Ketua PWI Tomohon Tanggapi Pasal Kontroversial RUU KUHP - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Ketua PWI Tomohon Tanggapi Pasal Kontroversial RUU KUHP


Ketua PWI Tomohon Jhon Paransi

Sulut24.com - Tomohon, Revisi Undang-Undang (UU) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) hingga saat ini masih memantik kontroversi ditengah masyarakat.

Gelombang demo oleh mahasiswa di berbagai daerah terus terjadi untuk menuntut agar RUU KUHP dibatalkan.

Selain mahasiswa, protes terkait RUU KUHP juga datang dari para Jurnalis, pasalnnya dalam RUU KUHP tersebut terdapat poin-poin yang dinilai dapat membunuh kebebasan pers.

Ketua Persatuan Wartawan Indonesia  (PWI) Kota Tomohon Jhon Paransi saat diwawancarai sulut24.com melalui aplikasi pesan instan (WhatsApp) mengatakan bahwa insan pers memiliki tanggung jawab sebagai pilar pembangunan bangsa.

"Kami jangan dikucilkan lewat regulasi pemerintah untuk menghambat kebebasan berekpresi sebagai pers dalam menyampaikan informasi akurat faktual dan terpercaya kepada masyarakat," tutur Ketua PWI Tomohon, Kamis (26/9/2019).

Tambahnya peranan pers sangat dibutuhkan dalam pemerintahan yang demokratis.  Untuk itu diperlukan kebebasan pers dalam menjalankan tugas serta fungsinya secara profesional.

"Apabila negara mengendalikan media massa, maka akan mengakibatkan terhambatnya cara untuk memberitakan penyalahgunaan wewenang dan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara," ujar Paransi.

Ketua PWI Tomohon menuturkan pembatasan kebebasan pers jelas merupakan bagian dari redupnya prospek demokratisasi. Lanjutnya, perkembangan dan pertumbuhan media massa atau pers di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dan pertumbuhan sistem politik di negara.

"Bahkan sistem pers di Indonesia merupakan sub sistem dari sistem politik yang ada, dimana sistem pers mengikuti sistem politik yang ada, maka pers cenderung bersikap dan bertindak sebagai penyeimbang, sebagai pers yang bebas dan bertanggung jawab," jelasnya.

"Saat ini kita sebagai insan pers bukan di era orde baru yang dijadikan alat mempertahankan kekuasaan sehingga pers tidak menjalankan fungsinya yang sesungguhnya adalah pembangkit demokrasi dan sebagai pendukung dan pembela masyarakat berdasarkan amanat UU Pers No. 40 Tahun 1999 dan Kode Erik Jurnalistik," tutup Paransi.

Berikut poin-poin yang dinilai dapat menghambat atau menyeret Jurnalis ke rana pidana.

Pertama, pasal 281 soal penghinaan terhadap pengadilan; Kedua, pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden; ketiga, pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah; keempat, pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa; kelima, pasal 262 tentang penyiaran berita bohong; dan keenam, pasal 263 tentang berita tidak pasti.

Selanjutnya, pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama; kedelapan, pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara; kesembilan, pasal 440 tentang pencemaran nama baik; dan pasal 444 tentang pencemaran orang mati.

Penulis : Petra Pangemanan 
Editor : Tim Redaksi Sulut24