Study Tour ke Bali Habiskan Ratusan Juta, Ketua LMND: Di Mana Transparansi Anggarannya?
Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Sulawesi Utara, Alpianus Tempongbuka (Foto: ist)
Ketua LMND EW-Sulut soroti minimnya keterbukaan publik atas agenda study tour DPMD dan para kepala desa ke Bali, desak transparansi dan efektivitas penggunaan anggaran daerah.
Sulut24.com, SANGIHE - Agenda study tour Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) bersama puluhan kepala desa dari Kabupaten Kepulauan Sangihe ke Bali menuai sorotan. Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Sulawesi Utara, Alpianus Tempongbuka, menilai agenda tersebut minim transparansi dan berpotensi tidak memberikan dampak signifikan bagi masyarakat desa.
"Study tour adalah hal positif, tapi harus disertai keterbukaan publik baik melalui sosialisasi maupun pengumuman resmi agar masyarakat tahu tujuan, manfaat, dan hasil dari program tersebut," ujar Alpianus, pemuda asal Sangihe, dalam keterangannya kepada Sulut24.com, Kamis (8/5).
Menurut Alpianus, tanpa informasi yang jelas mengenai input dan output dari study tour, masyarakat akan sulit melakukan pengawasan partisipatif yang efektif. Padahal, pengawasan publik merupakan elemen penting dalam menjaga akuntabilitas program-program pemerintah.
Alpianus mengungkapkan, berdasarkan perhitungannya, jika study tour tersebut melibatkan sekitar 35–40 peserta dengan asumsi biaya operasional Rp. 5 juta per orang, maka total anggaran yang dikeluarkan bisa mencapai Rp. 200 juta.
"Kalau output-nya tidak jelas, bukankah lebih baik dana itu dialihkan ke sektor-sektor produktif? Misalnya, untuk membeli pupuk di sektor pertanian atau membangun kolam budidaya ikan di sektor perikanan. Itu langsung menyentuh kebutuhan dan ketahanan pangan masyarakat," tegasnya.
Ia juga mengingatkan soal Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran. "Setiap rupiah yang dibelanjakan harus memberikan hasil yang nyata. Jangan sampai study tour ini hanya menjadi ajang wisata yang membebani APBD dan APBDes," tambah Alpianus.
Study tour, menurutnya, hanya akan berdampak jika program tersebut diikuti oleh implementasi yang konkret dan terukur di desa-desa. Tanpa itu, kegiatan tersebut akan kehilangan nilai strategisnya dan justru menjadi simbol pemborosan anggaran.
"Kalau tidak ada perencanaan yang matang dan evaluasi yang jelas, program ini hanya akan jadi formalitas. Masyarakat harus tahu apa yang sedang direncanakan, dan apa yang akan diperoleh dari kegiatan ini," tutup Alpianus. (fn)