Bedah Buku Dibungkam: Kampus IAIN Manado Ditekan, Akademisi dan Aktivis Sebut Intervensi MUI Rusak Kebebasan Akademik
Koalisi Advokasi KBB Sulawesi Utara soroti dugaan intervensi MUI terhadap pembatalan bedah buku Ahmadiyah di IAIN Manado. Aktivis hingga akademisi desak ruang diskusi akademik tetap dijaga.
Sulut24.com, MANADO - Pembatalan kegiatan bedah buku “Menyingkap Tabir Kebenaran Ahmadiyah” di Aula Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado menuai kritik keras. Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) Sulawesi Utara menyebut peristiwa ini sebagai bentuk kemunduran demokrasi dan ancaman terhadap kebebasan akademik di kampus.
Dalam konferensi pers yang digelar di Kantor LBH Manado, Rabu (4/6/2025), para akademisi, aktivis hak asasi manusia, hingga tokoh lintas iman menyuarakan penolakan terhadap pembungkaman ruang diskusi publik.
Rohit Manese, dosen IAIN Manado, menyebut bahwa surat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Manado berisi tekanan agar kegiatan bedah buku dibatalkan, tanpa dialog terlebih dahulu dengan panitia atau narasumber.
“Surat pertama dari MUI Manado jelas bersifat menekan, disusul oleh surat MUI Provinsi yang meminta kegiatan dipertimbangkan kembali. Ini pola lama yang digunakan terhadap kelompok Islam yang dianggap berbeda. Padahal, kebenaran itu bukan milik satu kelompok saja,” ungkap Manese.
Ia menegaskan bahwa SKB 3 Menteri yang dijadikan rujukan oleh MUI Manado bukan merupakan dasar legal pembatalan kegiatan akademik, apalagi jika digunakan untuk mengklaim otoritas tunggal atas tafsir kebenaran agama.
Direktur LBH Manado, Satriano Pangkey, menyayangkan intervensi yang terjadi di kampus yang selama ini dikenal dengan branding “multikultural.” Ia menilai, pembatalan ini adalah preseden buruk yang bisa menjadi masalah struktural.
“Ini sejarah pertama di Sulut, diskusi buku dilarang di kampus. Reformasi sudah 27 tahun, tapi ruang intelektual justru dibredel. Ini bahaya besar bagi demokrasi,” tegas Pangkey.
Rahman Mantu, dosen IAIN Manado sekaligus aktivis Gusdurian, menyatakan pentingnya menjaga kampanye kebebasan beragama dan ruang dialog antar-keyakinan.
“Kita tidak harus membiarkan pola pelarangan terus berulang. Ketika ada perbedaan, maka dialog adalah jalan terbaik. Bukan pelarangan apalagi intimidasi,” ujar Rahman.
Pendeta Ruth Wangkai, yang diundang sebagai pembicara sekaligus pembeda dalam kegiatan tersebut, menegaskan bahwa buku ini disusun dengan metodologi ilmiah, dan penulisnya berasal dari kalangan NU serta aktif di jaringan Gusdurian dan PMII.
“Buku ini hasil kajian sejak 2018 dengan pendekatan partisipatif yang sah secara akademik. Kebenaran itu tidak tunggal tetapi kebenaran itu ada banyak sumbernya. Ketika kita memahami bahwa kebenaran itu cuma di satu tempat, berarti kita mengkerangkeng kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan itu melampaui dari simbol-simbol keagamaan kita,” jelas Ruth.
Aktivis perempuan dan anak, Nur Hasanah dari Swara Parangpuan Sulut, mengaku telah delapan tahun menjalin relasi dengan komunitas Ahmadiyah dan menyaksikan kontribusi mereka dalam aksi-aksi kemanusiaan.
“Bahasa mereka lembut, responsif terhadap kebutuhan jejaring. Tapi kejadian ini mencederai semangat toleransi kota Manado. Ini tidak boleh terulang,” tegas Nur. (fn)