Brigade Nusa Utara Indonesia: Suara Rindu dari Tanah Leluhur - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Brigade Nusa Utara Indonesia: Suara Rindu dari Tanah Leluhur

Alpianus Tempongbuka, Sekretaris Jenderal BNUI

Melawan Lupa: BNUI Bangkitkan Bahasa Ibu dan Tradisi Leluhur Masyarakat Nusa Utara di Manado.

Sulut24.com, MANADO – Di balik gemerlap Kota Manado, tersimpan kerinduan yang tak pernah padam dari anak-anak perantauan asal Nusa Utara. Rindu akan tanah kelahiran, akan bahasa ibu yang perlahan terlupa, serta warisan budaya yang nyaris tenggelam di antara hiruk pikuk modernisasi.

Kerinduan itu kemudian menjelma dalam sebuah gerakan bernama Brigade Nusa Utara Indonesia (BNUI) sebuah organisasi yang lahir dari semangat warga Nusa Utara yang telah lama bermukim di Manado dan sekitarnya.

“Ini bukan sekadar organisasi, tapi panggilan hati. Kami ingin menghidupkan kembali jati diri orang Nusa Utara yang semakin kabur,” ungkap Alpianus Tempongbuka, Sekretaris Jenderal BNUI.

Ketika Bahasa Ibu Mulai Terlupa

Nusa Utara, yang terdiri dari tiga kabupaten Kepulauan Sangihe, Talaud, dan Sitaro memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Sayangnya, di tengah arus perantauan dan modernisasi, banyak generasi muda mulai kehilangan identitas mereka.

“Bahasa Sanger, misalnya, sudah jarang terdengar di antara anak-anak kami. Padahal itu adalah warisan yang sangat berharga,” tutur Alpianus.

Lewat BNUI, upaya pelestarian pun dimulai dari hal-hal kecil: berkumpul, berbagi cerita, hingga menciptakan ruang-ruang belajar budaya secara informal bagi generasi muda.

Dari Tuduhan Premanisme ke Aksi Kemanusiaan

Tak sedikit yang menilai miring organisasi ini mengaitkannya dengan premanisme. Namun di balik tudingan itu, BNUI terus menunjukkan jati diri sejatinya sebagai gerakan humanis dan sosial.

“Membagikan sembako, membantu warga dalam kesulitan hukum, atau hadir di tengah krisis itulah yang kami lakukan. Tapi kami tak suka mengumbar itu di media sosial,” jelasnya.

Beberapa aksi nyata BNUI seperti mengawal kasus anak yang jatuh dari hotel Swiss-Bel di Manado, hingga mendampingi nelayan kecil di Bitung, menjadi bukti bahwa organisasi ini berdiri untuk keadilan dan kemanusiaan.

Menjaga Kearifan, Merawat Keyakinan

Kini, BNUI bergerak lebih jauh. Mereka menulis, mendokumentasikan, dan menyuarakan kearifan lokal yang hampir hilang. Mulai dari cerita batu keramat, pepohonan sakral, hingga mata air yang diyakini menjadi tempat ibadah nenek moyang.

“Mungkin ada yang menganggap ini tak sesuai zaman. Tapi inilah identitas kami. Ini bukan soal menyembah batu, tapi bagaimana orang dulu menjaga alam dan spiritualitasnya,” ujarnya.

Uniknya, sebagian warga yang menjaga tradisi itu kini beragama Islam atau Kristen. Mereka menjadikan lokasi-lokasi sakral bukan sebagai objek penyembahan, melainkan ruang spiritual yang penuh makna.

Hampir semua tempat tersebut terletak di lokasi yang asri, dekat mata air menandakan betapa leluhur mereka begitu menghormati alam.

“Masyarakat Sangihe di zaman dahulu punya cara sendiri menjaga ekosistem. Mereka sadar, air adalah kehidupan.” kata Alpianus Tempongbuka

BNUI: Menjaga yang Tersisa, Merawat yang Terlupa

Brigade Nusa Utara bukan sekadar organisasi. Ia adalah gema rindu, seruan hati, dan tangan yang bekerja diam-diam demi menjaga warisan nenek moyang. Di tengah dunia yang terus berubah, BNUI mengingatkan bahwa ada nilai-nilai lama yang patut dijaga, bukan ditinggalkan.

Mereka tak menuntut pengakuan. Yang mereka butuhkan hanyalah kesempatan untuk terus berbicara, menulis, bergerak, dan menjaga jati diri orang Nusa Utara. (fn)