Presiden Tolak 4 Substansi RUU, Dukung Penguatan KPK - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Presiden Tolak 4 Substansi RUU, Dukung Penguatan KPK

Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Kepala Staf Kepresiden Moeldoko (kiri) dan Mensesneg Pratikno (kanan) menyampaikan keterangan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). (Foto : Istimewa)


Sulut24.com - Jakarta, Presiden Joko Widodo menyetujui adanya Revisi Undang-Undang (RUU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun dengan catatan tertentu.

Dari tujuh usulan, Presiden menyatakan bahwa dirinya hanya menyetujui pada tiga poin dan menolak empat poin sisanya.

"Saya telah mempelajari dan mengikuti secara serius seluruh masukan yang diberikan dari masyarakat, dari para pegiat antikorupsi, para dosen, dan mahasiswa, dan juga masukan dari para tokoh bangsa. Karena itu, ketika ada inisiatif dari DPR saat mengajukan RUU KPK, masa tugas pemerintah adalah meresponsnya," tuturnya dalam konferensi pers di Istana Negara, Jumat (13/9/2019) seperti dilasir pada jaringan pemberitaan pemerintah.

Presiden mengatakan alasan dirinya menyetujui RUU adalah bahwa UU KPK telah berusia 17 tahun, sehingga perlu adanya penyempurnaan secara terbatas sehingga pemberantasan korupsi bisa berjalan efektif.

"Sekali lagi, kita jaga agar KPK lebih kuat dibanding lembaga lain dalam pemberantasan korupsi," tegasnya.

Kepala Negara mengaku telah memberikan arahan kepada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk menyampaikan sikap dan pandangan pemerintah terkait substansi RUU KPK yang diinisiasi oleh DPR.

Lanjutnya, KPK harus memegang peran sentral dalam pemberantasan korupsi. Karena itu KPK harus didukung dengan kewenangan dan kekuatan yang memadai, serta harus lebih kuat dibandingkan dengan lembaga lain untuk pemberantasan korupsi.

"Saya tidak setuju terhadap beberapa substansi revisi UU inisiatif DPR yang berpotensi mengurangi efektivitas tugas KPK. Yang pertama, saya tidak setuju jika KPK harus memeroleh izin dari pohak eksternal untuk melakukan penyadapan. Misalnya harus izin ke pengadilan, tidak, KPK cukup memeroleh izin internal dari Dewan Pengawas untuk menjaga kerahasiaan," tegas Kepala Negara.

Kedua, Presiden juga tidak setuju penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan saja. Bisa juga berasal dari unsur ASN, yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lainnya. "Tentu saja harus melalui prosedur rekrutmen yang benar," imbuhnya.

Ketiga, Presiden juga tidak setuju bahwa KPK wajib berkoordinasi dengan kejaksaan agung dalam penuntutan. Sebab, sistem penuntutan yang berjalan selama ini sudah baik, sehingga tidak perlu diubah lagi.

"Keempat, saya juga tidak setuju perihal pengolahan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) yang dikeluarkan dari KPK, diberikan kepada kementerian atau lembaga lain. Saya minta LHKPN tetap diurus oleh KPK sebagaimana yang telah berjalan selama ini," tegasnya.

Sementara terhadap beberapa isu lain, Ia juga memberikan catatan dan memiliki pandangan yang berbeda dengan inisiasi DPR.

Perihal keberadaan Dewan Pengawas, Presiden menilai hal tersebut memang diperlukan. Karena semua lembaga negara, Presiden, MA, DPR, bekerja dalam prinsip check and balances, saling mengawasi. Hal ini menurutnya dibutuhkan untuk meminimalisir potensi penyalahgunaan wewenang.

"Dewan Pengawas sesuatu yang wajar untuk proses tata kelola yang baik," tuturnya.

Dijelaskan, anggota Dewan Pengawas nantinya diambil dari tokoh masyarakat, akademisi, pegiat antikorupsi, bukan politis, birokrat, aparat, maupun penindak hukum aktif.

Pengangkatan Dewan Pengawas sendiri akan dilakukan langsngun oleh Presiden yang dijaring melalui panitia seleksi. "Saya ingin memastikan tersedia waktu transisi yang memadai untuk menjamin KPK menjalankan kewenangannya sebelum terbentuknya dewan pengawas," tambahnya.

Poin kedua, yakni terhadap keberadaan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), hal ini juga diperlukan sebab penegakkan hukum juga harus memenuhi prinsip perlindungan HAM dan memberikan kepastian hukum.

"Sehingga RUU inisiatif DPR memegang batas waktu maksimal 1 tahun dalam pemberian SP3, kami meminta ditingkatkan menjadi 2 tahun supaya memberikan waktu yang memadai bagi KPK. Yang penting agar kewenangan KPK untuk memberikan SP3 yang bisa digunakan atau pun tidak digunakan," jelasnya.

Terakhir adalah terkait pegawai KPK. Presiden mengatakan bahwa Pegawai KPK adalah Aparatur Sipil Negara (ASN), yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (P3K).

"Hal ini juga terjadi di lembaga lain yang mandiri seperti MA (Mahkamah Agung), MK (Mahkamah Konstitusi), dan juga lembaga independen lainnya seperti KPU (Komisi Pemilihan Umum), Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu). Tapi saya menekankan agar implementasinya perlu masa transisi yang memadai dan dijalankan penuh kehati-hatian," paparnya.

Sementara, penyelidik dan penyidik KPK yang ada saat ini masih tetap menjabat dan tentunya melakukan proses transisi menjadi ASN.

"Saya berharap semua pihak bisa membicarakan isu ini dengan jernih, objektif, tanpa prasangka yang berlebihan. Saya tidak ada kompromi dalam pemberantasan korupsi karena korupsi musuh kita bersama. Dan saya ingin KPK mempunyai peran sentral dalam pemberantasan korupsi di negeri kita, yang mempunyai kewenangan lebih kuat dibanding lembaga-lembaga lain dalam memberantas korupsi," tandas Presiden.
(YA).