Pasal Kontroversial UU BUMN, Direksi Bukan Penyelenggara Negara, LSM RAKO: Ini Cacat Konstitusi - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Pasal Kontroversial UU BUMN, Direksi Bukan Penyelenggara Negara, LSM RAKO: Ini Cacat Konstitusi

Ilustrasi (Foto: ist)

UU Nomor 1 Tahun 2025 picu perdebatan publik. Pasal 9G yang menyebut Direksi BUMN bukan penyelenggara negara dinilai bertentangan dengan semangat transparansi dan akuntabilitas keuangan negara.

Sulut24.com, MANADO - Sebuah pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menuai sorotan tajam dari publik dan pengamat kebijakan.

Dalam Pasal 9G UU tersebut secara eksplisit disebutkan bahwa “Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.” Pernyataan hukum ini menjadi kontroversial karena menyentuh aspek fundamental tata kelola keuangan negara.

Ketua LSM Rakyat Anti Korupsi (RAKO), Harianto Nanga, dalam keterangannya kepada Sulut24.com menyatakan bahwa pasal ini berpotensi melemahkan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik. Menurutnya, pasal tersebut bahkan bisa dikatakan cacat secara konstitusional.

“Jika mereka (Direksi BUMN) bukan penyelenggara negara, maka di mana posisi tanggung jawab mereka atas pengelolaan keuangan negara? Ini bisa menjadi celah hukum yang menghilangkan hak dan kewajiban penting, termasuk kewajiban mempertanggungjawabkan keuangan negara,” tegas Harianto, Jumat (9/5). 

LSM RAKO menyoroti adanya pertentangan langsung antara Pasal 9G dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pada Pasal 3, UU ini mengamanatkan bahwa “Pengelolaan keuangan negara dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab.”

Lebih lanjut, Pasal 6 UU yang sama menegaskan bahwa Presiden sebagai Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara.

“BUMN itu mengelola dana negara. Jadi, bagaimana mungkin direksinya tidak termasuk dalam penyelenggara negara? Ini melemahkan konsep pertanggungjawaban publik,” ujar Harianto. 

UU Nomor 1 Tahun 2025 merupakan perubahan ketiga atas UU BUMN yang telah mengalami revisi sejak 2003. Pemerintah menyebut pembaruan ini sebagai langkah modernisasi dan penyelarasan BUMN dengan prinsip korporasi global.

Namun, sejumlah pihak melihat adanya potensi moral hazard. Dengan tidak dimasukkannya Direksi dan Komisaris sebagai penyelenggara negara, maka aspek pengawasan publik melalui lembaga negara dapat tereduksi.

“Kalau bukan penyelenggara negara, maka gaji, fasilitas negara, dan kewajiban hukum mereka jadi kabur. Ini berbahaya untuk demokrasi dan prinsip good governance,” katanya. 

LSM RAKO mendorong DPR RI dan Mahkamah Konstitusi untuk segera melakukan evaluasi terhadap pasal tersebut. Mereka menganggap perlu adanya judicial review untuk memastikan seluruh aturan dalam UU BUMN sejalan dengan konstitusi dan UU lainnya.

“Kami tengah menyiapkan langkah hukum untuk melakukan uji materiil. Negara ini tidak boleh dikelola berdasarkan pasal-pasal yang melemahkan pengawasan publik,” pungkas Harianto. (fn)