Sidang Praperadilan Dana Hibah GMIM: Saksi Ahli Bongkar Peran Olly Dondokambey - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Sidang Praperadilan Dana Hibah GMIM: Saksi Ahli Bongkar Peran Olly Dondokambey

Suasana sidang praperadilan (Foto: ist)

AGK Dinilai Tak Layak Jadi Tersangka, Saksi Ahli: Terjadi Error in Persona!

Sulut24.com, MANADO - Sidang praperadilan terkait penetapan tersangka terhadap Asiano Gemmy Kawatu (AGK) dalam kasus dana hibah Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Pemprov Sulut) ke Sinode GMIM, memunculkan fakta mengejutkan. Empat saksi ahli yang dihadirkan dalam sidang menyebut bahwa AGK tak layak dijadikan tersangka. Mereka justru menilai, pihak yang seharusnya bertanggung jawab adalah mantan Gubernur Sulut, Olly Dondokambey, sebagai pemberi hibah, dan Ketua Sinode GMIM, Hein Arina, sebagai penerima hibah.

Dalam sidang yang digelar di ruang Prof Dr Muhammad Hatta Ali, Pengadilan Negeri Manado, Kamis (6/6/2025), keempat saksi ahli masing-masing Dr Abdurrachman Konoras, (ahli hukum perdata), Dr Rodrigo Ellyas, (ahli hukum pidana), Eugenius Paransi, (ahli hukum pidana), dan Carlo Gerungan, (ahli hukum administrasi negara), sepakat menyatakan bahwa AGK hanya bertindak sebagai saksi dalam perjanjian dana hibah tersebut.

Menurut keterangan saksi ahli Carlo Gerungan, secara administratif AGK tidak memiliki kewenangan untuk menyerahkan dana hibah kepada pihak kedua (Sinode GMIM). Ia hanya bertindak sebagai saksi dalam Naskah Perjanjian Dana Hibah (NPDH) Nomor 001 tanggal 19 Januari 2022.

“Jika pun ada kesalahan prosedur, selama tidak ada keterlibatan langsung atau kewenangan yang diberikan kepada AGK, maka ia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Pihak yang harus bertanggung jawab adalah pemberi dan penerima hibah,” ujar Carlo.

Saksi ahli hukum pidana, Rodrigo Ellyas, menegaskan bahwa dalam kasus pidana umum, seseorang baru dapat ditetapkan sebagai tersangka jika telah terdapat minimal dua alat bukti. Namun, untuk kasus pidana khusus seperti korupsi, dua alat bukti saja tidak cukup. Harus ada surat dari lembaga yang berwenang yang menjelaskan adanya penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara.

“Kalau dua alat bukti saja tidak cukup, maka penetapan tersangka kepada AGK menjadi cacat hukum,” tandasnya.

Saksi ahli juga menyoroti masalah prosedural, yakni tidak diterimanya surat penetapan tersangka oleh AGK maupun keluarganya. Hal ini dinilai bisa berimbas pada tidak sahnya tindakan hukum seperti penahanan, penangkapan, dan penggeledahan.

“Surat tersebut merupakan bagian dari alat bukti. Jika tidak disampaikan kepada yang bersangkutan, maka tindakan hukum terhadapnya dapat dibatalkan demi hukum,” tegas saksi ahli.

Keempat saksi ahli sepakat bahwa dalam kasus ini telah terjadi error in persona, di mana penetapan tersangka justru ditujukan kepada orang yang tidak memiliki tanggung jawab hukum.

“AGK bukan pemberi atau penerima dana hibah, melainkan hanya saksi. Penetapan tersangka terhadap AGK adalah bentuk kekeliruan subjek hukum yang fatal. Oleh karena itu, tindakan hukum terhadapnya batal demi hukum,” pungkas para saksi. (fn)