sisi lainnya, dalam momentum kontestasi politik, rumpun keluarga yang cukup erat terjalin kerap terperangkap antara "rumah kolektivitas" atau "medan pertempuran" politik yang sengit.

Sosio kultur yang sangat koheren dan rumpun keluarga yang erat terjalin membuat kawasan Nusa Utara menarik disimak dalam konteks dinamika politik pilkada serentak. 

Kawasan Nusa Utara di kenal kaya dengan tradisi dan filosofi kearifan lokal. Simbol-simbol kultural tersebut diyakini bisa menjadi simbol perekat terhadap heterogonitas masyarakat kawasan Nusa Utara.

Percaya atau tidak, sadar atau tidak, di setiap momentum kontestasi politik, simbol-simbol kultural ini tak luput dijadikan "instrumen polarisasi" politik. Akibatnya, simbol kultural yang harusnya menjadi perekat kolektivitas, malah memicu segregasi karena adanya pembelahan kepentingan politik. 

Konsekuensi keretakan sosial dan ambruknya silahturahmi kekeluargaan tak terelakan terjadi. Konsolidasi politik melalui cara populis kerap sulit membedakan antara identitas original ataukah hanya polesan penuh kamuflase.

Bukan hanya cara populis, tak tanggung-tanggung, konsolidasi politik melalui cara provokatif tak segan untuk dilakukan. Tak perlu naif, kondisi ini sudah menjadi hal lazim dalam tradisi kontestasi politik. Yang harus dijaga adalah masyarakat kita wajib kritis agar tak di racuni dengan sentimentalitas yang toksik. Provokasi spirit primordialistik kerap harus di bangun agar politik identitas bisa dengan anggun melenggang di atas panggung politik lokal.

Tak disadari awam, dibalik sesungging senyum anggun dari praktek politik identitas tersimpan taring yang siap mencabik-cabik jalinan silahturahmi. Ketika spirit primordialis di gumpalkan dan politik identitas di gembosi, maka jangan heran jika "sentimen" akan menebal ketimbang konstruksi "argumen" yang rasional. 

Dengan kondisi tersebut, skenario apologi politik akan dengan leluasa menebar pembodohan publik. Masyarakat awam yang minim literasi akan lebih cepat menggunakan "jempolnya" di media sosial ketimbang menggunakan "nalarnya" lebih dulu.

Eksploitasi dan sentralisasi isu untuk pembunuhan karakter terhadap lawan politik adalah halal untuk dilakukan. Kebrutalan ini harus diakui telah menjadi drama politik yang tak bisa dipungkiri. Sosok biang kerok memoles dirinya agar bisa hadir dengan sosok pahlawan. Dan, mereka yang merangkak dari bawah untuk meniti jalan perubahan, dikriminalisasi sebagai "common enemy" yang harus dihabisi. Suka atau tidak, demikianlah ganasnya dari pertarungan politik.

Bukan hanya simbol kultural, simbol religius pun tak luput di jadikan "pelana" bagi tunggangan politik. Simbol religius yang harusnya merangkul berpotensi menjadi "alat pemukul" yang samar terhadap lawan politik. 

Sungguh ironis dan tragis, saya menggores narasi ini agak kesadaran kritis kita tak mati suri dalam pembodohan dan apriori yang akut. 

Realitas politik akan selalu penuh polusi sentimen dan polemik, organ paru-paru dari kewarasan logika kita tak boleh keracunan dengan polusi mematikan tersebut.

Siklus diatas selalu "tayang ulang" disetiap musim demokrasi, akibatnya pasca suksesi politik akan selalu meninggalkan residu konflik yang tak tuntas. Residu konflik yang akhirnya menciptakan monster bernama "kesumat politik".
 
Kesumat politik tersebut tak bedanya dengan "keris empu gandring" yang selalu meminta tumbal di setiap kali rezim berganti. Menarik untuk kita simak bersama, apakah pasca pilkada 2024 di kawasan Nusa Utara kali ini, kutukan "keris empu gandring" ini akan berakhir ataukah masih akan berlanjut pada episode berdarah selanjutnya.

Siapa pun yang kelak didaulat rakyat sebagai pemangku kekuasaan disetiap kabupaten Nusa Utara, harus bisa menciptakan rekonsiliasi agar luka-luka segregasi politik di atas bisa disembuhkan. 

Roda pemerintahan sebagai penggerak kebijakan publik akan melambat jika terlalu gaduh dengan konflik politik. Kepentingan masyarakat akan keadilan, kesejahteraan dan kemandirian akhirnya terabaikan. Sesama elit dalam lingkar kekuasaan hanya sibuk saling cakar dan jambak demi saling rebutan kue kekuasaan.