Diskusi Publik Hakordia 2025: Kejati Sulut Tekankan Pencegahan Dini sebagai Kunci Berantas Korupsi - <!--Can't find substitution for tag [blog.Sulut24]-->

Widget HTML Atas

Diskusi Publik Hakordia 2025: Kejati Sulut Tekankan Pencegahan Dini sebagai Kunci Berantas Korupsi

Jaksa Fungsional Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, Alexander Sulung saat menyampaikan materi (Foto: ist)

Dalam diskusi publik Hari Anti korupsi Sedunia di Manado, Jaksa Alexander Sulung menilai pendekatan represif tidak cukup dan menyoroti rendahnya pemahaman pejabat terhadap batasan kewenangan.

Sulut24.com, MANADO - Jaksa Fungsional Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, Alexander Sulung, menegaskan bahwa pemberantasan korupsi perlu mengedepankan pencegahan dini, bukan hanya penindakan.

Hal tersebut disampaikannya dalam diskusi publik bertema “Satukan Aksi Basmi Korupsi” yang digelar di Ballroom Swiss-Belhotel Maleosan, Manado, Senin (17/11). Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh LSM Rakyat Anti Korupsi (RAKO) dan Garuda Astacita Nusantara (GAN) Sulut dalam rangka memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) Tahun 2025.

Sulung mengatakan korupsi tetap menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang terjadi secara sistematis dan berdampak luas. 

“Korupsi adalah kejahatan luar biasa. Dampaknya bukan hanya menggerus keuangan negara, tetapi merusak sistem, moral, dan masa depan generasi,” ujar Sulung.

Ia menilai langkah represif yang dilakukan aparat penegak hukum tidak cukup menekan angka korupsi. 

Suasana Diskusi diskusi publik Hari Anti korupsi Sedunia (Foto: ist)

“Upaya pencegahan lebih murah dan lebih efektif dibanding menunggu terjadi tindak pidana lalu menindak,” katanya. Ia menekankan perlunya penyuluhan, pendampingan hukum, dan konsultasi hukum kepada penyelenggara negara.

Sulung mengungkapkan sejumlah perkara korupsi di Sulawesi Utara menunjukkan bahwa sebagian pelaku tidak menyadari tindakan mereka telah memenuhi unsur tindak pidana. 

“Banyak pejabat merasa tidak bersalah karena menganggap tidak menikmati hasil korupsi. Padahal penyalahgunaan kewenangan atau turut serta dalam perbuatan yang merugikan negara tetap harus dipertanggungjawabkan,” jelas Sulung.

Ia menambahkan bahwa lemahnya pemahaman atas batasan kewenangan, petunjuk teknis, serta aturan administrasi pemerintahan sering memicu pelanggaran. 

“Banyak pelanggaran terjadi karena ketidaktahuan. Namun hukum menganggap semua warga negara mengetahui peraturan yang berlaku,” katanya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001, terdapat 30 jenis tindak pidana korupsi yang dikelompokkan dalam tujuh kategori, termasuk merugikan keuangan negara, suap, gratifikasi, penggelapan jabatan, pemerasan, perbuatan curang, dan konflik kepentingan. 

Penegakan biasanya mengacu pada Pasal 2 dan 3, masing-masing terkait perbuatan melawan hukum yang merugikan negara serta penyalahgunaan kewenangan.

Sulung juga menyoroti sejumlah faktor pemicu korupsi, antara lain penegakan hukum yang tidak konsisten, penyalahgunaan wewenang, rendahnya pendapatan penyelenggara negara, dan budaya “memberi upeti”. 

Ia menyebut budaya permisif sebagai salah satu penyebab terbesar. “Selama masyarakat masih permisif dan pembiaran terjadi, maka ruang korupsi tetap terbuka,” ujar Sulung.

Kejaksaan Tinggi Sulut, kata Sulung, akan terus memperkuat program pencegahan melalui edukasi hukum di berbagai wilayah. 

“Pencegahan bukan hanya tugas penegak hukum, tapi seluruh komponen masyarakat. Pemahaman aturan akan mencegah pejabat maupun ASN terjerumus dalam tindak pidana korupsi,” katanya.

Diketahui diskusi tersebut turut menghadirkan Ketua Komisi Informasi Sulawesi Utara Andre Mongdong serta Guru besar fakultas Perikanan Kelautan Universitas Sam Ratulangi, Prof. Winda Mingkid sebagai narasumber. (fn)