The Distance Between Us
Cerpen - Andre adalah tipe pria yang tidak banyak bicara. Ia memang tidak perlu. Kehadirannya yang tenang sering kali berbicara lebih lantang daripada kata-kata. Ia telah bekerja selama beberapa tahun di sebuah perusahaan konstruksi di Bandung, membangun bukan hanya gedung—tapi diam-diam juga membangun mimpinya untuk menjadi arsitek terkenal.
Saat itulah Jesicca hadir dalam hidupnya.
Jesicca, seorang jurnalis yang tajam dalam berbicara, namun tetap menyimpan misteri. Jesicca punya cara tersenyum yang membuat orang bertanya-tanya apa yang sebenarnya ia pikirkan. Andre bertemu dengannya saat peliputan proyek pembangunan yang sedang ia tangani. Sejak mereka bertukar sapa pertama kali, ada sesuatu yang berbeda dalam hati Andre.
Awalnya, interaksi mereka bersifat profesional. Andre mengantar Jesicca keliling lokasi konstruksi, menjelaskan istilah teknis dengan sabar, dan menjawab semua pertanyaannya dengan nada tenang. Tapi seiring waktu, pertemuan mereka berkembang—dari urusan kerja, menjadi kopi setelah wawancara, jalan-jalan singkat, dan obrolan ringan yang lama-lama jadi dalam.
Andre mulai menanti-nantikan pesan dari Jesicca. Ia senang saat diajak menemani Jesicca meliput, bahkan jika itu hanya duduk diam menunggunya menulis artikel di sebuah kafe. Baginya, cukup berada di dekatnya saja sudah berarti.
Setiap momen kecil bersama Jesicca terasa seperti potongan mimpi yang tidak ingin ia akhiri. Seperti saat mereka duduk di tepi pantai, memandang lampu kapal di kejauhan. Jesicca bercerita tentang keinginannya menulis buku suatu hari nanti. Andre hanya mendengarkan, sesekali tersenyum, tapi di dalam hatinya, ia mulai berharap bahwa mungkin, suatu hari, ia bisa menjadi bagian dari hidup Jesicca yang lebih dalam.
Namun, beberapa minggu kemudian, semuanya mulai berubah.
Balasan pesan dari Jesicca mulai lambat. Beberapa hari berlalu tanpa jawaban. Undangan untuk bertemu dijawab dengan, “Maaf, lagi sibuk banget” atau “Minggu depan saja ya?” Kehadirannya perlahan menghilang, seperti gema dari lagu favorit yang mulai memudar.
Andre tidak memaksa. Ia bukan tipe yang menuntut perhatian. Tapi setiap pesan yang tak dibalas terasa sedikit lebih menyakitkan dari sebelumnya. Ia mengulang-ulang percakapan mereka di kepalanya, mencoba mencari tahu apa yang salah. Mungkin ia terlalu pendiam. Mungkin harusnya ia lebih banyak bicara. Atau... mungkin Jesicca memang tidak merasakan hal yang sama.
Ia masih menemani Jesicca beberapa kali, namun suasananya berbeda. Jesicca tampak jauh. Bahkan senyumnya kini terasa asing. Pernah suatu hari, saat mereka duduk di sebuah kafe kecil di pusat kota, Jesicca terus menatap ponselnya, sesekali tersenyum kecil, tapi bukan untuk Andre. Ia tahu itu, dan itu cukup untuk membuat hatinya mengecil.
Suatu malam yang diguyur hujan, Andre duduk di apartemennya. Suara rintik hujan terdengar pelan di jendela. Ia menatap layar ponselnya, nama Jesicca masih berada di atas percakapan yang tak kunjung dibalas. Dengan napas panjang, ia mengetik pesan terakhir:
"Hai Jesicca, aku cuma mau bilang terima kasih—untuk waktu yang sudah kita lewati, cerita-cerita, jalan-jalan, dan tawa yang pernah ada. Semoga kamu menemukan seseorang yang bisa mendukung mimpimu seperti yang kamu butuhkan. Jaga diri baik-baik."
Ia tekan tombol kirim, meletakkan ponsel, dan membiarkan keheningan memenuhi ruangan.
Keesokan paginya, Andre datang lebih pagi ke proyek. Ia memeriksa gambar kerja, mengecek bahan bangunan, berdiskusi dengan tim dengan semangat baru. Ada kejernihan dalam melepaskan. Tapi sesekali, pikirannya masih melayang pada Jesicca. Bukan lagi dengan harapan, tapi dengan rasa ikhlas yang baru lahir.
Malam itu, ia membuka kembali buku sketsanya dan mulai menggambar—hal yang sudah lama tidak ia lakukan. Ia tuangkan segala perasaannya dalam garis-garis desain, sesuatu yang berani dan indah. Ia menggambar sebuah rumah kecil dengan taman dan jendela besar yang menghadap laut. Dalam benaknya, ia membayangkan seseorang duduk di dalam rumah itu, membaca buku sambil sesekali tersenyum. Mungkin Jesicca. Mungkin seseorang lain di masa depan. Tapi yang jelas, rumah itu adalah simbol dari hatinya yang sedang ia bangun kembali.
Beberapa bulan berlalu. Andre tetap sibuk dengan proyek-proyeknya, kini lebih fokus dari sebelumnya. Ia mulai dikenal sebagai sosok muda berbakat di dunia konstruksi lokal. Ia juga mulai menulis blog arsitektur, membagikan ide dan visinya, dan ternyata, banyak yang membaca.
Suatu sore, saat ia sedang menikmati kopi sendirian di sebuah kafe baru, seseorang menepuk pundaknya. Ia menoleh. Jesicca berdiri di sana, masih dengan senyum yang sama, namun mata yang tampak lebih lelah dari terakhir kali mereka bertemu.
"Boleh duduk?" tanyanya pelan.
Andre mengangguk. Mereka duduk dalam diam sejenak, sebelum Jesicca berkata, "Aku baca blog kamu. Keren banget. Kamu berkembang pesat, ya."
"Terima kasih," jawab Andre, singkat.
Mereka berbincang sebentar, tentang pekerjaan, tentang cuaca, tentang hal-hal ringan. Tapi Andre tahu, ini bukan awal kembali. Ini adalah pertemuan dua orang yang pernah saling mengisi, dan kini sedang belajar melepaskan.
Saat Jesicca pamit, ia sempat menatap Andre dalam-dalam dan berkata, "Terima kasih dulu sudah sabar sama aku. Kamu orang baik, Andre."
Andre hanya tersenyum. Dalam hatinya, ia merasa damai.
Ia tidak hanya akan membangun gedung. Ia akan membangun dirinya kembali—lebih kuat, lebih jelas, dan lebih bebas. Dan itu sudah ia mulai, sejak hari ia memilih untuk berhenti mengejar seseorang, dan mulai mengejar dirinya sendiri.