Dosen ASN Tak Kunjung Terima Tukin, Mahasiswa Hadapi Ancaman Kenaikan UKT - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Dosen ASN Tak Kunjung Terima Tukin, Mahasiswa Hadapi Ancaman Kenaikan UKT


Dosen ASN dari kampus Unsrat dan Unima yang tergabung dalam ADAKSI saat menggelar aksi untuk menuntut pemerintah agar segera merealisasikan pembayaran Tukin (Foto: Sulut24/fn)

Sulut24.com, MANADO - Kelambanan pemerintah dalam merealisasikan tunjangan kinerja (Tukin) bagi dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) kembali menuai kritik tajam. Sejak 2020, ribuan dosen di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) belum menerima hak mereka, akibat lambannya proses regulasi di Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknolog yang saat berubah menjadi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. 

Kondisi ini tidak hanya menurunkan kesejahteraan dosen, tetapi juga berdampak serius pada kualitas pendidikan tinggi dan mahasiswa di Indonesia.

Dalam aksi dari ratusan dosen di Sulawesi Utara yang tergabung dalam Aliansi Dosen ASN Kemendiktisaintek Seluruh Indonesia (ADAKSI) yang digelar di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado beberapa waktu lalu, para dosen menuntut pemerintah segera menyelesaikan regulasi yang menghambat pembayaran Tukin. Eugenius Paransi, dosen hukum Unsrat, menegaskan bahwa hak dosen ASN untuk menerima Tukin telah ditetapkan dalam regulasi yang disetujui DPR. Namun, hingga kini pemerintah dianggap abai dalam menindaklanjuti peraturan tersebut.

"Perubahan nomenklatur kementerian dan lambatnya pengajuan Perpres menjadi penghambat utama. Kementerian seharusnya segera mengajukan rancangan regulasi ke Kemenkumham dan mengeluarkan peraturan menteri sebagai dasar hukum sementara agar pembayaran Tukin dapat dipercepat," kata Paransi.

Dampak dari keterlambatan ini tidak hanya dirasakan oleh dosen, tetapi juga oleh mahasiswa dan dunia akademik secara keseluruhan. Ferdy Roring, dosen Fakultas Ekonomi Unsrat, mengingatkan bahwa tanpa kepastian tunjangan, semangat dan motivasi dosen untuk mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat semakin menurun. Hal ini dapat menghambat daya saing pendidikan tinggi Indonesia di kancah global.

"Visi Indonesia Emas 2045 menargetkan kita menjadi kekuatan ekonomi terbesar di Asia, tetapi bagaimana kita bisa mencapainya jika sektor pendidikan dibiarkan tertinggal? Tanpa kesejahteraan dosen, kualitas riset dan pembelajaran akan merosot, sehingga generasi muda kehilangan peluang untuk bersaing di tingkat internasional," tegas Roring.

Tak hanya itu, ketidakjelasan regulasi juga berdampak pada biaya pendidikan. Nikolas Fajar, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Manado (Unima), menjelaskan bahwa ketiadaan Tukin membuat perguruan tinggi harus menggunakan anggaran lain, termasuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), untuk menutupi biaya remunerasi dosen. Akibatnya, mahasiswa harus menanggung beban biaya kuliah yang lebih tinggi.

"Jika Tukin dari APBN bisa segera direalisasikan, PTN tidak perlu lagi menekan mahasiswa dengan biaya kuliah yang tinggi. Ini akan membuka peluang bagi mahasiswa dari kalangan ekonomi lemah untuk mendapatkan pendidikan yang lebih terjangkau," ujarnya.

Para dosen menegaskan bahwa kelalaian ini mencerminkan ketidakadilan yang nyata di sektor pendidikan tinggi. Sementara pegawai di kementerian lain telah menerima Tukin secara penuh, dosen ASN di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi masih harus menunggu tanpa kepastian. Oleh karena itu, mereka mendesak pemerintah segera memperbaiki regulasi agar pembayaran Tukin dapat dilakukan paling lambat pada tahun anggaran 2025.

Mereka juga menuntut agar tunjangan diberikan secara penuh tanpa mengurangi hak lainnya, serta mencakup semua dosen ASN, baik di PTN, badan layanan umum, satuan kerja, maupun perguruan tinggi swasta (PTS).

Jika pemerintah tetap mengabaikan tuntutan ini, dikhawatirkan dampak negatifnya akan semakin meluas. Pendidikan tinggi akan kehilangan daya saing, kesejahteraan dosen semakin terpuruk, dan mahasiswa terus dibebani dengan biaya kuliah yang tidak sebanding dengan kualitas pendidikan yang mereka terima.

Pendidikan dinilai merupakan investasi jangka panjang untuk kemajuan bangsa. Jika pemerintah terus mengabaikan hak dosen, bukan hanya merugikan tenaga pendidik, tetapi juga berpotensi menghancurkan masa depan generasi muda Indonesia. (fn)