Presiden Jokowi, Cabut IUP Usaha Pertambangan PT. TMS dari Pulau Sangihe! - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Presiden Jokowi, Cabut IUP Usaha Pertambangan PT. TMS dari Pulau Sangihe!

Peta lokasi Kepulauan Sangihe (Gambar: Ist)


Catatan : Anak Pulau, Aliansi Ormas Sangihe


Sukut24.com, OPINI - Kami masyarakat adat Sangihe, adalah orang Indonesia yang diam di pulau kecil bernama Sangihe. Kami berada di ujung utara, terpisah dari daratan pulau Sulawesi dan berbatasan laut dengan Negara tetangga Filipina.

Di dasar laut kami terdapat dua gunung api aktif  dan satu gunung di atas daratan yang juga aktif. Hal ini cenderung menyebabkan lempeng tektonik bagian kerak dan mantel atas bumi kami sering patah. Tak heran dalam literatur sejarah menyebutkan gelombang Tsunami pernah terjadi di wilayah kepulauan kami akibat letusan gunung berapi aktif tersebut.

Namun begitu kami masyarakat Sangihe mampu mengambil hikmah menerimanya sebagai bagian kekayaan negeri dengan latar budaya bahari yang kuat. Sebuah masyarakat yang hidup menjadi penjaga garis depan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia di ujung Sulawesi Utara.

Kami hidup aman dan damai dengan menggantungkan hidup dari berkebun umbi-umbian, kelapa, pala cengkih dan sagu. Sagu menjadi makanan utama masyarakat kami. Untuk mengolahnya kami membutuhkan air yang cukup dari berbagai mata air di bukit-bukit pulau kami. Dan syukurlah meski kecil, pulau kami melimpah dengan air bersih dari perbukitan.

Sebagian masyarakat kami juga hidup dari laut sebagai nelayan. Ikan-ikan di perairan kami melimpah, karang-karang kami indah dengan aneka satwa laut yang kaya dan beraneka ragam. Pulau-pulau kecil di sekeliling pulau Sangihe juga demikian indah, dengan pasir putih halus dan pemandangan bawah laut yang menawan. Banyak orang telah datang menikmati keindahan pulau-pulau kami.

Di daratan, kami memiliki kawasan gunung Sahendarumang yang kaya dengan aneka satwa dan burung-burung endemic yang kini menjadi objek penelitian akademik nasional maupun internasional. Semua itu menjadi kekayaan besar yang dianugerahkan Tuhan yang Maha Esa bagi kami.

Dengan itu semua kami bisa hidup, bahkan bisa menyekolahkan anak-anak kami hingga ke perguruan tinggi. Kami merasa bahagia dengan kehidupan kami meski hanya sebagai petani dan nelayan.

Namun, saat ini kami terkejut. Tiba-tiba pulau kami dimasuki oleh perusahaan tambang emas bernama PT. Tambang Mas Sangihe (TMS), untuk dieksploitasi.

Seseorang bernama Ridwan Djamaluddin, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM. Dia tidak mengenal kami dan tidak pernah datang ke pulau kami, telah mengeluarkan ijin SK Produksi bernomor 163.K/MB.04/DJB/2021 dengan luas konsesi sebesar 42.000 Hektar. Itu artinya setengah dari luas pulau kami. Ia yang berada dalam kenyamanannya di Jakarta, dengan mudahnya menetapkan pulau kecil kami untuk ditambang.

Dalam UU Nomor 1 Tahun  2014, pulau-pulau dengan luas daratan kurang dari 2000 Km2 dikategorikan sebagai pulau kecil dan tidak boleh ditambang. Sedangkan pulau kami hanya berukuran 736 Km2. Namun entah apa yang ada di benak para pejabat itu sehingga memberi ijin pada perusahaan asing untuk membongkar daratan pulau ini.    

Jika pulau kami ditambang, lahan pertanian kami pasti hilang. Lalu ke mana petani kami mencari tanah untuk diolah? Sementara hutan kami pun akan rusak, satwa dan tanaman endemik kami kehilangan habitatnya dan beresiko  punah. Hutan juga menjadi penopang hidup kami, menjadi hulu dari seluruh sungai yang mengalir di setiap kampung. Jika pulau ini ditambang, mata air akan putus bahkan tercemar.

Belum lagi, jika tambang yang hendak beroperasi hingga 2054, maka limbah beracunnya, kalau di darat akan masuk ke mata air dan sumur-sumur kami. Jika ke laut, akan mencemari bakau dan karang tempat ikan-ikan kami bertelur dan mencari makan. Lalu kami pun akan memakan ikan yang mengandung racun itu. Ini artinya kami hendak dibunuh perlahan-lahan.

Sistem pertambangan terbuka yang akan digunakan nantinya akan mempengaruhi struktur geologi tanah kami. Getaran dan benturan akibat pengeboran atau pemboman akan mempengaruhi lempengan tektonik di bawah pulau kami, dan tentu kami tidak mau peradaban kami hilang karena bencana.

Jika pulau kami telah rusak oleh tambang emas. Lalu bagaimana nasib anak cucu kami. Di mana mereka akan tinggal? Haruskah mereka terusir dari tanah nenek moyang mereka?

Belum lagi jika perusahaan ini beroperasi, pasti akan terjadi konflik horizontal antar masyarakat, antara masyarakat yang tidak mau memberikan tanahnya dieksploitasi dengan pihak perusahaan, bahkan bisa terjadi konflik antara masyarakat dengan aparat keamanan. Kondisi konflik tersebut tentu akan berbahaya terhadap pertahanan dan keamanan kawasan kepulauan, karena Sangihe adalah daerah perbatasan Negara, yang berbatasan laut dengan Negara Filipina.  

Sebagaimana bapak Presiden Jokowi tentu tahu kondisi kami karena sudah pernah datang menginjakan kaki di Kepulauan Sangihe. Sehingga kami mendesak kepada Bapak Presiden Joko Widodo, agar memerintahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk mencabut Ijin Usaha Pertambangan Produksi PT. Tambang Mas Sangihe, membatalkan ijin lingkungan oleh Dinas PTSP Provinsi Sulawesi Utara, dan membiarkan pulau kami tetap seperti saat ini.

Biarkan kami hidup aman dan damai seperti sediakala. Kami sudah bahagia dengan keberadaan pulau kami saat ini. Karena itu, jangan ganggu kami, kami tidak ingin pulau kami dirusak oleh tambang.

Salam dari Aliansi Masyarakat Sangihe, "Sangihe Save Island"