RUU TNI Disahkan, PMKRI Manado Soroti Ancaman Dominasi Militer dalam Pemerintahan - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

RUU TNI Disahkan, PMKRI Manado Soroti Ancaman Dominasi Militer dalam Pemerintahan

Presidium Gerakan Kemasyarakatan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Manado saat melakukan kajian terkait revisi UU TNI (Foto: dok PMKRI Cabang Manado)

Sulut24.com, MANADO - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam rapat paripurna yang digelar pada Kamis, 20 Maret 2025. Keputusan ini menuai kritik dari berbagai kalangan, terutama terkait sejumlah pasal yang dinilai membuka peluang bagi militer untuk kembali mendominasi pemerintahan dan sektor sipil.

Presidium Gerakan Kemasyarakatan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Manado, Mikhael Umboh, menyoroti beberapa poin dalam RUU TNI yang berpotensi melemahkan supremasi sipil dan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI yang telah dihapus sejak era reformasi.

Salah satu pasal yang menuai kontroversi adalah Pasal 47 Ayat (2), yang memungkinkan perwira TNI aktif untuk menduduki jabatan di 14 kementerian dan lembaga negara, termasuk di bidang politik, keamanan, dan hukum. Sebelumnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, prajurit TNI harus mengundurkan diri atau pensiun sebelum dapat menjabat di instansi sipil.

“Kami melihat adanya upaya sistematis untuk mengembalikan peran dominan militer dalam pemerintahan. Hal ini mengkhawatirkan karena akan mengaburkan batas antara ranah sipil dan militer,” ujar Mikhael Umboh melalui rilis pers yang dikirim kepada media ini Senin (24/3/2025). 

Selain itu, Pasal 3 Ayat (2) dalam RUU TNI juga menjadi sorotan, di mana kebijakan strategis pertahanan berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan. Perubahan ini dikhawatirkan dapat menggeser posisi Presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI dan menimbulkan ketimpangan dalam struktur komando militer.

RUU TNI yang baru juga mengatur perpanjangan usia pensiun prajurit hingga 62 tahun, sebagaimana tertuang dalam Pasal 53. Hal ini berpotensi memperlambat regenerasi di tubuh TNI dan memperpanjang dominasi perwira tinggi dalam jabatan sipil. Mikhael Umboh mengingatkan bahwa praktik serupa pernah terjadi di masa Orde Baru, di mana banyak posisi strategis dalam pemerintahan diisi oleh personel militer, menghambat partisipasi masyarakat sipil dalam proses demokrasi.

“Jika militer terlalu dalam terlibat dalam pemerintahan, kita bisa mengalami kemunduran demokrasi. Pengambilan keputusan akan bersifat hierarkis, tidak partisipatif, dan lebih mengutamakan pendekatan keamanan dibanding kesejahteraan masyarakat,” tambah Mikhael.

Mikhael Umboh juga menyinggung sejarah kelam di masa Orde Baru, di mana pelibatan militer dalam politik berujung pada berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM), seperti penculikan aktivis dan tindakan represif terhadap masyarakat sipil. Ia menekankan pentingnya supremasi sipil dalam sistem demokrasi untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum yang adil.

“RUU ini membuka celah bagi TNI untuk kembali berperan sebagai aktor utama dalam politik. Padahal, dalam sistem demokrasi yang sehat, militer harus tunduk pada kendali sipil dan hanya berfungsi sebagai alat pertahanan negara,” tegasnya.

Sebagai respons terhadap pengesahan RUU TNI, PMKRI dan berbagai elemen masyarakat sipil mendesak pemerintah dan DPR RI untuk segera meninjau kembali pasal-pasal yang berpotensi melemahkan supremasi sipil. Mikhael Umboh juga menegaskan perlunya pengawasan ketat terhadap implementasi undang-undang ini agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu.

“Kami mendesak agar pemerintah mendengar aspirasi masyarakat dan memastikan bahwa kebijakan ini tidak menjadi langkah mundur bagi demokrasi Indonesia,” tutup Presidium Gerakan Kemasyarakatan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Manado. (fn)