Kopral Terus Perjuangkan Hak Atas Lahan Loreng yang Diklaim Pemkot Manado
Ketua Eksekutif Wilayah Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EW-LMND) Sulut, Alpianus Tempongbuka saat menyampaikan pandangan dan kritik kepada pihak pemerintah (Foto: Sulut24/fn)
Kelompok Kopral mempertanyakan klaim aset Pemkot atas lahan yang telah digarap warga sejak 1976, sementara pemerintah menyatakan kepemilikan sah tercatat di KIP.
Sulut24.com, MANADO - Perselisihan antara masyarakat yang tergabung dalam Komite Perjuangan Rakyat Loreng (Kopral) dan Pemerintah Kota Manado terkait kepemilikan lahan seluas 15 hektar di kawasan Loreng, terus berlanjut tanpa solusi. Warga yang telah menempati dan menggarap lahan tersebut selama puluhan tahun menolak klaim kepemilikan oleh Pemkot Manado.
Perdebatan ini mencuat setelah perwakilan Kopral mendatangi Kantor Wali Kota Manado pada 16 Oktober 2025 untuk meminta kejelasan status tanah. Sebelumnya, kelompok tersebut telah menggelar pertemuan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manado pada 22 Juli 2025.
“Mengapa tiba-tiba terdapat aset Pemerintah Kota di lahan tersebut? Kami selaku perwakilan penggarap sejak masa Puskopad tidak pernah mendapat informasi bahwa lahan itu merupakan aset Pemkot,” kata Kisman Maniku, perwakilan Kopral pada pertemuan tersebut.
Perwakilan lain, Sam Patras, mengatakan masyarakat telah menempati lahan sejak 1976 dan baru mengetahui adanya klaim aset Pemkot pada 2021 setelah papan tanda kepemilikan dipasang di lokasi.
“BPN menjelaskan bahwa lahan itu masih sebatas permohonan dari Pemkot,” ujarnya.
Ketua Eksekutif Wilayah Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EW-LMND) Sulut, Alpianus Tempongbuka, menambahkan bahwa sejumlah warga telah menerima sertifikat dari BPN. Namun, sertifikat itu belum diserahkan karena adanya klaim Pemkot atas tanah tersebut.
“Hingga kini masyarakat belum mendapat informasi dan dasar hukum yang jelas atas klaim kepemilikan lahan oleh Pemkot Manado. Sertifikat kepemilikan oleh pemerintah pun belum pernah ditunjukkan,” kata Alpianus.
Menanggapi hal itu, Kepala Badan Kesbangpol Kota Manado Sonny Takumansang menjelaskan bahwa lahan dimaksud merupakan tanah eks HGU yang terbagi atas tiga bagian dan salah satunya aset Pemkot Manado yang saat ini ditempati warga.
“Kepemilikan lahan oleh pemerintah dinyatakan sah dan telah tercatat di KIP. Meski demikian, Pemkot Manado terbuka atas masukan dan kritik masyarakat,” ujar Takumansang.
Asisten I Pemkot Manado Julises Oehlers menegaskan bahwa tanah di Loreng telah tercatat sebagai aset Pemkot dalam sistem KIP.
“Jika terjadi sengketa, maka penyelesaiannya harus melalui prosedur yang berlaku,” katanya, sambil menambahkan bahwa pemerintah akan membahas solusi atas persoalan ini.
Namun, Alpianus menilai penjelasan tersebut keliru. Menurutnya, setelah masa berlaku HGU berakhir, status lahan seharusnya menjadi tanah bebas dan tidak otomatis menjadi aset pemerintah daerah.
“Setelah HGU berakhir, tanah menjadi bebas. Artinya, tidak serta merta menjadi aset Pemkot karena penguasaan fisik juga menjadi faktor penting,” tegasnya.
Ia juga menyebut bahwa lahan yang digunakan Yonif 712 bukan hibah dari Pemkot, melainkan pengalihan fungsi tanah negara tanpa kepemilikan.
Hingga saat ini, belum ada kesepakatan antara Pemerintah Kota Manado dan warga Loreng terkait status hukum lahan tersebut.
Sengketa ini menambah panjang daftar persoalan agraria di Sulawesi Utara yang melibatkan warga dan pemerintah daerah. (fn)