Simbiosis Politik dan Jalan Pintas Mengeruk Kemapanan Hidup - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Simbiosis Politik dan Jalan Pintas Mengeruk Kemapanan Hidup

Ilustrasi (Foto: Ist)


Opini Oleh :
Jerry F. G. Bambuta
Forum Literasi Masyarakat


Sulut24.com, OPINI - Eforia politik masyarakat dalam ruang publik di setiap pesta demokrasi selalu ramai penuh hiruk pikuk. Obrolan hangat dari ngopi emperan, ruang akademis hingga hotel berbintang lima selalu penuh antusias. Dari tema diskusi yang sifatnya edukatif hingga provokatif pun campur baur dalam berbagai ruang diskusi, baik yang sifatnya formal maupun non formal. 

Tak heran jika media sosial akan di jejali dengan hoax dan fakta yang saling baku hantam. Ruang diskursus politik pun seringkali menjadi "ring tinju" baku hantam dengan pukulan sentimen yang mendegradasi argumen rasional. Pada akhirnya, masyarakat kita akan cenderung lebih familiar dengan "pembenaran" dan makin asing dengan "kebenaran". 

Wabah pembodohan publik akan jauh lebih mengerikan daripada kebodohan publik. Sepertinya, pada kondisi ini, eforia politik di tengah masyarakat kita bukan lagi pada level yang proporsional, karena dari gejala dan dampaknya lebih mengarah ke overdosis.

Mengapa wajah politik dan demokrasi dari negara religius malah sebobrok begini? Saya mencoba mencerna dan menguak realitas untuk menjadi bahan kontemplasi bersama.

Tak bisa di pungkiri, bahwa kebijakan publik di negara ini banyak kali ideal hanya sebatas retorika, konsepsi dan slogan. Kekuasaan yang di peroleh melalui suksesi politik selalu gagal menciptakan keadilan, kesejahteraan dan kemandirian masyarakat. Besarnya ongkos politik saat mencalonkan diri membuat kandidat melibatkan cukong bermodal besar. Akibatnya, pasca suksesi, penguasa harus membalas jasa cukong tadi. Monopoli tak akan terhindarkan dan masyarakat pun tercampakan!

Bukan hanya itu, pertempuran sengit dalam perebutan suara mengharuskan kandidat merangkul "mesin suksesi" untuk merangkul konstituen. Tradisi transaksional pun akan berlaku dalam konstruksi tersebut. Jika sifatnya jangka pendek, maka distribusi dana operasional hingga uang "serangan fajar" akan renyah di nikmati beramai-ramai. Jika sifatnya jangka panjang, maka para mesin suksesi dan konstituen akan di iming-iming oleh kue-kue kekuasan yang tak kalah lezat untuk di lahap.

Kegagalan kebijakan publik menciptakan keadilan, kesejahteraan dan kemandirian akan men-distorsi perilaku masyarakat dalam berpolitik. Masyarakat akan cenderung memburu "jalan pintas" meghisap tetesan kesejahteraan hidup  dari kue kekuasaan. 

Simbiosis politik makin padat terjalin dari tingkat akar rumput hingga ke tingkat elit. Akibatnya, gerbong politik akan penuh sesak karena di jejali dengan migrasi kepentingan opurtunis dalam skala besar. Aksi himpit menghimpit, jepit menjepit hingga jambak menjambak bukan lagi menjadi tayangan menyedihkan, tapi bakalan menjadi banyolan menggelikan dan memalukan.
Jerry F. G. Bambuta (Foto: Dok pribadi)

Antusisme masyarakat barat dan Eropa di setiap pesta demokrasi cenderung berada pada tatanan rasional. Mengapa? Mereka adalah populasi masyarakat yang di bangun dalam peradaban yang sudah kenyang dari sisi otak (pemikiran terbuka), perut (kesejahteraan hidup) dan isi dompet (finansial yang sejahtera). Berbeda dengan negeri kita, hak kesejahteraan bukannya di distribusi secara adil tapi malah terkonsentrasi pada pusat-pusat oligarki. Tak hanya itu, tentakel oligarki ikut menggurita ke dalam sektor publik yang seharusnya menjadi jatah publik secara adil.

Akibatnya, jangan heran jika masyarakat kita masih banyak yang lapar secara nalar (krisis literasi) dan lapar secara perut (krisis pasokan sandang/pangan/papan). Masyarakat kita termarginalisasi dari peran kebijakan publik yang seharusnya menjadi solusi keadilan secara konsekuen dan membumi. Di tengah masyarakat yang masih "lapar", sudah pasti akan membuat ruang politik penuh gaduh. 

Mengapa? Karena politik bukan cuma arena perjuangan aspirasi, politik akan menjadi arena "Colloseum" yang akan saling bantai satu dengan lainnya. Dan, arena sabung ini bukan untuk orientasi perubahan jangka panjang tapi demi menjawab kebutuhan jangka pendek karena rasa "lapar" tadi.

Politik akan diimpikan sebagai "sandaran empuk" menjawab kebutuhan jangka pendek secara individual maupun kolektif. Tanpa sadar, mental masyarakat kita sementa dikerdilkan. Mereka dipaksa meniti puncak kesejahteraan dengan modal ludah diplomasi politik, ketimbang menapaki jalan juang yang menguras keringat dan air mata untuk berpijak di atas kaki sendiri. Pada akhirnya, sempitnya gerbong politik akan menciptakan barisan sakit hati yang tak terakomodir mencicip lezatnya kue kekuasaan.

Analoginya, berharap makan porsi penuh dalam ukuran baskom. Malahan hanya menikmati setengah porsi dari piring ukuran kurcaci. Itu pun harus saling rebut-rebutakan sesama kawan juang pada masa konsolidasi politik. 

Kita tak sadar bahwa iklim busuk ini sementara mencetak kita menjadi kaum predator dan kanibal yang barbar dan brutal! Kita sukses mengubah "homo socius" menjadi "homo homini lupus!" mental predator dan kanibal yang primitif kian masif ketika modernisasi meroket dengan sangat cepat.

Selama kondisi ini masih laris bergentayangan di setiap pesta demokrasi, maka lingkaran kutukan demokrasi akan terus membayang. kesumat politik tanpa akhir akan menggembosi balkanisasi politik yang toksik. Roda pemerintahan lamban membumikan solusi kebijakan komplementer karena kegaduhan politik yang overdosis.